Langsung ke konten utama

Bag 1.4

22 Desember 2037
Pada musim dingin pada akhir tahun 2037 ini diadakan sebuah pesta keluarga di Alaska. Terdapat kerabat saudara yang tingga di sana dan kebetulan memiliki rumah besar. Tapi, mengapa tidak dirayakan di New York saja? Atau di daerah tropis agar suasana menjadi lebih hangat. Sebenarnya aku memiliki rumah cukup besar di Indonesia. Tepatnya di Denpasar, Bali. Tapi itu juga percuma jika diadakan pesta natal dan musim dingin dimana tidak ada salju. Memang sebaiknya di Alaska saja.
Aku menerima pesan dari kerabatku itu sekitar pukul sembilan pagi ini. Sedikit terlambat suratnya dan mendesak sebenarnya. Apa boleh buat? Toh aku juga tidak memiliki acara khusus untuk natal tahun ini. Lagi pula aku juga ingin mengajak anakku liburan, menurutku kumpulan keluarga ini tidak buruk.
Di dalam keluargaku, hanya aku yang sedikit malas untuk mengikuti pesta keluarga karena ada satu alasan yang membuatku trauma. Aku sedang tidak ingin membahasnya sekarang. Selain itu, di keluarga Bryant dulunya dipimpin oleh papaku—Lionel Bryant. Beliau menikahi ibuku—Alice Bryant—maka jadilah kakakku—Michael Bryant—dan aku. Keluarga Bryant cukup banyak tapi tidak sebanyak keluarga Riicon yang sudah mendunia itu. Aku tidak tahu dari mana asal-usul nama keluargaku. Selain itu, keluarga Bryant selalu mengikuti aturan umum dunia yang selalu dipakai. Misalnya, terdapat seorang gadis yang akan menikahi seseorang dari keluarga lain, secara otomatis nama keluarga sang gadis akan mengikuti calon pengantinnya. Tidak seperti Riicon yang menetapkan nama ‘Riicon’ harus terpasang setiap keturunan, dan itu harus wajib.
Hal yang tak terbayang adalah, keluarga Bryant dan Riicon kebetulan saling bekerja sama dalam pekerjaan dan urusan soal organisasi internasional yang rahasia. Di dalam organisasi tidak hanya berisi dari kedua keluarga ini saja, melainkan orang-orang berbakat lainnya dari penjuru dunia. Kalau dihitung-hitung memang banyak dari keluarga Riicon, tapi pemimpin utama selalu di tangan keluarga Bryant. Alasannya belum kutemukan dan karena itulah aku menjadi pemimpin perusahaan papaku dan juga organisasi itu.
Perusahaan papaku bisa dibilang salah satu perusahaan besar mendunia. Selain membuat organisasi internasional, perusahaan ini juga membuat hal baru di dunia. Misalnya obat-obatan yang lebih ampuh, teknologi, dan juga senjata-senjata perang—termasuk senjata rahasia organisasi yang berposisi sebagai agen utama pelindung agen pemimpin. Dan tidak lupa soal serum yang membuat orang berbeda itu. Sebelumnya, terdapat dua agen utama yang bekerja sebagai pelindung agen pemimpin, yaitu Michael Bryant dan Calvin Riicon. Mereka berdua adalah salah satu kelinci percobaan yang berhasil bertahan terhadap serum tersebut. Dan yang membuat kagum adalah perkembangan mereka yang melebihi batas normal manusia. Sedangkan yang gagal dalam uji coba itu, kebanyakan cacat parah, lumpuh, dan yang paling berbahaya adalah meninggal dunia. Itulah sebabnya mamaku memindahkanku ke Denpasar—ke tempat nenek—agar aku tidak menjadi salah satu kelinci percobaan.
Karena aku sekarang adalah pemimpin organisasi dan juga menjadi pewaris tunggal perusahaan, sekarang Calvin penjadi pengawal pribadi diriku. Aku bosan jika diikuti oleh dirinya kemana saja. Aku ingin sekali bebas seperti sebelum orang tua dan kakakku meninggal.
Aku meliriknya yang sedang duduk di sofa. Dia menatap diriku dengan ingin tahu apa yang terjadi. Aku mendekatinya dengan wajah yang biasa-biasa saja, lagipula siapa yang ingin melebih-lebihkan hal penting. Lalu aku duduk di samping kirinya dan melirik sedikit kea rah anak-anakku yang duduk di sebelah kanannya, asik menonton televisi siaran komedi tapi semuanya tidak tertawa—begitupun aku. Kemudian kulihat Calvin yang masih menatapku penasaran dan menungguku untuk menjelaskan apa yang baru saja kudapat.
“Pesta natal keluarga,” kataku akhirnya. Kedua anakku langsung menatapku secara bersamaan. “Di Alaska, tempat Paman Zack.” Kataku kepada mereka.
“Mom, mengapa tidak di tempat Uncle Fred di Inggris saja? Vania kan ingin ke Eropa tahun ini.” Katanya putriku kepadaku.
“Jika ke Eropa, pasti mereka sudah mengabariku tiga hari yang lalu untuk mempersiapkannya. Selain itu, hari ini pasti kita sudah siap berangkat.” Jawabku.
“Berapa hari kita di sana, Mom?” ganti Kevin bertanya kepadaku.
Aku sedikit berpikir. “Kita harus berangkat besok agar tepat sebelum makan malam natal. Kemudian, pasti kalian ingin bermain dengan sepupu-sepupu kalian. Sekitar empat sampai lima hari cukup,” aku berhenti sebentar dan menatap Calvin yang raut wajahnya sudah tampak datar lagi. “dan kau Calvin? kau tidak mengikuti acara di keluargamu? Kudengar kalian setiap bulan mengadakan pesta keluarga.” tanyaku kepadanya.
“Aku diizinkan untuk tidak mengikuti acara itu.” Katanya datar kepadaku.
Jujur, aku sedikit sakit hati.
“Jadi kau ikut dengan kami? Aku merasa tidak enak.” Kataku kepadanya sambil menutupi rasa cekat ditenggorokanku.
Dia menatapku lebih dalam. “Andaikan ini tidak pekerjaan, pasti aku sudah pergi dari dulu.” Katanya ketus kepadaku.
Menyebalkan sekali dirinya. Aku dianggap apa disini? Bayimu yang harus kau jaga dan lindungi? Menyebalkan!
“Mom,” Kevin memanggilku, memudarkan emosiku dengan seketika. Aku menengok kepadanya. “sebaiknya kita pergi berbelanja sebentar. Lihat wajah Vania yang sudah ingin merengek meminta mantel baru.” Terusnya.
Terlihat olehku Vania ingin memberontak tapi mulutnya tiba-tiba dia kunci dengan rapat-rapat. Aku menghela nafas lalu tersenyum lembut untuk menenangkan hatiku yang masih emosi.
“Vania, bukannya masih ada mantel yang masih bagus dan cocok untuk pergi? Kurasa itu cocok sekali dengan sepatu barumu dan, oh aku ingat! Ada gaun yang cocok dengan sepatu barumu itu. Kau akan tampak sempurna, Sayang.” Kataku sedikit memberikannya semangat kecil. Tidak perlu pakaian baru untuk tampil percaya diri.
“Gaun yang mana, Mom?” tanyanya tampak tertarik kepadaku.
“Nanti Mom yang siapkan,” jawabku lalu tersenyum. Dia membalasku dengan senyuman juga. Lalu kulirik Calvin yang sudah menghadap ke layar televisi tanpa memperhatikan percakapan antara anak dan ibu. Toh apa pedulinya dia.
Tiba-tiba suasana menjadi hening diantara kami berempat. Hanya suara televisi yang terdengar pelan kami tonton bersama. Acaranya masih komedi tetapi bagiku tidak lucu begitupun kedua anakku dan Calvin. Di dalam diam kurasa mereka bertiga memikirkan masalah mereka masing-masing. Mungkin juga ada yang sedang memikirkanku, dalam kasus ini maupun itu. Pantas saja acara itu tidak menarik, lebih menarik permasalahan mereka—begitupun aku.
Ini rasanya memang tidak tenang untukku. Tidak biasanya aku terdiam bisu seperti ini. Biasanya aku memiliki banyak pertanyaan kepada anak-anakku yang sedang liburan ini. Apakah karena ada factor orang lain aku menjadi seperti ini? Memang terasa janggal di dalam hatiku.
“Mom, aku lupa. Aku ada janji dengan Cat untuk pergi bersama nanti jam sepuluh.” Kata Vania teringat janjinya. Syukurlah dia mengusir kesunyian ini.
“Dengan seekor kucing?” tanyaku.
“Bukan hewan kucing, Mom. Maksudku Cathreen.” Jawabnya.
“Kau hendak pergi dengannya kemana?”
“Mom tahu kan kebiasaan anak perempuan—“
“Ibumu ingin tahu kau akan kemana, Sayang.” Selaku. Mengapa sekarang aku tidak mau basa-basi?
Dia menatapku sebentar, tampak berpikir. Kurasa ada yang disembunyikan darinya.
“Mall, mungkin. Cathreen yang mengajakku dan katanya mencari keperluannya untuk natal.” Jawabnya akhirnya.
Aku percaya dengannya, walaupun memang sedikit mencurigakan.
“Lalu, kau akan pulang jam berapa? Mom tidak mau kau melewatkan makan malam.” Tanyaku.
Dia tersenyum tenang kepadaku untuk membuatku tenang. Hatiku memang sedikit tenang karena tidak terasa sunyi, tapi aku menjadi khawatir dengan putriku ini jika dirinya pergi seharian. Ini hal yang wajar jika aku adalah seorang ibu, apalagi putriku ini sudah perawan. Kekhawatiran seorang ibu terhadap putrinya pasti muncul jika putrinya pergi bermain dengan temannya. Kuharap dia akan baik-baik saja.
“Vania pasti pulang sebelum makan malam.” Katanya dengan manis sekali sehingga dirinya terlihat seperti saat masih kecil dari pandanganku. Aku membalasnya dengan tersenyum tenang dan senang. Kepercayaanlah yang kuandalkan sekarang untuk dirinya.
Kemudian dia bangkit berdiri, mencium pipiku. “I love you, Mom.” Katanya kepadaku.
“I love you too, Honey.” Balasku sambil tersenyum. Kata-kata cinta dari anak-anakku membuatku merasa lebih tenang dan tentunya juga membuatku bahagia. Masa suramku yang menghantuiku sampai sekarang bisa kulupakan dalam sekejap, tapi suatu saat pasti akan kembali lagi entah dengan jalan apa nantinya.
Vania pergi untuk persiapan pergi, sedangkan aku mulai merasakan sunyi kembali. Membosankan benar. Rasanya aku ingin bercakap-cakap tapi sepertinya tidak ada yang ingin berbicara satu ataupun dua patah katapun.
Jika suasana seperti ini, aku ingin sekali menonton film yang bergenre action atau adventure saja. Itu lebih seru daripada komedi yang sedari tadi ditonton tapi penonton disini tidak ada yang tertawa. Lagipula komedi itu juga tidak bermutu.
Ngomong-ngomong soal yang berbau aksi, aku teringat bahwa hari ini anakku akan belajar untuk bermain pedang. Itu ide bagus!
“Kevin, kudengar kau ada janji hari ini bukan?” tanyaku.
“Janji?” dia berpikir sejenak. Lalu dia menatap Calvin. “Bagaimana, Mr. Riicon?” tanyanya kepada Calvin.
“Tidak masalah jika kau ingin berlatih sekarang. Lagipula hari ini tidak ada urusan pekerjaan, benar?” arah pandangannya berubah ke arahku.
“Aku sudah mengambil cuti untuk natal dari kemarin.” Kataku sedikit tidak suka karena dia mencampurkan masalah pekerjaan. Soal itu aku tidak ingin membahasnya karena membuatku benar-benar pusing.
“Kurasa sekarang bisa.” kata Kevin yang mengerti ketidak sukaanku. Jujur saja, saat dirinya di Inggris aku sering menelponnya sambil mengeluhkan soal pekerjaanku kepadanya.
“Memang lebih baik sekarang.” Tambahku bersemangat. Tiba-tiba semuanya mengarah kepadaku dengan sedikit penasaran. Mungkin mereka menyadari perubahan moodku yang tiba-tiba saja berubah. Aku tersenyum seperti orang bodoh.
Kulihat Calvin tersenyum kecil, kurasa dirinya menjadi geli melihat tingkah bodohku tadi. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu, ataukah aku tertarik? Yang benar saja, itu tidak mungkin.
Akhirnya semuanya memutuskan untuk latihan sekarang. Latihan ini adalah latihan pertama Kevin dalam ilmu pedang. Sebuah pedang yang kupesankan sebagai kado spesialnya pada ulang tahunnya yang terjadi kemarin. Sebelumnya aku yakin dia akan menyukainya, tetapi ternyata dia sangat menyukainya. Aku senang melihat responnya. Lalu aku menawarkan padanya bahwa aku akan mencarikan guru untuknya jika mau berlatih menggunakan pedang itu. Dengan semangat dia terima. Maka aku memanggil Calvin yang jago bermain pedang untuk mengajarinya. Semangat membara yang kulihat dari diri Kevin benar-benar muncul. Sekarang kurasa dia kembali bersemangat.
Aku menunggu mereka berdua yang sedang persiapan diri di beranda belakang rumah. Suasananya mirip saat musim semi menjelang musim panas. Hawanya juga sedikit lebih panas. Rasanya temperaturnya terlalu tinggi menaikan suhu di dalam ruangan besar ini.
Sambil menunggu dua lelaki itu, aku ditemani segelas jus manga dingin dilengkapi cemilanku. Sudah setua ini masih saja suka keripik kentang yang dibumbui. Melihat diriku yang awet muda ini, tidak salah makan makanan cemilan favoritku saat aku remaja. Lagipula disini tidak hanya diriku saja yang menyukainya.
Sekitar menunggu tiga menit, Calvin muncul yang terlebih dahulu. Pakaian yang digunakan tidak berubah sama sekali. Lalu apa yang dilakukannya sejak tadi?
“Tidak ganti baju olah raga?” tanyaku penasaran.
Dia menatapku. “Aku tidak membawanya, lagipula siapa juga yang mau memakainya.” Jawabnya.
“Lalu apa yang kau lakukan barusan?” tanyaku lagi masih penasaran.
“Perutku sakit sekali tadi.”
“Kau sakit apa?”
“Tidak ada.” Dirinya duduk di kursi di sampingku yang terpisahakan oleh meja kecil. “Inilah tidak enaknya diriku.” Keluhnya tiba-tiba.
“Seharusnya kau bersyukur—“
“Kau sudah pernah mengatakan itu,” potongnya.
“Aku tahu itu. Tapi,” aku diam sebentar “rasanya aku ingin marah jika kau berkata seperti itu.”
Dia menatapku tampak sedikit kebingungan. “Lalu mengapa kau tak marah-marah saja, sekalian—“
“Aku memang tidak mau marah. Percuma, tidak ada gunanya.” Selaku. Aku tidak mau mendengar kata-kata yang akan dia katakan.
“Benar juga,” tiba-tiba kudengar dirinya berkata seperti itu setelah kami diam membisu beberapa detik. Kurasa dirinya baru saja selesai berpikir. “kau adalah seorang ibu, kau juga harus mencerminkan sikap baik demi anak-anakmu, bukan?”
Mendengarnya itu rasanya aku ingin mencekiknya agar dirinya sadar apa yang baru saja dikatakannya. Disini aku merasa terhina sekali dikatakan seperti itu. hallo? Bisakah aku bertanya sesuatu? Disini siapa yang membuatku menjadi seorang ibu, Idiot? Pikir saja sendiri. Aku benar-benar tidak suka dan juga kesal.
“Tapi aku salut denganmu,” kudengar dia berkata lagi denganku. Aku menatapnya. “dalam kondisi seperti ini pun kau masih bisa menutupinya dengan sempurna. Aku tahu ini semua rencanamu, tetapi entah bagaimana…” tangannya menggenggam tangan kananku yang berada di atas meja.
Aku langsung melepaskan genggamannya sebelum ada orang melihat terutama Kevin. Tekadku memang sudah bulat untuk tidak menerima cinta baru apapun itu. Aku memang merencanakan ini agar anak-anakku bisa hidup nyaman kelak. Inilah tugasku sebagai seorang ibu bagi anak-anakku. Yang kuinginkan adalah hal yang terbaik bagi mereka untuk ke depannya, masa depan mereka, dan kebahagiaan mereka kelak.
Lama-kelamaan terasa jengah juga akhirnya berduaan sendiri dengan Calvin. Kevin lama benar tidak muncul. Kali ini dia adalah harapan utamaku untuk menghindari suasana ini walaupun aku dan Calvin lebih sering berduaan. Waktu terus berlanjut dan rasanya Calvin makin berani dalam urusan ini. Dimana sikap profesionalnya yang sering muncul itu?
“Jangan berlebihan,” kataku tiba-tiba. “kau bekerja di sini. Bukan—“
“Bukan apa? Mencari cinta denganmu? Jangan bodoh!” ejeknya kepadaku sebelum aku menyelesaikan perkataanku. “asalkan kau tahu, di sini aku bersikap sebagaimana layaknya diriku di sini. Aku juga mengabulkan apa yang kau inginkan dariku. Aku sudah bersikap normal seperti biasanya untukmu. Kini kau bilang seperti itu.”
Aku melototinya. “Kau memang tidak punya perasaan, Calvin.” Kataku, suaraku naik satu oktaf dan sedikit kupelankan. “Kau tidak tahu apa-apa—“
“Kau maksudkan masa lalumu yang sering kau bilang suram itu? Lupakan saja masa lalu itu, tidak ada gunanya terus mengingatnya dan merasakan sakitnya. Kau bodoh atau—“
Aku langsung bangkit berdiri dan menyelanya, “Kau tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, Calvin.” dengan lembut kukatakan seperti itu. “Mengapa kau berubah? Dimana Calvin yang kukenal dahulu?” tanyaku kepadanya masih dengan suara lembut.
Aku memandangi taman di depanku. Sasaran utama dari pandanganku adalah sebuah bunga mawar yang baru saja mekar. Bunga berwarna merah itu tampak anggun dari semua bunga yang ada tetapi juga paling berbahaya. Tidak ada yang mau mendekatinya karena dia berduri tajam. Sampai-sampai manusia harus berdarah dan merasakan sakit dahulu sebelum mendapatkannya. Itu seperti sebuah perumpamaan. Akulah manusia itu, lalu siapa bunga mawar itu? Bunga yang ingin kuhancurkan agar lenyap di dunia ini sehingga aku tidak akan merasakan kesakitan lagi.
Tiba-tiba kurasakan sebuah sentuhan yang meluluhkanku dan sebuah suara yang tenang membuatku sadar. “Tenanglah…” itulah katanya. Kukedipkan kedua mataku sekali dan melihat apa yang kulihat tadi. Bunga mawar yang indah itu hancur menjadi debu. Yang kulihat hanya tangkai dan kelopak kecilnya saja, tidak ada bunga mawar merah yang baru saja mekar itu. Dengan kata lain, aku menghancurkannya.
Entah untuk keberapa kalinya aku bisa lepas kendali seperti ini. Aku sudah bertekad untuk membuang kata balas dendam yang kurasakan. Aku tidak mau ini terjadi lagi. Aku tahu resiko dari balas dendamku yang berartikan kematian diriku sendiri yang sangat mengenaskan. Tidak…!! Aku tidak mau seperti ini. Diriku bukanlah orang pendendam dan aku benci dengan kata dendam.

Kulepaskan sesuatu yang mencengkeram tanganku dengan kuat. Tapi rasanya cengkraman itu tidak mau begitu saja melepaskanku. Yang kubutuhkan hanyalah sebuah pencerahan diri dan ketenangan. Sulit untuk mengendalikan sesuatu yang dimiliki, apalagi itu benar-benar kuat. Inilah tidak enaknya diriku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji