Langsung ke konten utama

Di Antara Langit dan Laut

Dari tubuhku yang terasa diombang-ambingkan, aku terbangun dengan sendiri. Pandanganku sangat buram dan kepalaku terasa sakit. Aku menutup mata lagi sambil menunggu waktu yang singkat. Seperti biasanya, aku langsung merasa normal setelah menunggu.
Langit-langit baja kulihat di atasku, menggambarkan bayangan air yang bergerak. Ini bukan berada di pesawat, aku yakin itu. Jika iya, bagaimana pesawat penumpang ini berada di atas laut. Selain itu, apa ini? Aku tidur di tempat tidur? Ini benar-benar tidak masuk akal, kecuali...
Oh tidak, dia sedang tidur di sampingku! Begitu tenang, begitu damai. Aku iri melihatnya bisa seperti itu di saat masalah menghadapinya. Apalagi dia, dia... sangat aku cintai. Sedih rasanya dia bisa setenang itu, tapi aku tidak dibawanya. Dia seakan pergi sendiri dan meninggalkanku, lagi.
Bisakah aku tidur sedamai itu? Aku bertanya pada diriku sendiri sambil menatap laki-laki itu.
Tidurnya miring menghadapku tapi tidak memelukku. Seharusnya kedua tangannya yang kuat itu memelukku seperti saat detik-detik aku hampir pinsan karena pukulannya. Tapi tangan-tangan itu menahan diri dan bersama pemiliknya.
Dia milikku! Terlintas di benakku yang membuatku kaget.
Ketakutan akan kehilangan dia muncul di benakku. Sial, hanya dia yang aku punya di dunia ini. Sungguh tragis, dia sudah mengambil putraku yang menemaniku selama ini. Well, apa dia akan menggantikannya?
Kuharap jangan, semuanya sudah tertata rapi di sini. Aku tidak ingin dicampur aduk karena sudah mendapat bagian masing-masing.
Tempat tidurku bergoyang cukup kuat, mendorongku berputar seratus delapan puluh derajat ke kanan. Tubuhku menubruknya yang posisi tidurnya tidak berubah, aneh. Tapi aku bersyukur, goncangan tadi membantuku yang belum bertindak. Rasanya seperti dipeluk.
Tiba-tiba ada yang menyentuh lengan atasku. Dia menyentuhku dengan tangannya yang hangat!
“Al, kamu sudah bangun?” dia bertanya seperti berbisik.
“Ya.” Jawabku jujur karena percuma berbohong kepadanya.
“Apakah goncangan tadi?” dia bertanya. Oh, dia menyadari goncangan tadi itu.
“Tidak, aku sudah bangun sebelumnya.”
“Oh, seharusnya kau bangunkan aku langsung. Kau butuh sesuatu?”
“Ya, aku butuh bertanya.”
“Silahkan.” Suaranya lembut itu bersedia. Kalau begitu, tidak ada yang akan disembunyikan, kuharap.
“Dimana kita?”
“Aku tidak tahu.”
“Huh?” aku berputar untuk menatapnya yang ternyata langkah yang... antara benar dan salah.
Kedua matanya yang biasanya tajam itu tampak sayu. Lalu bola matanya yang berwarna biru itu terlihat separo seperti matahari yang baru tenggelam setengah, bersinar memancarkan kehangatan hatiku. Sialnya, aku meleleh dibuatnya.
“Kita akan tahu nanti, ada lagi?” dia menyeringai sedikit. Matanya masih tampak sayu.
“Kemana kau akan membawaku?”
“Ke suatu tempat yang terbaik.”
“Mengapa harus berada di sini?”
Dia tertawa kecil. Tawanya...
“Kita tidak bisa naik pesawat ke sana.” Katanya lalu mengatup bibirnya. Dia menunggu aku bertanya lagi.
“Sekarang di kapal?”
Dia mengangguk.
“Kapan berlabuh?”
“Tadi sore. Kau masih menjadi putri tidur.” Katanya.
“Berapa obat tidur yang kau berikan kepadaku?”
“Seperti biasanya, melebihi dosis.”
“Apakah harus?”
Dia diam sebentar. Tapi kedua mata sayunya sudah berubah menjadi tatapan biasanya. Baiklah, pembicaraan menjadi lebih serius.
“Aku lebih suka melihatmu tidur. Kau begitu damai.” Katanya dengan pelan dan lembut. Kata-katanya masuk ke dalam lubang telingaku lalu diproses otakku cukup lama. Setelah menyadari, otak mengirimkan semacam gelombang aneh pada tubuhku.
“Pasti ada alasan lain?” tanyaku sambil menahan getar di suaraku.
“Tentu saja.”
“Apa?”
“Peraturan pertama perjalanan ke tempat tujuan kita. Aku tidak ingin kau tahu jalannya.” Dia tersenyum, tidak mengejek tapi begitu menawan.
“Mengapa seperti itu?”
“Agar kau tidak bisa keluar lagi.”
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa.” Katanya lalu bangkit duduk. Padahal aku ingin posisi ini bertahan lama.
“Ayo keluar.” Ajaknya tiba-tiba.
“Huh?”
Dia mengulurkan tangannya kepadaku sambil tersenyum untuk meyakinkanku.
Aku meraih tangannya yang langsung mencengkeram erat tanganku. Padahal tangannya belum aku sentuh sama sekali. Kemudian dia menarikku keluar dari ruangan ini.
Kuikuti langkahnya yang perlahan-lahan di depanku. Tangan kami masih bertautan dengan erat. Aku sangat merasa senang, karena dia tidak melepaskanku sampai berada di luar—di atas dek kapal.
Aku disambut oleh angin laut yang bertiup, menerbangkan rambut-rambutku. Angin yang dingin dan menyentuh kulit pipiku yang tadi basah, seakan diusapnya. Membawa debu dan partikel-partikel kecil tak terlihat, terbang bebas mengikuti arah.
Tangan yang menggenggamku mulai menarikku untuk berdiri di sampingnya. Aku menatapnya dan dia juga. Senyumannya sudah melebar.
“Lihatlah, siapa yang menunggumu?” katanya sambil menunjuk ke atas.
Aku mengikuti arah tangannya yang di angkat. Melihat langit gelap malam yang sangat indah terpancar di depanku. Bintang-bintang yang berkelap-kelip menghiasinya bagaikan lampu-lampu kecil yang dihidupkan waktu natal. Lalu bulan purnama yang bersinar lembut dan penuh itu memancarkan kedamaian malam. Lagi-lagi angin menerbangkan rambut-rambutku.
Di jauh sana aku melihat, langit gelap berdampingan dengan laut. Cahaya bulan dan bintang dipantulkan balik oleh laut bagaikan cermin. Melukiskan kisah yang belum diketahui manusia sampai sekarang. Menceritakan dunia ini yang terus berputar.
Angin bertiup lagi, membawaku ingin terbang bersamanya. Melintasi air laut dan diapit oleh langit di atasku. Inginnya aku melihat wajahku di atas ait laut dan melihat diriku sendiri terbang dengan ketenangan yang luar biasa ini. Terus terbang jauh di antara langit dan laut yang saling berdampingan, tak pernah habisnya. Melepaskan semua masalah yang ada di atas tanah, dan menjadi air untuk melarutkannya.
Calvin menyentuhku, membuatku kaget. Aku hampir melupakan keberadaannya yang ada di sampingku. Tapi dia tidak merasa keberatan akan itu. Dia lebih merasa senang.
Kedua tangannya menyentuh masing-masing lengan atasku dan dia bergeser ke belakangku. Kemudian dia menarik lenganku ke atas seperti di film Titanic yang pernah aku tonton waktu muda dulu. Ini pertama kalinya aku merasakan hal yang sama seperti di film, apalagi ini nyata. Bukan mimpi indah yang sebenarnya buruk! Kenyataanlah yang membuat ini menjadi lebih indah.
Dia yang berada di belakangku terus berdiri di sana. Rasanya aneh karena dia tidak memeluk pinggangku. Jadi aku dengan sengaja menarik kedua tangannya ke pinggangku lalu aku sedikit bersandar padanya. Tubuhnya hangat, angin kalah dibuatnya. Inilah yang namanya kenyamanan berada di dekatnya.
Tiba-tiba dia tertawa di telingaku. Itu mengejutkanku lagi.
“Aku bisa merasakan perutmu. Kau lapar.” Katanya menjawab kebingunganku.
“Oh,” sedikit merusak suasana sebenarnya, tapi makan malam tidak bisa aku tolak di tempat ini, apalagi bersamanya.
“Bagaimana kalau kita turun sekarang. Kau harus memasak untuk makanmu sendiri.” Katanya.
“Memasak?” tanyaku sedikit bingung. Selama ini aku makan dibuatkan lalu dibuat tidur olehnya.
“Di sini tidak ada koki.”
Kami menuruni anak tangga lalu masuk ke dalam ruang lain yang lebih hangat hawanya. Ruang itu terdapat sebuah sofa—yang kelihatannya empuk—dan di depannya terdapat sebuah lemari yang isinya anggur.
Calvin seperti tidak ingin memberikan kesempatan untukku melihat-lihat dan terus menarikku ke tempat lain. Ini adalah tempat pengendali kapal. Dan terdapat seorang laki-laki berdiri di sana sedang melihat layar monitor.
“Air laut yang tenang, tanda menghanyutkan.” Kata laki-laki itu. Aku hanya bisa melihatnya dari belakang. Dari bajunya yang berwarna putih seperti baju pelaut. Jangan-jangan dia adalah nahkoda.
“Tidak begitu menakutkan.” Calvin berkata kepadaku. Kurasa dia sengaja mengabaikan nahkoda itu.
“Mrs. Bryant.” Aku menengok karena nahkoda itu memanggilku. Sekarang dia berjalan ke arahku. “Saya ... Maddock, Ma’am.” Dia memperkenalkan dirinya.
Namanya yang terdengar familiar membuatku teringat sesuatu. Walaupun sepintas, membuatku penasaran juga.
“Dia adalah kapten dan sekaligus pemilik kapal ini.” Calvin menambahkan.
“Apa kau kakaknya Vedie?” tanyaku akhirnya.
“Kau tahu?” Calvin bertanya langsung kepadaku dengan bingung, bersamaan dengan kapten kapal yang tertawa kecil kepadaku.
“Bukan, Ma’am. Saya adalah adik Vedie Maddock. Walaupun begitu memang saya yang terlihat lebih tua.” Jawabnya.
“Oh, maafkan aku. Sungguh, aku tidak tahu.” Kataku dengan menyesal. Sungguh tidak sopan.
“Orang akan berpikir sama sepertimu saat melihat perbedaan kami berdua. Tidak apa-apa.” Dia tersenyum kepadaku memunculkan lebih banyak kerutan di wajahnya.
“Jadi, seperti yang dikatakan air laut—“
“Aku ingin memperkenalkanmu pada Alicia. Tapi tidak kusangka kau tahu Maddock.” Setelah menjawab kapten kapal, dia beralih kepadaku. Dia tersenyum kepadaku tanda tak percayanya. Tapi dia tidak menghargai yang lebih tua darinya.
“Aku pernah berlatih dengannya sekali.” Kataku.
“Lalu?”
“Kau ingin tahu banyak. Ngomong-ngomong, Kapten Maddock—“ aku merasakan perutku berbunyi. Kuharap dua laki-laki di sini tidak mendengarnya.
“Waktunya makan malam, Al.” Kata Calvin dengan geli. Oh, ayolah... hanya kali ini saja dia tidak tahu soal ini.
Tapi tiba-tiba pinggangku terasa seperti sedikit diremas. Sialan, dia sedari tadi menyentuhku tapi aku tidak menyadarinya.
“Baiklah, Ma’am. Anda belum pernah menyicipi masakan seorang kapten, bukan?”
“Apa?” aku melototi Calvin.
“Ayo makan.” Katanya sambil membawaku pergi. Dia menghindarinya dan siap menghadapi apa yang akan dia terima. Well, baiklah.
“Kau tidak menghargai orang tua, Calvin.” Kataku seperti ibu-ibu, aku tidak peduli.
“Siapa yang tidak menghargai orang tua?” balasnya, dia benar-benar bingung.
“Kau mengabaikan kapten tadi.”
“Sebenarnya siapa yang lebih tua?” dia bertanya kepadaku.
“Tap—“ aku tumpul. Jika kenyataan Calvin lebih tua secara umur, bagaimana denganku? Tapi tetap saja, dia itu orang tua, bukan?
“Dia umurnya hampir sama denganmu. Jangan begitu pikirkan tentang kesopanan dan hal yang semacamnya. Dia orang yang menyukai kebebasan dalam bertindak.” Kata Calvin.
“Tapi setidaknya perlihatkan sopan santunmu kepada orang.” Kataku.
“Ah...” suaranya naik turun. Ada yang disembunyikan!
“Ada apa?” aku berhenti, membuatnya ikut berhenti.
“Bukan hal besar. Diam-diam aku meminta tolongnya untuk memasak makan malam untukmu.” Katanya. Tentu saja aku bingung dengan sebagian katanya, tapi intinya dapat kumengerti.
“Kau bilang aku yang memasak untuk makan malamku.” Cibirku.
“Kau terlihat malas melakukannya, jadi aku minta tolong.”
“Kau tidak berkata please.”
“Aku bilang aku diam-diam memintanya.”
Sempat aku memutar mataku. Mendengarnya dia mulai kambuh membuatku bosan. Seharusnya aku tahu itu, sialan.
“Ayo makan.” Dia mengajakku. Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku.
“Please...”
“Baiklah. Please...” wajahnya sungguh konyol dan aku ingin menghajarnya.
“Cara baik-baik tidak bisa, jadi cara yang lebih memaksa.” Katanya lalu melangkah lebih mendekat karena aku diam.
“Aku bisa sendiri.” Kataku sambil memberikan tekanan pada kata pertama. Aku melepaskan cengkeraman tangannya yang ternyata lumayan susah. Yang di luar dan di dalam sama saja.
“Well,”
Dia yang tidak mau mengalah, lebih tepatnya ingin menang, mendekatiku dan memeluk pinggangku. Ini bukanlah sebuah kompetisi yang harus dimenangkan, tetapi dia yang egois memaksakan kehendaknya tidak bisa kulawan lagi. Yang pada akhirnya aku terpaksa menerima apa yang akan dia lakukan kepadaku. Kuharap bukan sesuatu yang memalukan.
“Tubuhmu sangat ringan ternyata.” Katanya dengan geli setelah mengangkat tubuhku di atas bahu kananya.
“Turunkan!” Teriakku. Aku tidak bisa diam dan tidak suka digendong seperti ini. Lagipula beratku juga tidak seringan itu.
“Kau harus makan dulu sampai berat badanmu naik.” Katanya lalu berjalan.
“Turunkan aku, Calvin! Turunkan.” Aku terus memberontak tak berdaya dan sia-sia. Apakah aku harus seperti mayat?
Calvin menurunkanku setelah kami sampai di sebuah ruangan yang terdapat lemari anggurnya. Dia langsung membuka lemari itu dan memilih-milih botol anggur yang ada. Tanpa bertanya padanya, aku tahu dan ingin sekali pergi dari sini.
“Al, anggur di sini kurasa bagus-bagus.” Aku ketahuan hendak kabur sehingga dia menarik lenganku sampai berada di sampingnya. Tanpa melihat dia tahu itu.
“Aku tidak minum anggur.” Tolakku.
“Bersenang-senanglah, untuk malam ini.” Gumamnya. Lalu dia mengambil salah satu botol.
Dia menatapku dengan tatapan liciknya.
“Aku tidak akan menawarkanmu, Mrs. Bryant.” Katanya yang hampir membuatku merasa lega. Tapi dia melanjutkan,
“Tapi tentu saja aku akan memaksa.”
Oh tidak, itu sangat tidak bagus. Aku tidak suka dipaksa apalagi minum anggur. Melebihi satu gelas saja sudah membuatku mabuk dan... itu bisa menjadi hal yang sangat memalukan.
Aku sudah mendapatkan peringatan dari Mike untuk tidak banyak minum jikalau ada misi. Selama ini aku menaatinya dan sesuatu yang buruk tidak pernah menimpaku. Apalagi perlakuan tidak bisa dijaga saat mabuk.
“Aku tidak ingin minum, Calvin. Aku memiliki batas.” Kataku sambil mencoba untuk melepaskan tanganku. Sialan, genggamannya terlalu kuat.
Dia menyeringai, geli.
“Baiklah.” Suaranya melembut dan melepaskan tanganku. Kemudian tangannya itu menyentuh kepalaku, dibelai dengan lembut. “Aku tahu batasanmu.” Katanya.
“Berikan aku air putih saja yang segar.” Kataku.
“Adanya air laut, mau?”
“Tidak lucu.”
“Hahaha...” dia tertawa dengan renyah. “Ya, aku mengerti. Ayo ke meja makan.” Katanya.
Angin menyambutku saat aku keluar dari pintu baja yang melengkung itu. Tangan Calvin yang sekarang memegang sebuah botol anggur, membiarkanku berjalan sendiri di belakangnya. Dia seperti tidak takut jika aku kabur. Tapi bagaimana bisa aku kabur di saat aku sedang lapar? Apalagi makan di luar, di bawah langit gelap, angin bertiup, dan cahaya bulan menemani membuat suasana di sini semakin romantis!
Tunggu.
Aku tidak ingin itu sampai ke sana. Setelah apa yang dia perbuat, pantaskah aku berharap padanya?
“Al, silahkan.” Calvin menarikan kursi untukku. Sungguh, romantis(?).
“Terima kasih.” Gumamku.
Calvin duduk di kursi di depanku. Melihatnya berjalan dengan santai, dengan kaos polo yang longgar dan celana pendek, mengingatkanku sesuatu yang lebih jauh. Oh ya, aku pernah makan malam dengan seseorang yang mencintaiku.
“Salmon Teriaki!” Calvin berteriak sambil membuka tutup saji makanan. Benda yang sedari tadi di atas meja itu—aku tidak menyadarinya tadi. Dan juga, mengapa bisa secepat itu?
“Makanan Jepang?” aku memiringkan kepalaku sedikit. Aku berharap sesuatu yang lebih ke barat.
“Seharusnya ada takoyaki.” Dia menambahkan sendiri.
“Baiklah, seafood dari Jepang itu enak.” Kataku akhirnya.
Calvin tersenyum sepintas kepadaku lalu “Itadakimasu!” dia menepuk kedua tangannya sambil memejamkan kedua matanya. Kemudian dia membukanya dan menunjukan senyuman indahnya. Oh ayolah, aku sedang tidak ingin ada adegan romantis di sini.
“Tabete...” katanya tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya seperti mempersilahkanku, makan?
“Bahasa Inggris, please.” Kataku.
“Makan.” Nadanya memerintah.
Aku mengambil sepasang sumpit yang sudah disediakan di samping mangkuk kecil. Ini pertama kalinya aku makan benar-benar dengan budaya Jepang.
“Kau sudah ahli berbahasa Jepang, huh?” tanyaku sambil menjimpit daging salmon di tengah-tengah meja.
“Kau sudah mempertanyakan itu tiga kali.” Katanya. Dia tidak menyentuh makanannya.
“Aku tidak ingat.”
Calvin mulai mengambil sumpitnya lalu makan. Dia tahu mengapa aku langsung ketus kepadanya.
Aku menggigit daging lembut dari salmon. Sausnya langsung mencair di lidahku dan rasanya sangat enak. Ini membuatku ketagihan dan terus mengambil daging ikan lalu aku campur dengan nasi. Memang melenceng dari aslinya, tapi aku lebih suka seperti ini. Perutku  lebih senang seperti ini.
Tanpa sadar, aku merasa semuanya bergoyang-goyang tidak jelas. Calvin yang berada di depanku tidak memperhatikanku dan asyik makan. Kepalanya, lehernya, tangannya, dan tubuhnya bergoyang-goyang. Dia sedang tidak menari, bukan? Atau jangan-jangan...
Dengan kesal aku menyampar semua yang ada di atas meja makan sampai jatuh di atas lantai kayu. Aku tidak peduli sampai mengenai laki-laki brengsek itu. Intinya aku sangat kesal dengan dia! Aku memukul meja tapi dia dengan cepat memblokir tanganku dan ditarik ke belakang.
“Kau bisa menghancurkan mejanya. Jangan merusak benda orang lain.”
“Sialan, kau bajingan!” Teriakku.
Dia melepaskan tanganku dan kuambil kesempatan ini. Aku berputar menatapnya yang berwajah datar kepadaku. Suaranya bisa lembut seperti kapas dengan wajah seperti itu, dia bisa melakukannya? Seharusnya memang aku sudah curiga dengan apa yang dia lakukan kepadaku.
Aku tarik kerah kaosnya. “Kau bajingan jangan racuni aku dengan anggur busukmu sudah kubilang aku tidak minum...” aku kehabisan nafas.
“Ini salahku, Al.” Dia membelai kepalaku.
“Hentikan itu!” aku menyingkirkan tangannya. “Kau yang membunuh anakku, tidak pantas menyentuhku! Apalagi kau adalah ayahnya sendiri! Kau tidak pantas berada di dunia ini sebagai manusia lagi!” bentakku.
“Kau ingin aku mati?” tanyanya.
“Iya—jangan!! Kau mati, tapi jangan! Jangan! Jangan...” entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku ingin dia pergi tapi aku tak sanggup lagi menerima kesendirianku. Dunia terlalu kejam terhadapku.

Lelah, aku sudah lelah dengan ini semuanya. Aku benamkan wajahku ke dadanya. Entah apa yang terjadi selanjutnya, kusadari aku terbangun dan merasakan kedua mataku perih. Kuharap bukan hal buruk yang telah terjadi tadi malam.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji