Langsung ke konten utama

Perasaan

para pembaca terhormat... entah ini sudah pasti atau belum tapi yang benar saja saya sudah lima kali mengedit dan akhinrya menjadi seperti ini... jujur saja, boring sudah muncul dan sudah merajalela... maka saya tulis ini sudah saya niat-niatkan sekali dan akhirnya jadi seperti ini. saya tidak tahu ini akan ada perubahan lagi atau tidak... yang penting ini sudah jadi. selamat membaca dan mohon apresiasinya, serta mohon hargai karya saya...

Sekitar pukul sepuluh malam, Alicia berdiri diatas beribu pasir pantai yang halus dengan ditemani angin dingin yang membelai kulitnya. Suara deburan ombak juga terdengar olehnya memudarkan kesunyian dirinya. Inginnya ia meneteskan air mata sehingga terlihat seperti drama di film-film yang pernah ia tonton. Tapi, air mata itu adalah air mata syukur akan semuanya kepada Tuhan.
Wajahnya memang melihat ke arah lautan tapi matanya tertuju pada sebuah objek di pantai. Seseorang berdiri di sana menghadap ke langit-langit mengabaikan air laut yang terus menghantam kakinya. Rupanya idenya membawa temannya kemari mungkin akan berhasil untuk menaikan mood temannya. Ia membutuhkan ketenangan, maka ia bawa ke pantai ini.
Alicia melepaskan sepatunya dan ia meletakannya di dalam jipnya. Dengan kaki telanjang ia berjalan menyusuri pasir halus mendekati temannya yang masih membeku di tempat. Ia berdiri di sampingnya dan sedikit meliriknya. Ternyata ia juga diabaikan dan asik menatap bintang-bintang di langit yang sebagian tertutup awan mendung.
“Mereka bisa menjadi teman curhatmu.” Alicia mulai angkat bicara.
“Sayangnya mereka tidak dapat membalasku.” Timpal Calvin yang masih menatap langit-langit.
Alicia tersenyum. “Bayangkan bahwa langit adalah hatimu, dan bintang-bintang itu adalah sesuatu yang ada di hatimu. Maka kau tahu apa balasan mereka.” Katanya pelan.
“Yeah… aku sudah memikirkan itu sekarang,” Balas Calvin sambil menatapnya. “terima kasih.”
Alicia menganggukan kepalanya sambil tersenyum manis sekali. Ia terkesan bahwa ia dapat menghibur temannya itu. Tapi yang membuatnya tetap janggal adalah permasalahan mengapa temannya tiba-tiba seperti itu.
“Soal tadi lupakan saja. Maaf tadi memaksa tanganmu untuk menyentuhku.” Kata Calvin tiba-tiba.
“Tidak masalah,” Alicia menatap tangan kirinya. “kau membutuhkan untuk menenangkan dirimu. Aku tidak keberatan.” Jawabnya pelan.
“Tidak biasa,” Calvin tertawa mengejek. “kau selalu marah jika kuperlakukan seperti itu.” Terusnya dengan nada mengejek.
“Karena keanehanmu melunturkan emosiku.” Balas Alicia tetap dengan suara lembutnya.
“Keanehan?”
“Iya. Kau aneh tadi dari mini market. Apa gara-gara kartu kredit kau bisa seperti ini?”
Calvin menatapnya dengan kebingungan. Akhirnya ia tertawa.
“Ada apa?” tanya Alicia kebingungan.
“Kau pikir semuanya karena kartu kredit itu? Tentu saja tidak.” Jawab Calvin geli.
“Lalu?”
“Sesuatu,”—Calvin membelai rambut Alicia—“yang tidak kau mengerti. Kau mengerti urusanku tapi kau tidak mengetahui permasalahan intinya.”
Alicia menjadi bingung kembali setelah mendengar jawaban temannya. Apakah benar temannya ini belum sembuh total?
“Ayo pulang.” Ajak Calvin sebelum Alicia dapat membalas bertanya. Kemudian ia meninggalkan Alicia. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan ia segera menjawab panggilan yang masuk. “Hallo.” Katanya datar.
Sela beberapa detik, Alicia mendekat karena penasaran. Tapi tiba-tiba berubah menjadi kebingungan.
Calvin menutup telepon lalu menatap Alicia dengan masamnya. Bibirnya begetar dan sepertinya hendak menyampaikan sesuatu tapi terasa enggan di hatinya. Tapi ini penting.
“Rumah diserang,” kata lemas Calvin.
“Apa? Bagaimana bisa?” tanya Alicia yang terkejut mendengarnya.
“Rumah diserang dan mereka mencari aku. Aku memang harus meninggalkan tempat ini segera, tapi…” Calvin diam sebentar “bagaimana dengannya? Tak mungkin aku meninggalkan dirinya seperti ini. Aku harus tinggal, apapun resikonya.” Terusnya berkata kepada dirinya sendiri.
“Akan kuantar kau. Ini tugasku.” Kata Alicia senang karena ia dapat bekerja lagi.
“Tidak! Ini permasalahannya berbeda, Alicia. Kau tidak mengerti.” Elak Calvin yang masih bingung memutuskan keputusan.
“Jadi? Apa yang terjadi? Dan apa yang ingin kau lakukan?” tanya Alicia kemudian.
“Aku sasaran mereka dan aku tak mungkin meninggalkanmu, okay. Kau pasti juga akan menjadi sasaran mereka karena kau dekat denganku. Aku tidak ingin kau menjadi korban masalah ini karena aku. Aku. Aku takut kehilangan kamu, Alicia. Kau adalah orang yang sangat aku cintai, tak mungkin aku membiarkanmu menderita seperti ini.” Kata Calvin tanpa pikir menyebabkan semua perasaannya yang tersimpan ia ungkapkan. Hingga akhirnya ia sadari bahwa ia terlalu berlebihan mengungkapkannya, ia sedikit ragu-ragu apa tanggapan orang yang baru saja ia tembak.
“Kau mencintai aku?” tanya Alicia ragu-ragu dengan pendengarannya. Ia tidak percaya bahwa ada orang yang menyatakan cinta kepadanya.
“Lupakan soal itu. Yang terpenting adalah—“
“Enak saja. Ada orang yang baru saja menyatakan cinta kepadaku. Dan seenaknya kau bilang untuk melupakannya? Ini pengalaman pertamaku ditembak dengan cowok, tahu. Tak mungkin semudah itu…” kata Alicia yang merasa geli.
“Masalah ini serius dan soal itu tadi bisa kita bahas dimomen yang lebih tepat.” Balas Calvin yang tiba-tiba menjadi salah tingkah.
“Calvin, jarak dari sini ke rumahmu itu sekitar dua puluh tiga kilometer. Tidak mungkin mereka dapat melacakmu.”
Calvin menunjukan ponselnya dan membuat Alicia langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
“Nicolas baru saja menelponku dan itu tandanya aku harus meninggalkan tempat ini, Alicia. Tapi aku tidak ingin berpisah denganmu.” Kata Calvin pelan dan sedikit blak-blakan.
“…” Alicia diam dan ingin terus mendengar ocehan Calvin yang akan tiada akhir. “Baiklah, Calvin. Intinnya adalah kau ingin pergi tapi karena ada aku, membuatmu menjadi tidak ingin pergi meninggalkan aku. Karena kau mencintaiku? Benarkah itu? Mengapa kau tidak membawaku saja, begitu saja repot.” Katanya kemudian.
“Membawamu pergi? Jangan bercanda. Apa urusanmu?” terdengar suara Calvin lebih mengejek. Ini membuat Alicia sadar bahwa Calvin memang belum sembuh.
“Kau ingin segalanya aman, bukan?” tanya Alicia kepadanya.
“Tapi rumah tidak aman. Markas besar belum mengirim bantuan.” Jawab Calvin. Suaranya tiba-tiba berubah menjadi lemas.
“Jadi?”
“Aku ingin menolong mereka, tapi bagaimana? Aku takut kau kenapa-kenapa.”
“Kau bukan superman, Calvin. Kau bukan super hero yang harus menolong orang di luar kemampuan manusiamu. Cobalah kau percaya kalau semua orang dirumahmu akan baik-baik saja setelah ini. Markas besar pasti sudah mengirimkan bantuan. Mungkin baru perjalanan. Lagipula jarak rumahmu dengan markas besar terpisah oleh samudra. Jadi memerlukan waktu agar sampai di rumahmu.” Kata Alicia mencoba menenangkan temannya.
“Ini sangat berbahaya.” Kata Calvin kepada Alicia lalu mendorong wajahnya mendekat ke Alicia. Matanya penuh harap akan sesuatu tapi Alicia tidak tahu apa itu. “Kau mengerti?” tanya Calvin setelah itu. Alicia membalasnya dengan menganggukan kepalanya.
“Bagus.” Kata Calvin pelan dan penuh dengan makna. Sepertinya ia puas dengan anggukan Alicia. Kemudian dengan tanpa sadar, ia mencium tepat di bibir Alicia dengan sangat lembut. Ia menciumnya sekali saja karena kemudian ia mendorong tubuh Alicia hingga terjatuh diatas pasir pantai.
Ini memang membuat Alicia sangat terkejut apalagi ini ciuman pertamanya, ditambah Calvin tiba-tiba menindihnya sekarang. Ia menjadi merasa bahwa bahaya mengancam, yaitu Calvin. Segera ia mendorong tubuh Calvin agar tidak menindihnya tapi suara senapan terdengar di pendengarannya. Senapan itu berjenis SMG yang terus dilontarkan lebih dari dua puluh kali. Suara itu membuatnya sadar bahwa Calvin menyelamatkan dirinya.
“Ini yang kumaksud.” Kata Calvin kemudian yang berada di atasnya. Tatapannya muram.
“…” Alicia diam tak dapat berkata-kata lagi.
Calvin langsung bangkit berdiri sambil melepaskan jaketnya. Kini ia terlihat dengan kaos hitamnya dengan dua bilah pedang samurai menggantung di belakang punggungnya.
“Berlindunglah.” Katanya datar kepada Alicia. Kemudian dia mulai beraksi sedangkan Alicia segera bangkit berdiri dan mencari tempat sembunyi.
Ia berlari menuju jipnya. Rencananya ia akan menghidupkan kendaraannya kemudian kabur dari tempat itu juga. Pekerjaannya menuntut dirinya untuk kabur dari tempat itu juga. Lagipula siapa yang tidak kabur di dalam kondisi seperti ini? Maka dengan sekuat tenaga ia berlari menuju jipnya. Tapi, karena ia tidak fokus dengan sekelilingnya, ia dipukul oleh seseorang yang sebuah senapa besar. Logamnya yang keras membentur kepalanya dengan sangat kuat sehingga ia melompat jauh ke belakang dan terjatuh. Kepalanya sangat sakit dan pandangannya menjadi buram. Selain itu, keluar darah di dahi kanannya. Ia memegangi kepalanya yang pusing itu sambil menahan sakitnya.
Pandangannya membaik disaat seseorang menodongkan senapannya kepada dirinya. Ia mengambil langkah mudur dengan mendorong pantatnya kebelakang dengan bantuan kedua tangannya yang menariknya mundur. Ia menelan ludahnya perlahan sambil terus mundur perlahan. Tiba-tiba Calvin tiba sambil memukul orang yang tadi memukulnya itu dengan pedangnya yang tertutup dengan sarungnya. Ia menendang jauh-jauh senapan yang dibawa orang itu dan mendorong orang itu menjauh dari Alicia. Kemudian Calvin memukulnya sekali lagi membuat orang itu langsung tak sadarkan diri. Lalu Calvin mendekati Alicia sambil menggantungkan pedangnya di belakang punggungnya.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.
“Yeah…” jawab Alicia lemah.
“Kau berdarah.” Kata Calvin sambil menggendong tubuh Alicia.
“Hey, aku bisa berjalan sendiri.” Elak Alicia sambil mencoba untuk melepaskan diri tapi Calvin dapat dengan kuat memeluknya sambil menggendongnya. Tanpa Alicia sadari, Calvin sudah mengambil langkahnya mendekat ke jipnya.
Calvin meletakannya di kursi penumpang. Kemudian mengambil tas kecil milik Alicia dan ditumpahkan semua isinya di belakang kursi penumpang. “Kau tidak membawa kotak obat?” tanyanya sambil mencari-cari barang-barang itu di dalam kegelapan.
Alicia yang masih merasa pusing menengok Calvin. “Ada senter di kotak itu, di dalamnya juga ada kotak obat.” Katanya sambil menunjukan sebuah kotak besar di belakang kursi pengemudi.
Calvin segera mengambilnya dan membuka isinya. Diambilnya senter dan dihidupkannya, kemudian ia mengambil kotak obat yang dikatakan Alicia tadi. Setelah itu, diletakannya kotak obat itu dipangkuan Alicia. Ia akan mengobati temannya.
“Aku bisa mengobati diriku sendiri.” Kata Alicia pelan sambil memegangi kepalanya.
“Jika kau sudah melewati masa pinsanmu.” Jawab Calvin sambil membuka kotak obat kemudian ia mengambil botol air mineral yang tadi di beli.
“Calvin, aku bisa… auw!” Alicia sedikit merintih kesakitan karena Calvin sudah mulai membersihkan luka itu dengan air mineral. Kemudian Calvin mengobati luka itu dengan obat merah dan diplesternya luka itu. Ia melakukannya dengan sangat cepat sehingga Alicia tidak sadar bahwa lukanya sudah diplester.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Calvin setelah itu. Ia menutup kotak obat dan membuang kapas-kapas kotor ke dalam kantong plastic yang sudah disediakan Alicia.
Alicia memijat-mijat kepalanya yang berdenyut-denyut dan menekan ringan pada lukanya yang sudah ditutupi perban dan plester. “Lebih baik, terima kasih.” Katanya lalu tersenyum kepada Calvin.
“Kau harus istirahat.” Perintah Calvin.
“Aku—“
“Kau membutuhkannya. Dan…” potong Calvin lalu mengeluarkan sebuah suntikan di saku celananya, ia melepaskan penutup suntikan kemudian menancapkan jarum suntik itu di lengan kiri Alicia. Hanya beberapa detik tanpa menekan suntikan itu, ia melepaskannya dan memasukannya di dalam sakunya kembali lalu berkata, “kau memang harus istirahat.”
Alicia menatapnya dan ia merasa sedikit takut dengan apa yang temannya suntikan padanya. “Apa yang kau suntikan?” tanyanya sedikit was-was.
“Obat bius.” Jawab Calvin langsung.
“Darimana kau mendapatkannya?” kini suara Alicia naik satu oktaf.
“Aku selalu membawanya.”
“Membawanya? Kau tidak pernah membawa suntikan seperti itu kecuali disaat kau bekerja di rumah sakit itu.” Kata Alicia curiga.
“Aku tahu, tapi kau harus istirahat…” jawab Calvin lembut.
“Aku tidak mau istirahat setelah aku mengetahui apa yang kau masukan ke dalam tubuhku!” bentak Alicia. Tapi tiba-tiba kepalanya terasa sakit kembali.
“Tenang dan istirahatlah, Al. Yang kusuntikan itu semacam obat bius. Itu bukan serum virus penyakit ataupun narkoba. Ini tidak membahayakanmu, Al. Percayalah kepadaku.” Jawab Calvin masih lembut.
Alicia menganggukan kepalanya tandanya ia percaya. Kepalanya sudah merasa lebih baik, maka ia berpindah tempat duduk tapi Calvin menariknya agar duduk di kursi penumpang.
“Biar aku saja.” Jawab Calvin menatap pertanyaan Alicia yang dikatakan lewat matanya yang sayu.
“Ini pekerjaanku.” Kata Alicia sambil mencoba untuk mengambil kemudinya.
“Tidak. Ini gantian pekerjaanku. Kau istirahat dan kita harus pergi dari sini.” Elak Calvin lalu memerintahkannya untuk berisitirahat sambil memasangkan sabuk pengaman kepada Alicia agar tidak dapat beranjak lagi. Ia mengetahui bahwa Alicia mulai sedikit kesal kepadanya.
Calvin mengembalikan kotak obat ke tempat semula kemudian ia duduk di kursi pengemudi. Ditatapnya Alicia sebentar yang sudah menutupkan kedua matanya, entah tertidur atau berpura-pura tidur, yang penting ia mau untuk beristirahat sebentar sampai dirinya benar-benar pulih. Kemudian Calvin membawanya ke sebuah tempat yang baginya aman.
Waktu memang berjalan sangat cepat bagi Alicia yang tadi sempat tertidur, ia yakin ini masih petang dan memang benar. Hawa dingin menyelimutinya dan kegelapan di depan matanya yang telah terbuka. Tubuhnya secara reflek menegang dan merasa ketakutan. Kedua matanya ia pejamkan sangat rapat saking takutnya. Ia takut gelap dan dingin. Ini selalu dianggapnya mimpi buruk walaupun ia mengetahui kalau ia sudah sadar dari tidurnya. Ia mencoba menggerakan tangannya untuk meraih sesuatu, ia harap sebuah tombol lampu tidurnya tapi ia tidak menemukannya. Yang ia rasakan adalah permukaan kasar dan berantakan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali barang-barang tidak berguna. Sadarkah dirinya bahwa ia sedang tidak ada di rumah? Kesadarannya membuatnya semakin takut. Ia sendirian di tengah kegelapan dan hawa dingin yang terus menusuknya. Ini sangat menyiksanya.
Tangannya terus bergerak mencari sesuatu, misalnya senter. Tapi yang ia temukan adalah semacam obeng, tang, palu, dan semacamnya. Karena baginya tidak perlu ia membuangnya asal sehingga benda itu menjauh dan tidak ia dapati lagi saat tangannya terus merambat mencari sesuatu yang bercahaya.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan kesakitan yang keras, “Ouch… auw…”
Alicia langsung sedikit senang karena ia tidak sendirian. Tunggu sampai orang itu memberikan cahaya kepadanya dan ia akan segera sadar dari mimpi buruknya ini. Sayangnya, ia tidak dapat mengeluarkan suaranya karena saking tercekatnya ia di dalam kegelapan yang sangat ia takuti. Tiba-tiba tangannya digenggam seseorang dan itu sangat hangat.
“Aku disini, Alicia.” Kata Calvin yang melihat temannya gelisah dalam tidurnya.
Alicia bersyukur mendengarnya karena tandanya Calvin berada di sampingnya. Digenggamnya tangan itu lebih kuat dan ia mengumpulkan keberaniannya. Ini tidak sepenuhnya gelap seperti di dalam mimpinya, dan ini tidak sepenuhnya beku seperti di dalam mimpinya yang buruk. Intinya adalah, ada Calvin disampingnya.
Ia mencoba untuk menggetarkan pita suaranya, “Calvin, kau disini?”
“Iya. Buka matamu, Alicia.” Jawab Calvin lalu memerintahkan temannya untuk membuka matanya.
Alicia perlahan membuka kedua matanya dan mendapati cahaya senter menyinari sebuah wajah yang masih remang-remang di penglihatannya. Ia tutup matanya sebentar lalu membukanya. Ia melakukan itu berulang kali sampai penglihatannya mulai jelas.
Sosok berwajah oval berkulit putih menatapnya. Wajahnya penuh dengan memar dan terdapat benjolan di pipi kanan dekat bibir atas. Selain itu terdapat cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya yang panjang. Melihat itu, Alicia langsung terkejut dan berteriak ketakutan. Ia menendang orang itu dan tangannya yang merambat mencari senter tadi memegangi sebuah benda yang keras dan berat. Dipukulnya orang itu dan dia langsung tak sadarkan diri.
Nafas Alicia terengah-engah karena ketakutannya. Senter yang sekarang terjatuh dipangkuannya menyinari sosok berwajah seram itu. Dilihat dari wajah samping kiri itu terlihat seperti wajah Calvin tapi terdapat luka memar di wajahnya dan bekas darah. Ia perhatikan itu lebih teliti dengan menyinari wajah itu dengan senter. Tangannya bergetar saat dia menyinari wajah itu.
Cahaya itu memantulkan wajah orang itu. Wajah yang sangat ia kenal tapi wajahnya memang benar-benar parah. Luka memar dimana-mana dan darah hampir menghiasi seluruh wajahnya—mirip seperti zombie. Ia menyadari bahwa orang itu adalah Calvin—orang yang baru saja ia pukul dengan dongkrak mobil! Secara reflek ia menggoyang-goyangkan tubuh Calvin dan berharap bahwa Calvin baik-baik saja. Ia mendekatkan telinga kanannya ke dada Calvin untuk memastikan bahwa jantung Calvin masih berdetak. Untungnya masih berdetak dan detakan itu terdengar normal. Lega di hati Alicia muncul setelah mendengarnya. Ia mulai duduk tegak kembali dan menggoyangkan tubuh temannya lagi.
“Calvin bangun… jangan tinggalkanku sendirian disini.” Katanya dengan suara bergetar.
Calvin masih tidak terbangun dan ini membuat Alicia ketakutan. Ia terus berkata agar Calvin terbangun sambil menggoyangkan tubuh itu. Ia menangis karena ketakutannya akan Calvin. Ia tidak ingin kehilangan Calvin karena dia sangat penting baginya.
Calvin adalah satu-satunya teman yang ia miliki dan dialah yang mengenalkan dirinya akan dunia luar. Tidak mungkin ia dapat berdiri di sini tanpa Calvin yang setia menemaninya sampai ia merasa betah di dekatnya—walaupun cerewet. Ia menyukai itu karena keheningan di hatinya menghilang karena Calvin. Dia adalah orang yang paling penting dihidupnya. Ia tidak ingin kehilangan dia dan tentunya ia ingin dia selalu ada di sampingnya. Ia sangat memerlukan Calvin.
Ia memeluknya dengan sangat kuat dan berharap hal yang lebih baik untuk Calvin. Ia ingin Calvin masih hidup dan tidak meninggal akbiat dirinya pukul dengan benda keras—dongkrak—itu. Tangisannya menderu-deru seperti mesin jipnya dan Calvin mendengarnya. Ia sebenarnya berpura-pura tidak sadarkan diri agar tahu reaksi temannya seperti apa. Dasar Calvin.
“Sudah cukup adegan dramatisnya.” Kata Calvin selang beberapa menit setelah tangisan Alicia terdengar. Ia membelai rambut Alicia dengan lembut untuk memberikan ketenangan baginya.
“Calvin? Calvin? Kau sadar? Kau masih hidup?” tanya Alicia terkejut sambil melepaskan pelukannya dan melihat Calvin untuk memastikan bahwa ia benar-benar mendengar suara Calvin.
“Iya. Ini hanya luka kecil kok.” Jawab Calvin sambil bangkit duduk di depan Alicia.
Alicia mengusap air matanya lalu memeluk Calvin dengan eratnya. Ia bersyukur bahwa Calvin baik-baik saja.
Calvin tersenyum senang karena ia mendapatkan kesempatan besar untuk menyentuh Alicia dengan memeluknya seperti memeluk kekasihnya sendiri. Biasanya Alicia sudah marah-marah jika ia sudah melakukan ini ditambah ia harus menghindari setiap tembakan Alicia yang diarahkannya, apalagi yang digunakan adalah pistol asli—bukan pistol air.
Tiba-tiba Alicia melepaskan pelukannya dan  mengambil senter untuk memeriksa luka di wajah Calvin. Wajahnya terlihat sangat khawatir apalagi yang membuat wajah Calvin penuh darah itu akibat dirinya yang sedikit teledor. Tapi Calvin memegangi tangannya yang memegang senter itu dan disingkirkan senter itu agar tidak menyinari wajah Calvin yang buruk.
“Nanti kau terkejut dan memukulku lagi,” katanya.
“Tidak, aku mengetahui ini kamu Calvin.” Balas Alicia yang mencoba untuk mengarahkan cahaya senter ke wajah Calvin tapi Calvin masih menghalangi.
“Tidak… ini terlalu buruk. Nanti kau ketakutan dan aku yakin kau bakal menembakku dengan pistol.” Kata Calvin.
“Aku bisa mengatasinya.” Balas Alicia ngotot.
Calvin mulai melepaskan tangannya dan membiarkan Alicia melihat wajahnya yang ia yakin mirip zombie itu. Ia takut kalau Alicia ketakutan, bukan takut karena Alicia bakal memukulnya melainkan Alicia takut dengan dirinya dan meninggalkan dirinya. Ia tidak menginginkan orang yang sangat ia cintai pergi meninggalkan dirinya karena takut dengannya.
Ia memejamkan matanya saat wajahnya diterpa cahaya senter.
“Mmm… luka memarnya ada di pipi kanan kamu dekat bibir atas, Calvin. Ada juga di dekat mata kamu, dan… darahnya juga keluar cukup banyak.” Kata Alicia yang memeriksa wajah temannya itu mirip seperti seorang dokter.
“Jadi lukanya cukup parah gak, Dok?” tanya Calvin sok jadi pasien.
Alicia tersenyum kecil dan ia tidak mau menampakan kebahagiaannya. Ini semua memang salah dirinya dan ia mengakuinya sampai ia terus mengatai dirinya tidak berguna. Selain itu, ia senang karena ia akhirnya dapat mengobati Calvin.
“Kuobati ya?” tawar Alicia senang.
“Terserah.” Jawab Calvin asal-asalan lalu mengeluarkan sebuah suntikan—sama dengan yang ia berikan kepada Alicia—di dalam saku celanannya. Kemudian ia menusukan jarumnya dan menekanny sehingga obat cair itu masuk ke dalam tubuhnya. Tidak seperti Alicia yang hanya di tusukan beberapa detik tanpa di tekan kemudian di tarik kembali.
“Itu apa Calvin?” tanya Alicia yang sudah mengeluarkan obat merah dari kotak obat. Matanya melirik kearah suntikan itu.
“Ini obatku.” Jawab Calvin.
“Bukannya itu yang kau suntikan padaku tadi?” tanya Alicia kaget karena teringat.
“Iya, tapi aku bawa tiga kok. Yang baru saja kamu gunakan itu ada di saku celanaku, tenang saja.” Kata Calvin sambil memasukan suntikan itu ke dalam sakunya kembali.
“Tapi Calvin, keperluan obat orang berbeda-beda.”
“Makanya kuberikan satu tetes untukmu agar kau lebih baik. Coba kutebak, kau tidak merasa sakit di kepala lagi, bukan?”
Mendengar itu Alicia langsung memegangi kepalanya dan menekan lembut pada lukanya yang tertutup perban dan plester. Karena setelah terbangun ia lupa bahwa ia memiliki luka di kepala dan rasa sakit itu benar-benar menghilang, ia tidak menyadarinya sebelum Calvin memberitahunya. Ini memang sedikit aneh karena lukanya begitu cepat sembuh. Atau memang obat yang diberikan Calvin itu benar-benar obat bius sehingga ia tidak dapat merasakan rasa sakitnya lagi. Jadi obat Calvin manjur hanya dalam setetes saja.
“Obat kamu manjur juga.” Kata Alicia masih menekan lukanya.
“Obat yang mana?” tanya Calvin tanpa sadar, maka ia langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
“Suntikan itu,” Jawab Alicia polos. “darimana kau mendapatkannya?” tanyanya.
“Sudah kubilang bahwa ini obat pribadiku.” Jawab Calvin sedikit kesal.
“Oh…” diam beberapa detik, “jadi dokter-dokterannya?” tanya Alicia pelan karena takut Calvin menjawabnya dengan nada kesalnya.
“Aku bisa melakukannya.” Jawab Calvin datar.
Alicia langsung memberikannya obat merah dengan wajah yang cemberut karena kesal. Ia kesal karena sebelumnya Calvin melarangnya untuk mengobati dirinya sendiri tapi sekarang ia tidak boleh mengobati temannya. Ini membuatnya kesal dan juga merasa bersalah.
“Hey Calvin. Kamu sungguh aneh akhir-akhir ini.” Kata Alicia ditengah kesunyian mereka.
“Aneh apanya?” tanya Calvin datar. Ia mengembalikan obat merah ke tempatnya kemudian melepaskan kaosnya tanpa menghiraukan Alicia yang menontonnya sekarang. Kini ia membasahi kaos itu dengan air mineral lalu ia kompreskan ke pipinya yang memar.
Alicia yang menjadi diam seribu kata ini langsung membalikan tubuhnya. Ada pemandangan bagus dan gratis tapi tidak baik untuk dirinya. Maka ia duduk membelakangi Calvin sambil berkata, “Kau aneh tadi malam sampai sekarang. Jujur saja, kau curang dan tidak adil.”
“Tidak adil bagaimana?” tanyanya sok ingin tahu.
“Kau dengan egoisnya mengobatiku tadi dan saat aku ingin membalas kebaikanmu, kau memperlakukanku seperti ini. Kau memang tidak adil.” Jawab Alicia kesal.
“Memangnya kenapa?” tanya lagi Calvin yang membuat Alicia makin memerah wajahnya karena kesal.
“Memangnya mengapa?” kata Alicia separo mengejek dengan kekesalannya, “kau tahu sesuatu hal yang membuatku ingin gila. Kau mencuri ciuman pertamaku dan kau juga membuatku pusing akan hal ini. Sejujurnya aku ingin mengetes dirimu apakah cocok dengan aku atau tidak dan… apa yang baru saja aku katakan? Oh tidak bukan itu maksudku… maksudku itu… aku…” Alicia bergumam sendiri setelah itu.
Calvin membuka mata kirinya dan melirik Alicia. Ia mendengarkan semua apa yang temannya ucapkan dan ia mengerti mengapa temannya itu bergalau sendiri. Anehnya, Calvin tetap diam dan tidak mau melakukan apa-apa.
“Soal ciuman itu, aku minta maaf…” kata Calvin akhirnya sambil menutup mata kirinya. Alicia menatapnya. “jika kau menolakku, aku tidak apa-apa kok. Aku masih mau jadi teman kamu dan aku juga tidak marah sama kamu. Yang penting kamu dapat bahagia dan juga tersenyum karena kau bahagia. Itu cukup dari jawaban perasaanku.” Terus Calvin yang masih tidur-tiduran.
Tubuh Alicia membeku dan diterpa angin sehingga rambutnya berterbangan. Wajahnya yang tiba-tiba saja kaku setelah mendengar apa yang Calvin ucapkan kepadanya. Sungguh tidak ia sangka bahwa Calvin berkata seperti itu. Padahal ia pikir Calvin bakalan marah jika ia akan tolak cintanya karena ia tidak—bukan tidak—tapi juga sama. Hanya saja ia belum mengerti soal perasaannya yang sesungguhnya. Ia belum mengerti bahasa cinta yang sebenarnya.
Angin terus menerpa wajahnya yang masih kaku dan rambutnya terus berterbangan. Kini ia mirip model yang baru pertama kali berkarir—tegang sekali. Tapi ini bukan karena ia malu kepada semua orang yang menontonnya, melainkan ia tidak tahu harus bagaimana ia sekarang. Apakah ia harus mengabaikannya? Atau ia harus angkat bicara lagi. Tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Tatapannya yang menatap Calvin dengan kosongnya dan pikirannya penuh dengan pertanyaan akan dirinya sendiri serta perasaannya sendiri.
Tapi, rasanya Calvin mudah melupakan itu semua dan tentunya juga sudah tidak peduli lagi. Apa dia benar-benar marah tapi tidak ia ungkapkan atau ia tunjukan? Apa karena tempat ini gelap membuat semua tipuan itu benar-benar dapat tertutupi? Tapi entah mengapa Alicia dapat mempercayainya dan ia sangat percaya.
Ucapan maaf dan tentunya jawaban yang tidak ia sangka membuat semuanya berubah.
“Kau…” sebuah kata terucap dari mulutnya.
Calvin mendengarnya dan ia menatapnya.
“Terima kasih atas pengertianmu.” Terusnya dengan nada yang pelan. Kepalanya menunduk saat mengucapkan terima kasih, membuatnya mirip dengan orang Jepang.
Dou itashimasu.” Balas Calvin sambil tersenyum.
“Apa?” tanya Alicia yang tidak mengerti apa yang Calvin katakan.
Calvin masih tersenyum kepadanya. Lalu ia bangkit duduk di depannya. “Kau tahu, Alicia. Kau mengingatkanku dengan adikku di Jepang.” Jawabnya tanpa ada nada emosi di setiap katanya.
“Kau punya adik?”
“Lebih tepatnya sepupu. Ibunya adalah adik dari papaku.” Jawab Calvin sambil menatap ombak yang masih menderu.
“Memang dia mirip denganku atau apa?” tanya Alicia polos.
Calvin menahan tawa. “Tentu saja tidak, Al. Dia jauh sekali berbeda denganmu dan ngomong-ngomong apa kamu tidak kedinginan?”
Alicia menyadari kondisi fisiknya yang tidak kuat dengan dingin itu. Ia menyentuh setiap lengannya yang bulu kuduknya sudah berdiri semua.
“Benar juga.” Kata Alicia pelan dan Calvin tersenyum mendengarnya.
Alicia mengambil jaket kulitnya yang berada di dalam tasnya sedangkan Calvin turun dari jip. Ia mencari-cari sesuatu yang ada di atas pasir pantai.
“Apa yang kau cari Calvin?” tanya Alicia ikut turun dari jip.
“Kayu bakar. Tadi terdapat beberapa nelayan memberikanku kayu yang dapat dibakar untuk membuat api unggun.” Jawab Calvin sambil mengumpulkan semua kayu-kayu yang sudah lapuk itu.
“Nelayan? Apa yang kau katakan kepada mereka?” tanya Alicia.
“Jangan khawatirkan hal itu. Aku sudah berkata kalau kita tersesat dan…” Calvin diam sebentar. Ia mengambil korek api yang tadi diberikan oleh para nelayan lalu menghidupkan api unggun itu. Lalu ia berkata lagi, “sebenarnya kita memang tersesat.” Terusnya dengan nada pelan. Ia tahu kalau Alicia bakal marah lagi dengannya.
“Apa?!” tanya Alicia kesal.
“Bagaimana lagi? Aku sudah berusaha menjauh dari lokasi itu.” Kata Calvin. Terdengar sedikit nada bersalah di dalamnya.
Alicia mencoba menurunkan emosinya. Sudah sering ia mengeluarkan emosinya karena Calvin dan bagaimana ia dapat akur dengannya jika ini terus terjadi? Maka ia memutuskan untuk duduk di samping Calvin, di depan api unggun itu.
“Intinya terima kasih lagi.” Katanya tiba-tiba.
“Lagi?”
“Iya. Kau menyelamatkanku dan mengobatiku semalam. Aku tahu kau menjagaku semalaman disaat aku tertidur. Lagi pula kita sudah sering tersesat. Walaupun bukan di pulau ini.” Terang Alicia dengan nada lembutnya.
“Oh… sama-sama. Inikan pekerjaanku.” Balas Calvin.
“Ini juga pekerjaanku.” Balas Alicia tidak mau kalah.
“Ini pekerjaan kita.” Tambah Calvin sambil menatap wajah Alicia yang menyala-nyala akibat pantulan cahaya api unggun.
“Kau benar. Aku tak menyangka bahwa aku mendapat pekerjaan seperti ini.” Balas Alicia yang kedua matanya menatap api unggun.
“Memang apa cita-citamu?”
“Entahlah…” jawab Alicia sambil menggelengkan kepalanya dan menatap Calvin. “aku belum memiliki sebuah cita-cita yang pasti.” Terusnya.
“Kalau begitu, apa tujuan hidupmu?” tanya Calvin tiba-tiba.
“Tujuan hidup?” Alicia kebingungan. “aku rasa, aku belum memiliki tujuan hidupku, Calvin. Aku saja tidak tahu mengapa aku hidup.” terusnya sambil menatap api unggun lagi. Kini benaknya melayang ke masa depannya yang akan datang.
“Tapi baiknya adalah kau mensyukuri hidupmu.” Kata Calvin yang membuat Alicia langsung menatapnya kebingungan.
“Mengapa kau katakana itu?”
“Karena memang benar, bukan? Kau orang yang percaya akan Tuhan dan kau taat beribadah. Kau selalu mensyukuri segalanya yang ada sehingga beban terasa seperti debu.” Kata Calvin yang masih memandangi Alicia penuh makna.
“Aku tak mengerti maksudmu.” Kata Alicia benar-benar tidak mengerti.
“Suatu saat kau pasti mengerti.” Jawab Calvin sambil menatapi langit gelap dan mendung itu. Kedua tangannya ia letakan diatas pepasiran pantai di belakang punggungnya, ia bersandar kepada kedua tangannya itu.
“Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu? Apakah kau sudah memiliki tujuan hidup?” tanya Alicia balik untuk mengganti topik tentang dirinya.
“Tentu saja sudah. Aku menemukannya satu setengah tahun yang lalu. Dan tibanya itu secara tiba-tiba. Aku juga tidak tahu mengapa itu terjadi.” Jawab Calvin panjang lebar.
“Lalu, kalau boleh tahu, apa tujuan hidupmu?” tanya langsung Alicia yang sebenarnya tidak mengerti penjelasan jawaban Calvin tadi.
“Menjaga sebuah cahaya tetap bersinar di hatiku. Karena cahaya itu yang mampu bertahan di dalam gelapnya hatiku. Ini mirip sekali bahwa hatiku adalah sebuah jagad raya yang sangat gelap dan sangat penuh dengan black hole karena banyak sekali cahaya-cahaya muncul dan akhirnya mati.” Jawab Calvin yang masih menatapi langit yang gelap.
“Apa cahaya itu aku?” tanya Alicia yang sudah menebak kemana arah pembicaraannya.
Calvin meliriknya sambil tersenyum kecil kepadanya. “Memang benar kau adalah sebuah cahaya yang bersinar paling terang, paling kuat, dan paling besar dari segala cahaya yang ada. Jika aku diumpamakan adalah jagad raya, kaulah bintangnya.” Katanya.
Wajah Alicia langsung memerah mendengar itu. Padahal wajahnya yang memerah itu ditambah dengan cahaya api unggun yang memantul membawa di wajahnya. Ia tampak seperti matang di pemanggangan. Ia tahu bahwa setiap laki-laki memuji seorang perempuan yang disukai itu artinya menggombal tapi saat ia mendengarnya, rasanya itu bukan sebuah gombalan yang sering terlontar oleh seorang laki-laki. Bukan itu. Melainkan sesuatu yang nyata dimatanya, dipendengaran, dan dibenaknya.
“Rasanya aneh ya?” kata Calvin tiba-tiba ditengah rasa malu Alicia.
“Mak-maksudmu?” tanya Alicia yang terdengar gugup. Ternyata ia sedang salah tingkah.
“Aku merasa bahwa aku tak salah dengan pemikiranku bahwa aku yakin kau akan menjadi milikku.” Jawab Calvin blak-blakan.
“Hah! Ma-mana mungkin! I-itu tida-k ak-akan ter-terjadi.” Kata Alicia tergagap karena masih salah tingkah.
“Berani taruhan?” tawar Calvin dengan jailnya.
“Tidak! Tidak akan pernah.” Jawab Alicia sambil bangkit berdiri. Kini ia merasa bahwa berjauhan dengan Calvin saat ini adalah yang terbaik.
“Mau kemana?” tanya Calvin yang melihatnya berjalan menjauh darinya.
“Mau tidur lagi.” Ketus Alicia.
“Kau mau kemana? Kau tak melihat jipmu ada dibelakangku?” kata Calvin sambil menunjuk ke belakang punggungnya.
“Maksudku, aku ingin tidur lagi untuk selamanya.” Jawab Alicia asal.
“Kau baik-baik saja kan, Alicia?” tanya Calvin khawatir. Ia bangkit berdiri lalu menyusul Alicia yang sudah berada di pinggir pantai.
“Aku rasa ada yang salah dengan pemikiranku, Calvin!” Teriak Alicia.
“Apanya?” tanya Calvin yang sekarang berdiri di belakangnya.
“Aku tidak mengerti perasaanku sendiri. Kau membuat jantungku terus berdetak dengan kencang, Calvin! Kau juga membuatku tidak ingin jauh darimu. Kau tahu, aku merasakan ini sudah lama sekali karena aku tidak mengerti apa maksud dari perasaan ini. Aku tidak mengerti!” Teriak Alicia dengan seluruh kekuatannya sehingga kini tenggorokannya terasa sangat kering.
“Aku juga sama merasakan hal itu kepadamu…” balas Calvin berbisik di telinganya. “tapi aku mencoba untuk memahami lebih isiku bahwa aku akan terus menjagamu hidup di dalam diriku ini. Aku memang mencintaimu, itulah bahasa yang kumengerti yang ada di dalam hatiku.”
Alicia menatapnya sambil membalikan tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Ditatapnya Calvin karena ia tidak percaya bahwa sudah sejauh ini. Ini mirip sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan di dalam hatinya sendiri yang nyatanya adalah jawabannya sudah di ucapkan Calvin baru saja. Permasalahan ini sebenarnya tentang kepercayaan Alicia tentang segalanya yang ia miliki. Ia memiliki hati yang terus ia percayai, tapi kali ini ia merasa ragu akan segalanya. Hatinya, serta Calvin. Inginnya ia mengatakan bahwa segalanya itu adalah sebuah ilusi, tapi ini nyata. It’s real! Seperti apa yang rasanya ia dengar tadi. Seperti apa yang Calvin katakana bahwa ia adalah sebuah cahaya di hatinya yang paling terang dan kuat serta paling besar yang mampu bertahan di dalam hatinya yang gelap. Tapi tetap saja, semua kebingungan tetap melandanya.
“Aku tidak mengerti, Calvin. Aku tak mengerti akan semua ini.” Katanya kepada Calvin.
“Dulunya aku juga seperti itu. Tapi karena aku peduli denganku serta dirimu, aku terus mencoba memahaminya. Jika setiap rasa yang namanya cinta setiap orang itu berbeda, yang kuharapkan adalah maksud rasa cinta kita itu sama.” Balas Calvin.
“Kau bukan pakar soal cinta, Calvin.”
“Bagitupun dirimu. Aku hanya mencoba memahami isi hatiku. Jika salah, kurasa ini wajar. Karena aku tidak pernah mengalami perasaan ini sebelumnya kepada orang lain, hanya pada dirimu seorang dan perasaan ini makin kuat jika kuperjuangkan. Kini aku mencoba perjuangankan secara terang-terangan dan aku senang kau memiliki rasa cinta yang sama denganku…”
Mata Alicia terbelalak setelah mendengar itu. Apa yang dikatakan Calvin sama dengan apa yang terjadi padanya. Ia rasa bahwa dirinya memiliki nasib yang sama dengan Calvin. Itu membuatnya makin menumbuhkan rasa percayanya pada Calvin dan hatinya sendiri. Bahwa itu semuanya adalah benar dan nyata.
“Calvin…” kata Alicia lembut tapi terdengar sedikit bergetar karena terharu. “aku mulai paham, bahwa kita memiliki rasa yang sebelumnya belum pernah kita alami dan sekarang kau bilang bahwa perasaan kita itu sama. Aku merasa bahwa kau dan aku itu sama. Memiliki setiap kepedihan yang sama dan rasa kebahagiaan yang sama. Aku rasa memang inilah takdir bahwa kita memang seharusnya kita saling mencintai. Maaf karena aku kurang percaya akan segalanya, Calvin. Karena ini memang membuatku ragu.” Terusnya.
“Aku tahu… ini memang seharusnya diragukan karena asing, bukan?” tambah Calvin sambil tersenyum puas.
“Yeah… rasanya tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan.” Balas Alicia senang.
“Mengapa?” tanya Calvin ingin tahu.
“Aku selalu khawatir kalau aku sudah gila… bayangkan—“
“Tunggu dulu, itu berarti kau juga menganggapku gila?” putus Calvin.
“Itu dulu,” jawab langsung Alicia sebelum ada salah sangka. “sekarang aku mengetahuinya berkat kau memperkenalkanku dengan makna cinta versimu.” Terusnya lalu tersenyum.
“Itu cinta versi kita berdua…” kata Calvin sambil mendekatkan wajahnya ke wajah yang ada di depannya.
“Iya, kita berdua…” balas Alicia. Ia mengikuti apa yang Calvin lakukan. Dan akhinrya, tangan kanannya mendorong wajah Calvin dengan kuat sehingga terasa hampir ingin putus. “maaf saja… peraturan dilarang macam-macam denganku masih berlaku. Aku masih punya harga diri, Calvin.” Katanya ketus.
“I-iya ampun… maaf…” kata Calvin minta ampun.
Alicia mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam dari saku celananya dan ia arahkan ke kepala Calvin.
“Apa? Aku tidak mendengarnya.” Katanya sadis.
“Aku minta maaf atas segalanya…! Mulai dari awal sampai akhir…!!!” teriak Calvin.
“Sebutkan!”
“Maaf karena membawamu kemari, maaf karena memaksa tanganmu untuk menyentuhku, maaf karena menciummu tadi, maaf karena aku idiot, maaf karena aku membuatmu sampai salah tingkah, maaf karena membuatmu sampai kebingungan, dan maaf karena aku telah berbohong kepadamu!”
“Kau berbohong apa?” tanya Alicia sambil menempelkan pistolnya di dahi Calvin.
“Karena sebenarnya alasan mengapa aku mengajakmu ke rumah adalah karena aku ingin menyatakannya.” jawab Calvin dengan cepat.
“Nyatakan apa?”
“Nyatakan bahwa aku memiliki sebuah rasa yang tidak kumerngerti—awalnya. Tapi akhirnya aku mengerti bahwa rasa ini adalah cinta versi kita.” Jawab Calvin.
Alicia menarik pistolnya dan memasukannya ke dalam saku celananya lagi. Ia tersenyum kepada Calvin dengan manisnya sambil mengobrak-abrik rambut Calvin yang sudah berantakan sehingga menjadi tambah berantakan lagi.
“Good boy.” Katanya lalu ia berjalan menuju jipnya.
“Kau ingin kemana, Alicia?” tanya Calvin.
“Aku ingin makan. Bukannya kita belum makan malam? Aku lapar.” Jawab Alicia yang masih berjalan.
“Tapi, Al. Keripik kentangnya sudah aku makan karena aku lapar sekali. Jadinya sisa biskuit dan air putih.” Kata Calvin sambil mengimbangi Alicia berjalan.
“Keripik kentang, habis? Itu bisa diganti dengan keripik daging Calvin, kok. Tenang saja.”
“Kau jahat.” Kata Calvin sedikit merengek.
“Sudahlah… aku lapar tahu!” Alicia menarik lengan Calvin dan berlari agar ia cepat sampai di jipnya dan segera makan makanan malamnya. Ia tidak berbagi kepada Calvin karena telah makan terlebih dahulu dan tidak menunggunya.

Tapi Calvin terlihat sangat bahagia, ia terus membelai rambut Alicia yang duduk bersandar pada tubuhnya sekarang. Tentunya di depan api unggun yang menghangatkan suasana mereka. Tidak hanya itu, Calvin juga memeluknya dari belakang untuk memberikan kehangatan kepada Alicia yang susah sekali disuruh memakai jaket itu. Alasannya adalah karena tubuh Calvin lebih hangat dari pada jaket kulitnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga ...

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie...

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza ...