Langsung ke konten utama

Bag 1.6

Zack Bryant adalah sepupuku yang seumuran denganku. Dia memiliki seorang istri keturunan asli dari kebangsaan Inggris tapi tinggalnya tidak di Inggris. Bagiku mereka berdua sangat cocok dengan kepribadian mereka masing-masing. Kekuarang Zack diisi dengan kelebihan istrinya dan kelemahan istrinya diisi kelebihan Zack. Aku kenal betul siapa istrinya, dia adalah teman masa aku SMA dahulu. Dirinya juga bekerja pada keluarga Riicon tetapi akhirnya mengundurkan diri untuk mewujudkan mimpinya. Dan suatu saat, cinta bertemu cinta maka jadilah jodoh diantara mereka berdua. Kehidupan mereka benar-benar bahagia dan aku juga menginginkan kehidupan bahagia seperti mereka.
Disaat pernikahan suci mereka, aku datang dengan membawa dua buah hatiku yang masih bayi. Kalau tidak salah umur mereka sekitar lima bulan. Aku dibantu oleh kakakku untuk mengurus anak-anakku saat mengikuti pesta pernikahan Zack. Janji-janji pernikahan mereka yang kudengar menghanyutkan hatiku. Setelah janji-janji itu disebutkan oleh pasangan pengantin, sebuah ciuman kasih sayang mereka tunjukan kepada semua orang yang ada, termasuk aku. Air mataku menetes dan setiap tetesan itu memiliki makna: aku terharu, dan aku sedih.
Tidak mungkin di hari berbahagia itu aku menampakan kesedihanku. Kesedihan ini biarlah di dalam hatiku dan wajahku harus menutupinya. Aku tersenyum selembut mungkin agar seperti terlihat bahwa aku terharu. Tidak ada orang tahu bahwa aku merasakan sedih di pernikahan Zack dan istrinya, termasuk kakakku sendiri.
Aku menanyakan beberapa hal pada diriku sendiri saat mengunjungi pernikahan mereka, tapi tidak ada jawaban pasti. Andaikan aku tahu dari setiap pertanyaan-pertanyaanku itu, pasti aku menemukan alasannya mengapa aku merasa sangat sedih. Intinya adalah aku tidak bisa merasakan pernikahanku sendiri. Semuanya adalah mimpi buruk jika aku menikah.
Tiba-tiba kurasakan bahwa air mataku menetes. Segera aku mengusapnya lalu melihat kembali foto pernikahan dari Zack dan istrinya. Foto itu ditempelkan di dinding ruang keluarga tepat di depan pintu. Jadi saat pintu di buka, pandanganmu akan tertuju pada foto pernikahan yang berukuran besar ini. Bingkai dari foto ini diukir menggunakan kayu jati yang di cat emas. Dibawah bingkai itu bertuliskan nama Zack dan istrinya, Angelica.
Di sekitar foto pernikahan sepupuku, terdapat foto-foto lain yang ditempelkan di dinding da nada juga yang di letakan di atas meja. Foto-foto yang berada di dinding itu antara lain foto pernikahannya, foto kelahiran anak pertama mereka, dan kebersamaan keluarga kecil mereka.
Kurasakan seseorang mendekatiku. Untungnya aku sudah mengusap air mataku hingga kering sehingga orang yang datang kepadaku itu tidak akan mengetahui kalau aku baru saja menangis.
“Mrs. Bryant.” Panggilnya. Aku sangat mengenal suara itu.
“Alicia.” Kataku sambil meliriknya tajam. Sudah berapa kali aku memperingatkan dirinya untuk memanggil nama depanku, menyebalkan.
“Sarapan sudah siap.” Katanya yang masih berdiri di pintu yang terbuka itu.
“Aku tahu,” balasku sambil mendekatinya. “tidak perlu kau panggil aku ke sini.” Terusku ketus. Aku melewatinya seperti aku melewati hantu yang tak terlihat. Sepertinya aku tidak memperdulikan dirinya, atau aku marah padanya.
Sekarang bukan waktunya untuk itu, lebih baik aku menyusul anak-anakku sarapan pagi di rumah sepupuku ini. Jadi, sarapan akan terasa lebih ramai karena diisi dengan dua keluarga sekaligus. Apalagi pesta natal yang akan diselenggarakan, pasti seru dan menyenangkan.
“Good morning.” Sapaku kepada seluruh orang yang sudah duduk di meja makan. Semuanya memandangku dan tersenyum kepadaku.
“Selamat pagi, Mom.” Balas Vania dan Kevin secara bersamaan.
Aku berdiri diantara mereka sambil merangkul mereka. “Vania, pagi ini kau sakit perut?” tanyaku kepadanya karena saat dirinya datang bulan sering sakit perut di pagi hari.
“Tidak, Mom.” Jawabnya.
“Bagaimana denganmu, Kevin?” tanyaku ke putraku.
“Aku tidak mungkin mengalami datang bulan, Mom.” Katanya.
“Maksudku bagaimana pagimu?”
“Seperti biasanya.” Ia tersenyum kecil kepadaku.
Aku menciumi kedua anakku setelah aku mendapatkan kabar tentang pagi mereka. Lalu aku duduk di depan Vania. Disaat itu juga, Calvin tiba dan duduk di sampingku. Aku penasaran apa yang dilakukannya di ruang keluarga itu beberapa menit setelah aku meninggalkan tempat itu. Itu tidak penting untuk dipikirkan sekarang, lebih baiknya aku menikmati masa-masa natalku di tempat ini.
Kata Zack, ada empat keluarga kecil yang diundangnya dalam pesta natal ini: Ricko Bryant, Claire Riicon, Fred Bryant, dan aku. Ricko Bryant adalah yang paling tertua di sini, umurnya tigaa tahun lebih tua dariku. Dan dirinya yang akan memimpin pesta kali ini. Biasanya pesta keluarga ini dipimpin oleh papaku yang selalu merayakannya hari-hari besar. Kakak selalu menjadi musisi yang mengiringi pesta sepanjang pesta berlangsung dengan bermodal piano miliknya. Tempatnya juga selalu di rumah yang ditempati Zack sekarang. Sebelumnya rumah ini adalah rumah orang tuaku sedangkan yang ada di New York atau yang kutempati sekarang adalah rumah kakakku.
Disaat orang tuaku masih hidup, pesta yang dirayakan sangatlah meriah walaupun sederhana. Masakan yang disiapkan adalah masakan dari mama dan kakakku yang jago sekali memasak. Semuanya terasa sempurna saat pesta berlangsung apalagi alunan music yang dimainkan oleh Mike. Alunan melodinya benar-benar indah di dalam pendengaranku sehingga aku lebih memilih duduk memperhatikan dirinya bermain piano dari pada ikut berdansa dengan laki-laki yang mengajakku. Ini membuatku sadar tentang pesta natal tahun ini, dan menambah semangatku dalam pesta keluarga ini.
Aku meletakan pisau dan garpuku disisi piring makan yang baru saja kugunakan. Dengan senyuman aku menatap Zack yang duduk di kepala meja. Aku tahu ini membuatnya terkejut karena aku tiba-tiba menatapnya dengan wajah berseri-seri, sampai-sampai dia tersedak.
“Aku ingin menggantikan posisi Michael dalam pesta natal besok lusa.” Kataku lebih mirip menyuruh daripada meminta.
Setelah dirinya meminum segelas air putih dan tidak merasakan makanan tersangkut di tenggorokannya, ia mulai berkata, “Dalam urusan memasak aku memang meminta para ibu-ibu yang melakukannya.”
“Bukan memasak, Zack. Tapi…” aku memainkan jari-jariku seakan aku bermain piano.
“Oh, musiknya ya,” katanya mulai mengerti. “memang tidak ada yang bisa melakukan permainan piano sebagus Mike kecuali orang yang professional dalam bidang ini. Tapi—“
“Aku ingin bagian itu, Zack.” Potongku. Nada-nadaku terdengar memaksa.
“Baiklah, Nyonya Piano.” Katanya akhirnya.
Aku tersenyum kepadanya sebagai ucapan terima kasih. Karena aku selesai dengan sarapan pagi ini, aku bangkit berdiri. “Aku memiliki urusan sebentar pagi ini, maka maaf aku harus meninggalkan meja makan ini terlebih dahulu.” Kataku.
“Urusan apa, Mom?” tanya Kevin seperti biasa, berhati-hati.
“Urusan orang tuamu.” Jawabku. Disini aku tidak mau mencampurkan pekerjaan karena aku tahu pasti ini akan keberlanjutan perdebatan kecil di meja makan.
Setelah semua orang di meja makan mempersilahkanku untuk pergi, aku berjalan sambil menarik pengawal setiaku. Memang semuanya juga langsung terkejut melihatku menarik Calvin dengan semua kekuatanku. Aku memiliki urusan dengannya.
Aku membawanya ke sebuah ruangan, ruangan kerja lebih tepatnya. Ruangan kerja ini dulunya adalah milik papaku dan sekarang aku tidak tahu dijadikan tempat apa ini. Aku duduk di kursi papa dan menyuruh Calvin duduk di depanku. Ini seperti bahwa aku bos besarnya, memang benar. Aku menyilangkan kakiku sebagai kenyamananku dalam duduk di depannya.
“Tepat setelah misa malam natal yang dimulai pukul lima sore,” aku mulai angkat bicara kepadanya. “ada paket barang yang ingin kau ambilkan untukku Calvin. Sekitar ada delapan belas barang yang berbeda di dalam paket itu. Karena kau selalu bersikap seperti orang misterius,”—aku sedikit mengoreksi kata-kataku yang misterius—“aku ingin kau mengambilnya setelah selesai misa malam natal di dekat gereja yang jaraknya sekitar enam kilometer dari tempat ini.”
“Apa isi paket itu?” tanyanya.
“Aku belum memperbolehkanku bertanya, Calvin.” Kataku memperingatkannya. “Karena aku ingin kau mengambilnya setelah misa, maka aku dan anak-anakku pasti akan ada di situ. Kau masuk sendirian ke tempat itu dan kau ambil paketnya.” Aku selesai berbicara.
“Bisakah aku bertanya beberapa hal kepada Anda?” tanyanya.
Aku mempersilahkannya dengan anggukan kecilku.
“Apa isi paket itu?”
“Barang.” Jawabku singkat.
“Tolong katakan lebih rincinya lagi.”
“Aku menjawab pertanyaan bukan permintaan.” Kataku.
Dia menghela nafasnya. “Anda lebih tepatnya berada di mana?” tanyanya lagi.
“Di mobil. Kau pasti tidak akan melepaskanku kemanapun walaupun aku hanya ke gereja bersama anak-anakku, bukan?”
“Mengapa Anda di mobil?”
“Menunggumu.”
“Lalu mengapa saya yang mengambilnya?”
Aku mengganti posisi dudukku. “Karena aku tidak kuat menganggkat delapan belas barang sekaligus. Bayangkan bendanya lebih dari lima belas kilogram, Calvin. Aku sudah pendek dan aku tidak mau bertambah pendek.” Aku menunjuk ketinggianku yang rata-rata.
“Baiklah jika itu maumu.” Katanya seolah aku ini selalu merepotkannya. Jika benar aku merasa bersalah dan jika tidak benar aku tidak suka caranya berbicara seperti itu. Aku membayangkan perteman kami yang sudah sangat lama sekali. Aku lebih sering merepotkan dirinya.
“Sekarang, aku ingin kau melakukan sesuatu kepadaku.” Aku memintanya walaupun nada bicaraku seperti memerintahkannya.
“Apa lagi?” tanyanya dengan bosan.
Ada satu hal yang sedang kubingungkan sekarang. Dari sisi mana aku melihat Calvin? Jika dari sisi pertemanan, itu hal yang biasa bagiku. Aku sangat mengenal bagaimana dirinya yang bersikap seperti anak kecil: ceroboh dan bermalas-malasan. Tapi, jika aku melihatnya dari sisi lain sepertinya itu sedikit menyakitkan. Nada malas itu rasanya bisa berartikan sebuah jawaban yang tidak pasti. Bisa dijawab dengan iya dan tidak. Aku tidak tahu apa jawabannya itu, tapi apa jadinya jika itu untuk diriku. Calvin selalu melakukan apa saja untuk diriku, itulah yang kusimpan sampai sekarang ini.
Pertama-tama aku mengambil langkahku mendekatinya. Aku memberikan kesan misterius kepadanya. Tentu saja wajah penasaran dan kecurigaan muncul di wajahnya. Lalu, kudekatkan bibirku ke telinga kanannya dan aku membisikan permintaanku kepadanya dengan nada yang pelan dan tenang. Setelah itu aku berdiri dengan tegak, menatapnya sambil tersenyum yang kubuat manis sekali.
“Kau berlebihan!” Protesnya kepadaku. Ada nada tidak suka yang kudengar.
“Jangan seperti itu. Aku hanya ingin itu.” Balasku.
Dia memutar bola matanya. “Terserah. Aku hanya tidak mau adanya gosip aneh yang akan menyebar nanti.” Katanya masih dengan tidak suka.
Aku tersenyum sedikit menggodanya. “Itu berarti Calvin Riicon menerima permintaanku,”
“Iya iya. Ada lagi?” tanyanya bosan. Sepertinya dirinya ingin pergi dari ruangan ini, begitupun aku.
Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawabanku. Tapi, aku memintanya lagi untuk menemani anak-anakku karena aku harus membantu Angelica membereskan bekas makanan sarapan pagi baru saja. Ia menurut dan langsung pergi. Aku menyusul Angelica yang ternyata benar sedang membawa piring-piring kotor ke mesin pencuci piring.
Aku menyapanya tidak terlalu keras dan tidak ada niat untuk membuatnya terkejut, tapi dirinya terkejut atas sapaanku sehingga piring-piring yang dibawanya jatuh. Aku segera mengambil piring-piring itu dengan berjongkok dan telapak tanganku kurebahkan ke atas sebagai bantalan piring-piring itu. Sayangnya, satu piring luput dari tanganku.
“Maaf, Angel.” Kataku meminta maaf sambil bangkit berdiri.
“Tidak apa-apa, aku juga yang salah karena menjatuhkannya.” Katanya lalu mengambil serbet untuk memunguti pecahan piring.
Aku meletakan piring-piring kotor ke mesin pencuci piring yang sudah dihidupkan. Lalu aku membantu Angelica memunguti pecahan piring itu.
Bisa dibilang Angelica mirip denganku dalam urusan rumah tangga. Hidup kami sama-sama enak dengan banyak pembantu rumah tangga di rumah kami. Tapi kami memilih untuk mengurusi rumah semampunya terutama keluarga kami. Dia lebih rajin mengurusi rumah daripadaku, tentu saja. Dirinya hanya ibu rumah tangga sedangkan aku wanita karier yang bekerja tiap harinya hampir dua puluh empat jam. Itulah yang kusesalkan sebagai wanita karier. Tidak seperti pekerjaanku sebelumnya yang banyak memiliki waktu luang. Inilah hidup, maka harus dijalani.
Angelica memasukan pecahan piring ke sebuah tempat dan aku mengikutinya. Lalu ia menyuruh seorang pelayannya untuk membuangnya sedangkan dirinya melanjutkan pekerjaan rumahnya.
“Bagaimana hari-harimu selama ini, Alicia?” tanyanya sambil menunggu mesin pencuci piringnya selesai. Dirinya bersandar pada konter.
“Buruk,” jawabku “aku tidak suka hari-hariku yang dihantui oleh pekerjaan yang mengerikan seperti itu.”
Dia tersenyum kecil. “Yeah, aku juga mengeluh soal pekerjaan suamiku. Dia selalu lupa makan dan istirahat. Sampai-sampai aku harus menguncinya di kamar agar dirinya mau berisitirahat sebentar.” Katanya.
“Jika Zack sampai segitunya bagaimana denganku? Papaku terlalu banyak meninggalkan berkas-berkas pekerjaan yang belum selesai untuk laporan lima bulan yang lalu, padahal laporan itu penting untuk laporan tahunan. Pusing pokoknya.”
“Semuanya juga pusing, Alicia. Oh, ya. Kata Zack, Ricko akan membantu perusahaan keluarga. Fred juga akan membantu.”
“Ricko dan Fred?” tanyaku tidak percaya.
Ricko adalah seorang dutalis besar yang sukses di berbagai negara, kini dirinya menjadi duta besar di Jepang bersama istrinya yang kebetulan berasal dari negara sakura itu. Sedangkan Fred memiliki usaha restoran makanan prancis yang sudah dibangunnya sejak dirinya kuliah memasak. Aku ingat perjuangannya agar dapat sepandai Mike dalam memasak.
Angelica menganggukan kepalanya dengan yakin. “Pekerjaan ini tidak mungkin kau kerjakan sendiri dengan suamiku, Alicia. Kau butuh orang lain, siapa lagi kalau bukan keluarga besarmu? Rencana mereka semua akan tinggal disini.”
“Mengapa tidak di New York saja? Aku bosan harus berduaan dengan laki-laki penguntit itu.” Kataku, mengeluh.
Bayangkan saja dirimu diikuti oleh seseorang setiap harinya dan kemana saja. Kau bekerja diikuti, kau belanja diikuti, kau tour diikuti, dan sebagainya. Hari-hari biasaku selalu diikuti oleh Calvin kemanapun itu. Sampai aku harus rapat di China satu bulan yang lalu pun dirinya juga mengikutinya. Jika dirinya berguna dalam pekerjaanku, mungkin aku akan merasa lebih ringan. Tapi dirinya menambah beban di kepalaku.
“Kau beruntung diikuti laki-laki tampan.” Katanya sedikit berbisik.
Aku bingung apa maksudnya.
Dia mengerti mengapa tiba-tiba aku kebingungan. “Calvin masih terlihat begitu muda tapi dewasa. Pasti teman-teman masa SMA-nya tidak percaya bahwa dirinya masih berwajah mirip setelah kelulusan. Kau tahu, setelah kau pindah sekolah banyak cewek-cewek langsung menyatakan cinta mereka kepadanya lewat cara apapun. Ada yang lewat surat, ada yang langsung menyatakan di depannya, ada yang lewat temannya, pokoknya macam-macam. Setelah kejadian itu, Calvin memutuskan untuk membolos satu minggu agar tidak diganggu dengan fans mudanya.” Angelica terkikik geli mengingat masa SMA-nya tanpa diriku. “Lalu ada adik kelas yang sangat cantik sekali. Dia murid baru di sekolah dan masuk jurusan bahasa kelas dua. Dia tidak dapat berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Dirinya berkulit putih mulus dan bermata violet yang indah. Dirinya sangat pemalu yang membuat semua orang menjadi gemas dengannya. Sepertinya Calvin terpikat dengannya. Tapi diantara mereka tidak ada yang menyatakan ketertarikan mereka. Banyak yang menyetujui kalau mereka akan jadian tapi ternyata Calvin dengan tegas berkata tidak.”
Akhirnya Angelica selesai dengan ceritanya. Mendengar itu membuatku sedikit cemburu dan menyesali aku pindah sekolah waktu itu.
“Kau tahu, Alicia. Rumor dia pernah berpacaran dengan gadis itu. Oh, aku lupa memberitahumu siapa nama gadis itu. Namanya Primrose Regian. Tapi setelah banyak orang memojoknya untuk jadian mereka memutuskan untuk putus. Pokoknya dia cewek paling cantik disekolah waktu itu.”
Ternyata dirinya belum selesai juga. Maka, aku menunggunya untuk terus melanjutkannya. Tidak penting membicarakan gadis kecil bernama Primrose Regian itu. Lagipula itu aku tidak memiliki permasalah dengannya. Kenal saja tidak.
Suasana sepi diantara kedua ibu ini. Angelica sudah selesai dengan ceritanya dan kini dia mengambil piring-piring yang sudah bersih setelah mesin berbunyi “ting”. Aku membantunya membawanya ke lemari piring lalu tiba-tiba dirinya bertanya:
“Kau tidak tertarik dengan apa yang kuceritakan tadi, Alicia?”
Aku menutup pintu lemari piring yang besar itu. “Tidak juga. Masa lalu tidak harus dibalas.” Balasku sedikit terdengar kedataran nadaku.
“Atau kau cemburu?” tebaknya.
Jika sekarang wajahku memerah, itu benar-benar memalukan. Karena tidak mungkin aku cemburu hanya karena cerita bahwa Calvin berpacaran dengan seorang gadis yang sangat cantik.
“Tidak mungkin. Itu masa lalu, Angelica.” Jawabku cepat-cepat sebelum wajahku merona.
“Ya sudah, lagipula cinta pertamamu sudah berlalu.” Katanya, mendukungku melupakan masa lalu.
Dari semua anggota keluarga Bryant, hanya Angelica saja yang tidak mengetahui bahwa aku mengalami lupa ingatan. Selain itu, tidak ada yang tahu juga kalau aku dahulu pernah berteman dengannya kecuali Mike. Dahulu, Michael pernah menyamar sebagai seorang siswa di sekolah menengah akhirku, Recon Highschool, yang bernama Vincent. Vincent adalah orang yang penyakitan dan lemah, dirinya sering tidak masuk dengan alasan dirinya ceck up di rumah sakit, atau di rawat di rumah sakit. Awalnya aku tidak percaya bahwa ternyata dirinya adalah kakakku yang delapan tahun lebih tua dariku. Dan, alasan membolosnya sekolah adalah bekerja membantu papaku yang kerepotkan dalam perusahaan keluarga.
“Oh ya, aku ingat sesuatu,” Tiba-tiba Angelica teringat sesuatu. Aku menatapnya setelah melamun sebentar. Ia menepuk-nepuk dahinya beberapa kali menggunakan telapak tangan kanannya. “tidak, iya, tidak, iya, tidak, iya, tidak…” sepertinya dirinya sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia memang tidak berubah sejak dahulu, selalu kebingunga jika mendapat ada pilihan. Setelah mengatakan iya dan tidak sebanyak melebihi seratus kali (aku menghitungnya karena bosan) akhirnya keputusan pun jadi. Ia menatapku dengan wajah polosnya.
“Nanti malam, kita tentukan tema pesta natal lusa. Maksudku setelah makan malam. Aku, kamu, Sasha, dan Claire akan rapat nanti malam.” Ajaknya.
“Bagaimana dengan istri Fred? Siapa ya namanya? Aku lupa…” yang aku ingat bahwa nama istri Fred berbau Yunani.
“Namanya Titania,” Kata Angel mengingatkanku. “dia wanita yang keras.” Terusnya menambah aksen tidak suka.
“Keras?”
“Iya. Walaupun dirinya lebih menampilkan ketidakadaan emosinya, sebenarnya dirinya orangnya keras. Maksudku didikannya militer sejak dia masih kecil.” Jawabnya.
“Lalu, kau belum menjawab pertanyaan kapan Fred dan keluarga kecilnya kemari.” Protesku.
“Mereka hanya bisa datang besok. Sepupu Titania melahirkan pagi tadi, jam satu atau setengah dua pagi.”
Aku menepuk pundaknya dengan ringan. “Jika kau jawab sedari tadi, pasti sudah selesai.” Aku berkata kepadanya, lalu aku meninggalkan dapur. Dengan langkah bosan aku melewati ruang makan keluarga dan beberapa koridor panjang. Sambil berjalan aku berpikir, apakah penyakit Calvin itu bisa menular? Tapi akhir-akhir ini dirinya tidak kambuh seperti biasanya. Sekarang gantian Angelica yang kumat. Setahuku dirinya tidak seperti itu.
Akhirnya aku sampai ke tempat tujuan. Zack menungguku di ruang kerjanya. Aku duduk di sofa yang empuk sekali sehingga dapat membuat pantatku masuk lebih dalam ke sofa. Aku jamin lama-kelamaan duduk disini, tubuhku pasti sudah ditelan dengan sofa ini.
“Tak perlu terburu-buru.” Kata Zack sambil mengacak-acak di atas mejanya.
Aku mengintipnya di balik kursi seberang yang menutupiku. Zack masih dengan kebingungan mencari sesuatu yang berada di atas mejanya. Dengan penasaran aku bangkit berdiri dan mendekatinya. Saat itu juga, Zack langsung membacakan isi dari laptopnya yang sedari tadi berada di atas meja.
“Rapat tahunan dengan Riicon. Permasalahan tiap tahunnya.” Dia memutar lapotnya kearahku. Aku membacanya. “Mike selalu bisa mempertahankan Riicon berada di bawah kita, jadi ini tantangan baru untukmu.” Katanya selagi aku sedang membaca surat resmi rapat yang diadakan di Kalimantan.
Aku terus memandang layar tanpa berkedip. Kalimantan adalah sebuah pulau terbesar di negara asalku, Indonesia. Karena melihat tulisan itu, aku teringat dengan segala sesuatu yang pernah aku alami di pulau itu. Pulau itu menyimpan kenangan tersendiri untuk kisah-kisah masa mudaku. Aku menjadi ingat aku bersekolah di sana dengan seorang lelaki yang bodoh. Di tempat itu juga aku bisa merasakan cinta untuk pertama kalinya setelah aku menyadari bahwa aku ini tidak sendirian di dunia ini. Semua yang terjadi di sana membuatku berdiri disini sekarang. Mengapa aku bisa bertemu dengan keluarga besarku, mengapa aku bisa hidup di negara besar Amerika sekarang, tentu saja itu karena semua yang telah terjadi kepadaku di pulau itu. Jika tidak, semuanya ini tidak akan kurasakan. Well, lebih tepatnya karena dia.
He had given me more than love, he had given me everything that I want. Bisakah aku berkata bahwa dia mencintaiku? Karena semua sebab-sebab itu? Iya, aku yakin benar. Tetapi itu dahulu, bukan sekarang dan ke depannya.
Kucoba untuk menegarkan hatiku sekarang. Aku sudah berusaha keras untuk menahan gejolak rasa sakit yang akan menyerangku. Kutatap Zack yang sudah menunggu jawabanku.
“Aku bisa urus ini sendirian.” Kataku dengan suara yang sedikit bergetar.
Setelah mendengarku, kulihat matanya yang sedikit curiga kepadaku. Aku tetap diam menunggu apa yang akan dikatakannya. Selain itu, aku juga tidak ingin memulai permasalahan.
 “Kau yakin?” tanyanya masih dengan curiga denganku.
“Aku bisa mengurusnya, Zack. Asalkan bagian dalam masih dalam keadaan stabil.” Jawabku asal semoga dia tidak mengungkit masalah mengapa aku tiba-tiba sedih.
Maksud dari bagian dalam adalah bagian dalam perusahaan. Di perusahaan keluargaku ini dibagi menjadi dua bagian: luar dan dalam. Zack menurus bagian dalam yang sampai saat ini masih berjalan dengan stabil. Sedangkan aku mengurus keduanya—bagian dalam dan luar. Tapi aku lebih sering mengurus bagian luar karena aku lebih sering menangani masalah seperti masalah yang baru saja kudapat.
Di bagian dalam perusahaan adalah bagian yang rahasia. Tidak ada perusahaan yang tahu soal ini kecuali perusahaan saham milik Riicon. Bagian dalam ini juga mengurus organisasi rahasia, pembuatan berbagai senjata, uji coba dalam bidang medis, sampai uji coba teknologi. Dari perusahaan dalam mengeluarkan beberapa merk atau barang jadi yang tidak begitu berguna bagi perusahaan tapi baru di masyarakat luas. Ini bisa dibilang teknologi di dalam perusahaan lebih canggih daripada masyakat luas pada umumnya. Kami sudah memiliki keamanan yang level S yang tidak ada satu pencuri pun dapat melewatinya. Berbeda dengan keamanan di bank-bank dunia, nyatanya masih ada bank yang dirampok ataupun dibom nuklir. Keamanan jika tidak ditingkatkan sesuai kemajuan teknologi, itu akan sama saja karena teknologi hacker cepat berkembang.
Soal hacker yang sudah kami pandang itu adalah kelas C, sampai saat ini tidak ada satupun hacker yang dapat menyelobos masuk ke bagian dalam perusahaan. Kami memberikannya kelas C karena bisa melewati pertahanan luar yang tingkat keamaannya masih sama dengan bank-bank di dunia.
“Kalau begitu, kau harus mempekerjakan Calvin Riicon dalam urusan ini.” Kata Zack yang sudah tidak menggunakan nada penasaran. Syukurlah.
“I’m sorry?” tanyaku meminta pengulangan.
“Kau harus mempekerjakan dirinya dalam kasus ini. Dia akan sangat membantu.” Katanya pasti dan sangat yakin. Kedua matanya menatapku dengan harapan kecil bahwa aku akan melakukannya.
“Aku perlu alasan.” Kataku.
Zack bangkit berdiri lalu mengajakku ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruang kerjanya. Masuk ke dalam ruangan itu harus memiliki ID agen dan masih harus melewati beberapa keamanan yang ada. Setelah lolos dari para keamanan itu, Zack membawaku ke sebuah labolatorium. Dia duduk di sebuah kursi yang dapat berputar.
“ID Zack Bryant, number 280897,”—dia meletakan setiap jarinya pada sebuah lingkaran yang berada keyboard komputer yang belum muncul.—“password *******.”
Sebuah papan yang kumaksudkan keyboard komputer yang belum muncul itu akhirnya keluar setiap digit angka, huruf, dan fungsi-fungi lainnya. Zack menekan-nekan papan itu sambil melihat layar besar di depannya. Lalu keluarlah sosok dari layar besar itu, maksudku gambar tiga dimensi dari seseorang yang sangat kukenal. Di samping gambar itu terdapat data-data:
Calvin Riicon
Identitas pribadi        
Identitas umum
Status
Skill
Riwayat
Zack memilih identitas umumnya maka muncul halaman baru yaitu biodata umum yang boleh dilihat orang lain atau bisa dibilang data-data pada KTP. Tapi disini ditulis jelas pendidikan yang dijalani Calvin.
“Kau lihat dia lulusan dalam bidang ekonomi akutansi, kedokteran, dan bisnis. Aku bilang dia akan berguna untukmu.” Kata Zack.
Aku masih terkejut melihat hasil prestasi Calvin yang luar biasa itu. Aku saja kuliah hanya sampai S1 saja, sedangkan dirinya sudah akhir dari perguruan tinggi kecuali jurusan kedokterannya yang sampai S2 saja. Sepintar itukah dirinya? Tapi anehnya dirinya masih kelihatan seperti orang bodoh.
“Bisa kupertimbangkan.” Kataku dengan nada kepemimpinanku.
Zack memutar kursinya menjadi menatapku. “Sebelum mengawalmu, dia bekerja sebagai manager di saham pusat keluarganya. Saat dipegang dirinya, perusahaan itu langsung meraih keuntungan yang cukup tinggi sehingga nilai saham menjadi meloncat. Tapi, setelah dia mengawalmu, nilai jual saham merosot menjadi normal kembali.” Katanya.
“Aku mempercayai apa yang kau katakan dan kau coba yakinkan kepadaku. Tapi, kau seharusnya bercerita dahulu dimana kita.” Aku memperhatikan sekitar yang kosong.
Zack menengok ke jam tangannya yang tersembunyi di balik kaos lengan panjangnya. “Sudah jam makan siang, Alicia. Pantas sepi.” Katanya.
“Kita dimana?” tanyaku masih menuntut.
“Pusat dari perusahaan dalam. Di sini adalah bagian labolatorium yang menguji tentang obat-obatan, lalu yang bertuliskan A1 itu adalah gudang senjata, A2 adalah kantin para pekerja, A3 adalah uji elektronik. Lalu, A0 adalah aula besar. Mike sering berlatih di sana. A4 untuk urusan persenjataan baru, A5 untuk uji coba reaksi kimia—“ dan bla bla bla bla, terusku di dalam hati. “yang terakhir itu adalah jalan keluarnya.” Singkat kata dia mengakhiri kata-katanya.
Lalu kami meninggalkan tempat itu dan sesegera mungkin ke ruang makan keluarga untuk makan siang bersama.
***
Zack tinggal di sebuah pabrik dari perusahaan. Dulunya itu adalah tempat tinggal papaku, sedangkan rumah yang kutempati di New York adalah milik Mike. Di pabrik besar ini, disediakan khusus untuk rumah besar dan mewah bagi yang menjaga perusahaan bagian dalam. Para pekerjanya juga tinggal di pabrik itu di tempat yang sudah disediakan. Bangunan besar ini juga sebagian ada yang berada di bawah tanah. Di lantai paling dasar dari bangunan ini terdapat sebuah bom atom yang dapat menghancurkan bangungan itu sendiri. Itu untuk mencegah orang-orang mendapatkan informasi, jika kami mengalami kebobolan atau bangunan itu di serang sekelompok teroris maka bom akan diluncurkan.
Pada jam kerja setelah jam makan siang, aku kembali ke pusat dari bagian dalam perusahaan. Ada sesuatu yang ingin kuketahui dari setiap sisi pusat itu. Untungnya ada seorang pegawai yang mau menemaniku untuk mengetahui ini itu. Seperti pemandu wisata, dia dapat menceritakannya sampai detail.
Kami memulai dari A1 atau gudang senjata. Disana banyak sekali jenis senapan tempur, robot tempur, dan macam-macam untuk keperluan perang. Lalu kami ke kantin pegawai. Tempat itu sangat bersih sekali dan nyaman untuk digunakan makan bersama. Selain itu modelnya sama dengan kantin di sekolah-sekolah tapi tempatnya lebih mewah dengan aksen warna putihnya yang mengkilap. Kemudian A3, ada seorang professor sedang menguji barang ciptaannya yaitu penangkal gravitasi sehingga orang dapat terbang bebas. Seorang yang menjadi kelinci percobaannya sekarang sudah melayang-layang di udara. Beberapa orang terus memperhatikan perkembangannya yang dicatat oleh komputer. Tiba-tiba professor itu memintaku untuk mencobanya. Aku menolaknya dengan halus dan ingin ke tempat lain sesegera mungkin. Aku saja takut naik pesawat apalagi di suruh terbang tanpa alat bantu kecuali lingkaran kecil itu.
Kemudian, pemanduku mengajakku melihat aula besar yang katanya Zack tempat itu adalah tempat dimana kakakku berlatih. Dan benar adanya. Aula itu sangat besar dan berbentuk lingkaran. Entah berapa diameternya, intinya aula ini sangat luas. Aku penasaran untuk apa aula ini dengan luasnya hampir mirip dengan lapangan sepak bola itu.
“Aula ini untuk mengumpulkan pegawai jika terdapat pengumuman penting. Seperti misalnya adalah pemberitahuan bahwa, maaf, orang tua dan kakak Anda meninggal. Seluruh staf yang ada langsung mengadakan rapat langsung untuk menentukan masa depan perusahaan. Sebagian hasil rapat tersebut juga dari pengmungutan suara dari para pegawai yang ada.” Kata Mr. Oliver kepadaku.
“Jadi itu pilihan semua anggota bahwa Calvin harus mengawalku?” tanyaku.
“Benar sekali, Madame. Tidak ada harapan lain selain itu. Mr. Calvin Riicon adalah satu-satunya agen utama sekarang, maka kami mengusulkan untuk mengawal Anda.” Jawabnya.
Aku memandang lapangan sepak bola tanpa rumput dan tempat duduk penonton itu. “Katanya Michael dulu sering berlatih disini. Apa itu benar?”
“Mr. Michael Bryant memang sering berlatih di sini bersama Mr. Calvin Riicon. Mereka berdua terlihat akrab tapi terasa canggung satu sama lain.”
Aku mengoreksi apa yang dikatakannya. Selama kakakku masih hidup, sebenarnya keakraban antara Calvin dan Mike tidak terjalin dengan baik. Kata kakak mereka tidak saling cocok satu sama lain dalam menjalin keakraban. Itulah  sebabnya mereka jika diakrabkan secara paksa di dalam batin mereka, sehingga terasa sangat canggung.
Mr. Richard Oliver kemudian membawaku ke sebuah labolatorium. Ternyata tidak sembarang orang yang masuk ke dalamnya. Maksudnya hanya orang-orang khusus yang dapat masuk ke dalamnya. Mr. Oliver saja tidak diperkenankan untuk masuk sebatas dinding kaca anti pecah itu. Jadi kami berdiri di luar ruangan itu sambil mengamati apa yang sedang diuji coba.
“Di ruangan itu,” Mr. Oliver mulai angkat bicara “adalah ruangan khusus untuk uji coba beberapa serum.” Aku mendengar beberapa nada yang canggung. Kurasa dirinya ingin mengatakan sesuatu hal yang lebih sopan kepadaku.
“Maksudmu, senjata rahasia perang itu?” tanyaku.
“Bisa dibilang begitu, Mrs. Bryant.” Bahasanya kaku.
Aku melihat kembali ke dalam labolatorium. Disana para pekerja di sana melakukan eksperimen pada sebuah hewan sebagai kelinci percobaan. Di sisi lain, tiga orang mengamati perkembangannya lewat komputer. Lalu, ada seseorang yang hanya duduk menonton tanpa ada pekerjaan lain. Aku tidak tahu siapa orang yang duduk di kursi putar itu. Aku hanya melihat pucuk kepalanya saja, lagipula kursi itu juga membelakangiku.
“Kurasa sekarang masih jam kerja.” Kataku sedikit meledek.
Tampak senyum aneh dari Mr. Oliver. “Sepertinya pemandu Anda yang asli sudah menunggu anda.” Katanya.
“Maksudnya?” tanyaku tapi Mr. Oliver sudah terlebih dahulu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Aku menengok ke arah orang yang duduk santai itu. Saat yang sama, kursi diputar dan aku dapat melihat seseorang yang sangat kukenal duduk di sana. Ekspresinya tampak dia sangat pintar dan juga sedikit kesal. Dia kesal denganku dan aku dianggapnya bodoh.
Tiba-tiba dirinya menghilang dalam kejapan mataku dan berdiri di sampingku. “Percuma saja lari dariku.” Katanya kepadaku, meledek.
Rasanya aku ingin pergi dari sini secepatnya. Tidak enak memiliki pengawal yang dapat melihatmu dengan jauh. Pasti dia akan dapat menemukanmu yang sedang bersembunyi. Padahal aku sudah diam-diam pergi ke tempat ini.
“Sakit perutmu sudah sembuh?” tanyaku sok perhatian dengannya. Sebenarnya aku mengambil kesempatan dimana dirinya sedang ke belakang karena sakit perut.
Dia menatapku bosan. “Jangan sok peduli begitu, kau juga yang meracuni makananku tadi.” Katanya.
Aku tersenyum tanpa ada dosa. Yeah, aku memasukan sesuatu ke dalam makanannya sehingga dirinya sakit perut ingin membuang kotorannya. Sepertinya dia terlalu pintar untuk dibohongi.
“Racunnya tidak begitu berpengaruh kepadaku, aku hanya sakit perut sebentar dan langsung sembuh saat aku sampai di toilet. Lagi pula, Mrs. Bryant—“
“Alicia.” Kataku kesal.
“Anda jangan seperti anak kecil yang ingin main kejar-kejaran.”
Dia meledekku atau mengataiku? Intinya dia membuatku kesal.
“Ayo, kau ingin masuk bukan?” katanya tiba-tiba mengganti arah pembicaraan.
“Masuk ke dalam ruangan itu?” tanyaku sambil menunjuk ke lab itu.
“Bukannya kau sedang melakukan tour di sini? Kau boleh masuk kok.”
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk. Dia benar-benar professional dalam berbagai bidang. Dia bisa berperilaku seperti seorang pemandu wisata yang sedang menerangkan ini itu yang sedang dilihat. Dia juga pintar menarik perhatianku pada sebuah serum yang membuat aku seperti ini. Selain itu, dia memberikanku detail bagaimana cara membuat serum tersebut dan juga efek-efek samping jika serum itu tidak cocok di suatu tubuh. Sampai saat ini, serum itulah yang paling berhasil dan juga paling aman untuk manusia. Kata Calvin, serum itu telah membuat sepuluh orang tidak mengalami cacat fisik ataupun nonfisik dan kemampuan dari sepuluh orang itu berkembang dalam satu bidang. Katanya lagi, sepuluh orang itu adalah orang-orang yang beruntung dari seratus kelinci percobaan. Sepertinya Calvin harus melarat apa yang dikatakannya terutama kata ‘aman’ itu sendiri.
Setelah di lab itu, dia membawaku keluar dan berkumpul dengan anggota keluargaku yang lain. Semuanya sedang asik di ruang keluarga terutama para pemuda yang sedang bermain sebuah permainan dunia maya. Janie Bryant, anak satu-satunya Zack dan Angelica, suka sekali hal-hal yang berbau teknologi komputer apalagi soal game di dunia maya. Di zaman sekarang sudah tercipta dunia virtual game. Katanya itu lebih asik daripada menggunakan joy stick ataupun mause yang sering digunakan karena para pemainnya dapat menggerakan seluruh tubuh mereka. Jujur saja, aku tidak begitu mengerti soal itu semua.
Ada satu hal yang menjadi perhatianku sekarang ini. Anakku, Kevin, sepertinya tampak tertarik dengan ponakanku itu. Begitupun juga Janie yang juga tampak tertarik dengan putraku. Umur gadis itu sekitar satu tahun lebih muda dari Kevin dan dia baru menginjak kelas dua SMA tahun ini. Bisa kulihat dari keakraban mereka dan pembicaraan mereka yang diam-diam kudengarkan saat aku duduk di dekat mereka. Ternyata Janie menceritakan pengalaman lucunya bersama orang tuanya saat perkemahan musim panasnya. Kukira awalnya ia menceritakan tentang game.
Tiba-tiba Angelica bertukar tempat duduk dengan Calvin dan sekarang duduk di sebelahku. Dia tersenyum kepadaku karena aku tahu apa maksudnya. Katanya,
“Sepertinya anakmu tertarik dengan anakku. Dari tadi pagi mereka sudah begitu akrab seperti ini.”
Aku menatap putraku yang asik mendengarkan itu. “Kurasa anakmu juga tertarik dengan anakku.” Balasku.
“Mungkin.” Jawab Angelica. “Tapi, Janie memang orangnya seperti itu. Dia suka sekali menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain entah dia kenal ataupun tidak. Dia juga orangnya suka bercerita hal-hal yang baginya sangat menarik untuk diceritakan. Jadi, aku tidak tahu pasti.”
Aku menyentuh pundak Angelica lalu meremasnya sedikit. “Aku gemas.” Kataku.
“Ada yang salah?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Maaf,” aku mengganti bahasaku. “aku takut kalau anakku diberi harapan palsu olehnya.” dengan bahasaku yang lain ini, mungkin beberapa orang saja yang tahu.
Angelica menatapku tampat heran. “Kurasa tidak akan,” balasnya menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang kugunakan. “dia orangnya mengerti tentang perasaan orang lain.”
“Kau yakin? Aku tidak ingin anakku mengalami sakit hati karena cinta.”
“Aku yakin,”
“Apa yang kalian bicarakan, ibu-ibu?” tanya Zack yang ternyata mendengar percakapanku dengan Angelica. Wajahnya benar-benar penuh curiga.
“Tidak ada yang spesial untuk kau dengar, Honey.” Jawab Angelica lalu tersenyum.
“Dasar ibu-ibu.” Gerutu Zack.
Aku melihat Zack yang wajahnya tampak bosan. Di musim dingin ini memang tidak banyak aktivitas penuh apalagi saat mengambil hari cuti. Ini memang enaknya mengambil masa-masa dengan keluarga tapi akan lebih seru jika diisi dengan kegiatan daripada berkumpul saja di ruang keluarga seperti ini. Bagiku ini juga membosankan.
Pandanganku berubah ke arah Calvin. Jika Zack menguping dengan bingungnya, pasti Calvin mendengar dan mengerti bahasa yang kugunakan bersama Angelica. Itulah tidak enaknya didekat Calvin yang serba tahu itu.
 “Angelica.” Panggilku kepada teman lamaku.
Dia menengok. “Ya?”
“Kau punya sesuatu yang menyenangkan? Aku bosan dan suamimu juga.” Kataku sedikit berbisik.
“Aku terbiasa menemani anakku bermain. Bagaimana kalau menonton TV.” Usulnya.
“Aku bosan menonton televisi karena tidak ada siaran yang bagus. Aku ingin hal yang menyenangkan.”
Dia tersenyum teringat sesuatu yang geli. “Jika kita masih muda, kita bisa main perang salju.”
“Tidak, aku tidak mau mengeluarkan keringat.”—padahal permainan itu tidak membuatku berkeringat—“aku ingin sesuatu yang menyenangkan di dalam ruangan ini. Kecuali permainan.”
Angelica cemberut. “Yang menyenangkan itu adalah permainan, Alicia. Jika bukan permainan apalagi.”
“Membaca buku,” jawabku yang teringat dengan novel yang kubaca saat terbang ke tempat ini kemarin.
“Itu namanya asik sendiri. Bagaimana kau ikut saja denganku?” Dia menarik tanganku dan aku ikut bangkit berdiri dengannya. “Urusan ibu-ibu.” Katanya kepada suaminya yang hendak bertanya.
Angelica menarikku dengan kuat sehingga setiap langkahku seperti diseret olehnya. Dia membawaku ke dapur dan aku dimintanya untuk membantunya. Musim dingin ini rasanya seperti musim panas, katanya. Maka aku mengerti apa maksudnya. Dia membuka lemari dingin yang sangat besar atau lebih tepatnya seperti ruangan kulkas seperti di restoran besar. Di dalamnya banyak sekali makanan untuk musim dingin seperti daging-daging beku, susu beku, roti beku, dan lain-lain. Kulihat Angelica meminta bantuan pelayan yang bekerja di dapur untuk mencarikan bahan-bahan yang hendak kami buat. Anehnya dia tidak meminta bantuanku.
“Aku bisa membantu mencarikan apa yang kau cari.” Kataku mengusulkan diri. Aku tidak ingin berdiri sendirian di luar ruangan kulkas itu.
Dia setuju dan sebenarnya sangat setuju. Dia memukul kepalanya dengan ringan karena dirinya lupa bahwa aku sangat berguna dalam hal ini. Maka dia memberitahuku apa saja yang akan kuambil di dalam dan memberikanku sebuah keranjang. Kemudian aku masuk dan mencari bahan-bahan itu.
Kebanyakan bahan-bahan itu adalah buah-buahan tropis yang segar. Lalu aku keluar dengan banyak membawa buah-buah itu. Angelica mengambilnya dan memaskan buah-buah itu agar tidak beku dengan alat pemanas khusus untuk menormalkan suhu suatu barang. Dia menekan pada subjek yang ada yaitu buah. Maka buah itu akan dalam keadaan normal nantinya dalam beberapa detik. Kemudian dia mengeluarkannya dan memasukannya lagi ke dalam keranjang. Aku mengambil dua pisau besar untuk mengupas semua buah-buahan itu. Kecepatan tanganku memang luar biasa cepat sehingga aku bisa mengupas lebih dari delapan puluh persen buah yang ada. Angelica hanya tersenyum karena merasa diuntungkan karena adanya diriku.
Aku mendapat bagian untuk memotong buah-buah itu menjadi kotak-kotak kecil, sedangkan Angelica menyiapkan sirup dan susu. Dalam beberapa menit aku sudah selesai dengan buah-buahan itu dan kumasukan ke dalam mangkok besar. Kemudian Angelica menuangkan susu kental dan sirup berwarna hijau ke dalamnya. Selain itu dia juga sudah memasukan banyak jeli yang dipotong kotak kecil-kecil. Lalu aku menuangkan air putih dan Angelica mengaduknya agar semuanya tercampur.
Setelah itu aku mengambil beberapa gelas yang sudah terisi oleh es batu. Angelica menuangkan sup buah yang ada di mangkok besar itu ke dalam setiap gelas sampai penuh. Setelah semua gelas terisi, aku membawanya ke ruang keluarga dan Angelica membawakan mangkok besar itu.
Kubuka pintu keluarga yang tertutup itu dengan kakiku. Ternyata tendanganku terlalu kuat sehingga pintu tersebut menatap dinding dengan keras mengakibatkan suara yang keras dan menggema. Semua perhatian menjadi ke arahku dan Angelica.
“Es untuk semuanya.” Kataku sebagai pembukaan.
“Apa itu Mom?” tanya Vania yang penasaran. Dia bangkit berdiri dan melihat apa yang sedang kuletakan di atas meja.
“Bisa dikatakan ini adalah Fruit Soup, ini adalah minuman unik asal negaraku dahulu.” Kataku.
“Terdengar asing tapi sepertinya ini enak.” Kata Kevin yang sudah berdiri di samping kakaknya. “Kalau boleh tahu, Mom lahir dimana?” tanya Kevin.
“Kau tahu Negara Indonesia? Mom sejak kecil disana sampai umur tujuh belas tahun. Lalu aku pindah ke Amerika untuk sekolah di sana dan akhirnya menetap juga di sana.” Jawabku.
“Kau bisa ingat semuanya di masa kecilmu, Alicia?” tanya Zack curiga.
“Hanya beberapa.” Dustaku. “Aku ingat bahwa aku tinggal bersama nenek dahulu. Dan seterusnya Mike yang menceritakannya dahulu, sejujurnya aku masih bingung mengapa aku pindah sekolah. Kakak tidak memberitahuku soal itu.” Aku mengambil dua gelas dan kuberikan kepada anak-anakku.
“Hanya separo kenangan saja yang kau ingat?” Zack masih bertanya dengan curiga.
Aku mengambil dua gelas lagi. Kuberikan satunya kepada Calvin dan sisanya untukku sendiri. “Itu masa lalu.” Kataku. “Tidak perlu terlalu diingat-ingat. Setidaknya aku senang karena aku masih mengingat nenekku dulu.” Terusku.
Zack akhirnya percaya dan kuyakini bahwa dia masih curiga. Aku masih bisa menutupinya darinya dan ada seribu alasan yang akan kuberikan kepadanya jika terus bertanya semacam pertanyaan tadi. Keadaanku yang amnesia ini harus tetap berjalan apa adanya dan aku tidak mau semua orang tahu bahwa aku mengingat segalanya termasuk alasan mengapa aku pindah sekolah waktu itu.
Aku melihat Angelica yang tampak heran apa yang dimaksudkan oleh suaminya tadi. Memang seharusnya dirinya kuberitahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku tidak ingin dirinya berkata bahwa aku ini tidak amnesia. Dia memang bahaya yang sedikit serius bagiku.
Setelah semuanya menghabiskan es yang ada di gelas dan di mangkuk, aku mengajak Angelica untuk mengembalikan semuanya benda-benda kotor itu. Dia setuju. Kami kembali ke dapur untuk mencuci cucian kami.
“Jangan beritahu siapa-siapa bahwa aku sebenarnya tidak amnesia.” Kataku kepadanya setelah kami membereskan semua mangkuk dan gelas yang sudah bersih.
Dia mengeringkan tangannya dengan serbet. “Aku merasa aneh dengan itu. Ada apa denganmu sebenarnya, Alicia?” tanyanya. Tatapannya mengandung bahwa dia menuntut kebenaran. Maka kuceritakan cerita itu semuanya kepadanya.
Yang kusenangi dari Angelica adalah dirinya cepat memahami perasaan seseorang. Aku tidak perlu bercerita panjang lebar untuknya tapi dirinya sudah akan mengerti. Lalu dia memagang kedua pundakku.
“Kau sabar ya,” katanya. “ada harapan kecil untukmu.” Terusnya memberikanku semangat.

Saat ini aku memang masih bisa tersenyum dengan sesukaku. Hatiku sedang tidak berduka sekarang. Semua beban yang terus menghantuiku kini sirna karena aku sudah melihat jalanku yang Calvin bukakan untukku saat di pesawat kemarin. Dia laki-laki yang baik sekali. Kuberikan sebuah senyuman yang sudah lama sekali tidak kukeluarkan kepada Angelica. Dia juga membalasku dengan senyuman khasnya. Lalu kami kembali ke ruang keluarga untuk berkumpul dengan keluarga kami masing-masing.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji