Langsung ke konten utama

Misi Bagian 1

Menunggu sekitar tiga jam, hujan mulai berhenti dengan derasnya lalu hanya titik-titik hujan kecil, sekitar beberapa detik kemudian hujan telah berhenti tapi langit masih mendung sekali.
“Kita kemana setelah ini?”, tanya Alicia kepada Calvin yang duduk asik bermain tablet Alicia.
“Jangan pulang ke rumah dahulu. Tunggu sampai ada yang menghubungiku untuk pulang. Inginnya aku ke Jakarta, tapi aku yakin kita pasti di hadang di perjalanan.”, jawab Calvin sambil mengelus-elus rambut Alicia yang masih sedikit basah.
“Ini masih sore, jangan buang-buang waktu, ayo…”
“Ingatkah kau kalau rekeningmu habis dan kartuku di blokir? Kau ingin bayar pakai apa ke sana.”, kata Calvin tenang. Ia masih mengelus-elus rambut Alicia.
“Masih ada satu kartu, kan?”
“Yang satu itu, well, memang masih ada. Tapi entahlah. Pokoknya enggak.”
“Oh ayolah Calvin.”
“Mengapa kau yang merengek?”, tanya Calvin yang tiba-tiba kebingungan. Ia meletakan tablet itu.
“Aku bosan.”, jawab Alicia sambil mengambil tabletnya. Ia mengotak-atiknya. “Ya Tuhan.”, kata Alicia tibat-tiba. Ia terkejut.
“Ada apa Alicia?”, tanya Calvin. Ia mendekat kepada Alicia yang masih terkejut.
“Tanggal tiga, aku seharusnya masuk sekolah hari ini.”, jawab Alicia.
“Bukannya kau sering membolos?”
“It-itu gara-gara kau.”, jawab Alicia tiba-tiba ketus.
Calvin tersenyum. “Ingatkah kau sedang bekerja? Kau denganku, berduaan”–Calvin mengacungkan kedua tangannya–“dan sadarkah kau apa pekerjaanmu?” Ia menaikan sebelah alisnya dengan jail.
“Lebih baik memang aku menolak kontrak itu.”, gumam Alicia pelan.
Calvin masih tersenyum melihat Alicia yang menutup wajahnya dengan tabletnya. Ia berpura-pura bermain dengannya.
Suara nada dering terdengar dari tablet Alicia.
“Pesan, Calvin.”, katanya terkejut. “Dari mamamu.”
Calvin meloncat duduk di samping Alicia.
Di manakah kau sekarang, Alicia? Apakah Calvin ikut denganmu? Dia sulit dihubungi seperti biasa dan aku benar-benar khawatir dengannya. Jika memang dia bersamamu, tolong bawa dia pulang sekarang. Rumahnya sudah aman sekarang. Dan misal dia tidak bersamamu, kau harus tetap datang. Ada sesuatu hal yang ingin kukatakan kepadamu. Ini penting.
Thank’s
Lisa Riicon
“Kau yang membalas.”, kata Alicia setelah membaca pesan itu sambil memberikan tabletnya kepada Calvin.

Dengan tangan bergetar ia menerimanya. Ia menekan tanda reply.

Aku bersama Alicia, Ma. Tenang saja. Aku mengetahui rumahku tak aman sebelum sampai di rumah. Aku dan Alicia lari dan pergi jauh dari rumah. Kami mencari tempat ramai seperti kota-kota misalnya Pontianak. Tapi kami tidak di sana. Kami perjalanan pulang.
Love,
Calvin
Note : tarik nafas dalam-dalam dan tenanglah. Aku akan tiba di rumah tanpa gores luka pun.

Calvin menekan tanda send dan pesan itu terkirim. Ia mengembalikannya kepada Alicia.
“Sepertinya kau takut?”, tanya Alicia yang melihat tangan Calvin tadi yang bergetar.
Calvin membalasnya dengan senyuman masam. “Tidak juga.”, katanya mencoba tenang tapi nadanya masih terasa bergetar seikit. “Aku hanya khawatir.”, terusnya. Nada bergetarnya sangat terdengar.
“Kau baik-baik saja?”, tanya Alicia yang setengah khawatir. Pikirnya Calvin basa-basi.
“Yeah. Aku baik-baik saja sekarang. Hanya khawatir. Tenanglah…”
“Ayo pulang.”, ajak Alicia sambil bangkit berdiri.
Calvin mengangguk lemas.
Alicia melompat dari belakang ke kursi pengemudi lalu memasang kunci jipnya. Calvin sudah duduk di sampingnya dengan wajah sangat khawatir. Entah apa yang dipikirnya, Alicia hanya memutar bola matanya karena Calvin tidak mau berbicara. Ia menghidupkan mesin jipnya lalu menginjak pedal gas dan pergi dari pom bensin.
Jalanan masih becek dan basah, jip Alicia selalu menyipratkan air hujan kemana-mana saat melepati jalan yang bergelombang rendah dan banyak air bergenang di atasnya. Tentunya ia mendapat teguran dari banyak orang yang merasakan guyuran air hujannya. Alicia hanya dapat meminta maaf lewat kontak matanya. Ia mencari jalan yang sepi dan sedikit alternative agar sampai di rumah Calvin tanpa halangan apapun. Misalnya macet dadakan di jalan raya seperti kemarin sore.
“Berhenti!”, kata Calvin tiba-tiba kepadanya saat ia hendak membelokan jipnya ke arah jalan yang sepi dan sedikit alternatif.
“Ada apa?”, tanyanya kebingungan.
“Tidak.” Calvin berkonsentrasi. “Tidak ada apa-apa. Ini salahku. Aku seperti meliaht kucing di sana.”, katanya beralasan. Alicia tahu bahwa Calvin omong kosong belaka.
Alicia membelok jipnya ke kanan mengikuti jalan kecil yang menyusuri hutan yang sunyi. Ia melirik ke Calvin yang sudah duduk lebih rileks. Tapi ia masih mempertanyakan mengapa Calvin begitu khawatir tadi? Tadi dia masih terlihat gugup dan ketakutan akan hal sesuatu yang tidak ia mengerti.
Tiba-tiba ban jip depannya bocor langsung kempes dengan cepat. Alicia berhenti dan mematikan mesin jipnya. Ia turun untuk mengecek jipnya.
“Ada apa?”, tanya Calvin was-was.
“Ban kempes dan anehnya cepat sekali. Seperti tertusuk pedangmu, Calvin. Tapi tidak mungkin di tempat ini.”, jawab Alicia sedikit khawatir.
Calvin turun dan ikut mengecek ban bocor itu.
“Lubangnya terlihat seperti sebuah peluru yang mengempeskannya.” , kata Calvin sambil lalu.
“Mengapa di tempat ini, Calvin?”
“Entah.”, jawab Calvin sambil mengangkat kedua bahunya.
Alicia mengamati sekelilingnya dengan perasaan ngeri. Ia takut bahwa ia diikuti sampai sejauh ini. Ia kembali naik jipnya untuk mengambil tas hitamnya.
Calvin dengan santai berjalan mondar-mandir di depan jip Alicia seperti menunggu sesuatu. Bala bantuan? Atau lain? Tidak mungkin bala bantuan mengetahui posisinya sekarang.
“Menunduk, Alicia!”, kata Calvin cepat.
Secara refleks Alicia menundukan kepala dan tubuhnya hingga tidak terlihat. Sebuah peluru melesat di atas kepalanya dan mengiris beberapa helai rambutnya.
Calvin berlari menghampirinya dan mengambil pedang-pedangnya. Ia menggantungkan pedang-pedang itu di belakang punggungnya. Kemudian dia menyentuh pundak Alicia untuk memberikan ketenangan untuknya. Ia membantunya untuk turun dari jip.
“Dengar Alicia. Waktunya beraksi.”, kata Calvin ringan dan tenang.
Alicia menganggukan kepalanya dengan semangat. Ia membuka tas hitamnya dan mengambil dua buah pistol hitam beserta amonya. Ia menyimpan beberapa amo di dalam kantong hotpansnya dan menggantungkan kedua pistol di keduah pahanya. Ia melepaskan jaket kulitnya karena sok merasa gerah. Kemudian ia mengikat lengan-lengan jaket itu di pinggulnya hingga menutupi hotpansnya. Sekarang, ia terlihat hanya memakai kaos putihnya yang ketat.
“Aku siap, Calvin.”, katanya ringan.
Calvin mengkibaskan pedangnya di depan mata Alicia dan sedetik kemudian sebuah suara nyaring terdengar. Suara nyaring itu sama seperti kemarin malam yang di dengarnya dan membuatnya kesal karena terus bergema di telinganya.
Tidak ada lima menit kemudian, Calvin mendorong tubuh Alicia dan membawanya di pinggir hutan. Serangan bertubi-tubi dari senapan hampir mengenai mereka.
“Mereka masih di dalam hutan. Asalkan mereka keluar.”, gumam Calvin yang berdiri di depan Alicia.
Alicia menyingkirkan tubuh Calvin lalu menodongkan pistolnya di seberang hutan dan menekan pelurunya. Ia melihat seseorang di dalam hutan yang membuatnya curiga. Setengah detik kemudian, terdengar suara ledakan kecil. Seperti suara senapan yang meledak. Calvin terkejut mendengarnya.
“Yah, bakatmu memang luar biasa, Alicia.”, kata Calvin kagum.
“Seperti biasa kau meremehkanku.”, balas Alicia kesal. “Mereka menggunakan sniper, Calvin. Itu curang apalagi di dalam hutan seperti itu.”, kata Alicia sedikit merengek kepada Calvin.
“Memang kau membawanya?”, tanya Calvin.
“Tidak. Ada di rumahmu. Aku tidak mau repot-repot membawanya pulang ke rumah.”, jawab Alicia polos.
Calvin mengelus-elus kepala Alicia seperti mengelus-elus kepala kucing. Lagi-lagi Calvin mengayunkan pedangnya dengan santai dan suara nyaring itu terdengar lagi. Tangan lainnya masih membelai rambut Alicia.
“Serius.”, kata Alicia memperingatkan.
“Santai saja.”, balas Calvin lalu tersenyum.
Suara nyaring lagi terdengar di pedang Calvin tanpa ia mengayunkannya.
Alicia memutar bola matanya lalu menodongkan pistolnya lagi ke arah hutan seberang lagi lalu menekan pelatuk dua kali. Kali ini pelurunya meleset dan menggores pohon-pohon.
“Aku tanggung jawab atas kau, Calvin.”, kata Alicia sambil menekan dada Calvin dua kali dengan telunjuknya.
“Jangan repot-repot. Kau tanggung jawabku sekarang.”, balas Calvin lalu tersenyum

Diseberang hutan, terdapat sekitar sepuluh orang yang melihat Calvin dan Alicia dengan bosannya karena mereka berdua tidak mau masuk-masuk ke dalam hutan untuk menyerang balik atau kabur. Mereka berdua malah mengobrol satu sama lain yang tidak mereka mengerti sama sekali.

“Siapa kau?”, tanya Alicia kesal.
“P-A-C-A-R”, eja Calvin bangga.
Whatever.”, gumam Alicia pelan sambil memutar bola matanya.
“Kita kabur saja, okey.”, tawar Calvin.
“Kau bilang tadi kita akan beraksi tapi terserah padamu. Aku juga bosan melawan orang yang tidak kukenal. Aku ingin menembak kepalamu.”. jawab Alicia sambil memutar kedua bola matanya. Ia melangkah ke arah kemana yang hendak ia tuju tadi.
“Tunggu.”, kata Calvin sambil menarik lengan Alicia kembali hingga jatuh dalam pelukannya.  Dan seketika sebuah peluru hampir saja mengenai kepala Alicia. “Lari, okey.”, terusnya tenang.
“Tidak ada adegan romantis di sini.”, kata Alicia sambil melepaskan pelukannya.
“Perlu dihitung?”
“Perlu.”
“Okey, satu…”
Alicia langsung berlari menuju jipnya dan bersembunyi di balik jipnya. Calvin yang sudah menerima pistol Alicia segera ia tembakan kearah hutan seberang. Sekitar tiga ledakan senapan terdengar lagi secara bersamaan. Kemudian, ia berlari menuju Alicia yang menunduk di samping jipnya, ia melompat saat dia hanya berjarak satu meter. Lompatannya cukup tinggi hingga dapat melompati jip rekannya. Ia melemparkan pistol itu kembali kepada pemiliknya saat melompatinya. Kemudian Calvin berlari masuk ke dalam hutan.
Ia berlari dengan senyuman merekah di bibirnya. Langkahnya sangat cepat hingga mengagetkan semua lawan-lawanya. Ia menebas seseorang yang bersembunyi di balik pohon besar terdekat, tepat di perutnya hingga terbelah menjadi dua. Ia tidak melihatnya tapi mengetahuinya. Darahnya terciprat dan menghiasi sekitar pohon besar itu. Calvin segera menyingkir sebelum terkena cipratan darah itu kecuali pedangnya yang sekarang berhiasi cairan merah kental. Sisa dari semuanya berlari melarikan diri. Ia mengikuti dua orang yang berlari keluar hutan. Hampir saja sebuah peluru mengiris pipi kanannya saat ia berlari, kepalanya dapat menyingkir dari peluru itu dengan cepat.
Ia melompat saat hampir mendekati pinggiran hutan. Tanpa melihat sekitarnya, ia menodongkan pedang ia tepat ke arah sebuah leher terdekat di sebelah kanannya setelah ia sampai di permukaan. Pedang itu hampir mengiris leher seorang yang memakai jaket kulit.
“Sori Calvin. Aku tidak dibayar untuk membunuh, jadinya aku tidak melakukannya.”, kata Alicia yang berada di sebelah kirinya.
Calvin membalasnya dengan senyuman.
Alicia yang berdiri di sampingnya yang sudah tertangkap oleh lawannya sendiri. Kedua tangannya diikat dengan tali yang sangat kuat. Kedua pistolnya berada di tangan lawannya yang diarahkan ke kepalanya.
Sedetik kemudian, Calvin memutar tubuhnya ke kanan. Ia melakukan tipuan hendak menebas leher di sebelah kanannya itu tapi ia menyikut perutnya sambil melemparkan pedang kearah berlawanan; Calvin mendorong tubuh orang itu hingga membentur jip Alicia dengan kuat.
Pedang yang melesat kearah Alicia hampir mengiris telinga kirinya. Hanya jaraknya kurang dari setengah centimeter saja, telinganya sudah berdarah-darah. Tapi pedang itu melesat memotong telinga orang yang menodongkan pistol ke kepala Alicia. Mata Alicia membelalak karena pedang Calvin yang melesat itu – hampir saja menusuk kepalanya. Pistol itu jatuh diatas kaki Alicia sedangkan pedang Calvin terus menembus kebelakang dan hampir menusuk kepala orang dibelakang Alicia – dia lebih dahulu berjongkok untuk menghindarinya karena menyadarinya.
Ini sulit dipercaya oleh Alicia karena ini sedikit tidak nyata. Pergerakan Calvin memang cepat dan lemparannya begitu kuat dan tepat. Ini membuatnya terkejut dan tidak percaya apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Semuanya tampak tidak mungkin dapat dilakukan kecuali memang sudah ahli atau hanya sebuah kebetulan semata. Alicia makin ngeri memikirkannya apalagi pedang Calvin dilemparkan lagi kearahnya. Cepat-cepat ia memejamkan matanya.
Satu menit ia menutup matanya. Dan setelah sepuluh detik kemudian ia membuka matanya dan mendapati kedua tangannya sudah bebas dari tali-tali yang mengikatnya. Ia menatap sekitarnya dengan cepat dan tidak mendapati apa-apa. Hanya Calvin yang berdiri di belakangnya. Laki-laki itu menundukan kepalanya.
“Cavin?”, tanyanya sambil menyentuh pundak Calvin.
“Jangan sentuh aku dulu, Alicia.”, balas laki-laki itu. Nadanya mencoba halus tapi terdengar kasar.
Alicia segera menarik tangannya kembali dan memeluknya dengan erat.
“Kau membunuh mereka semua?”, tanyanya kemudian.
“Ya. Tolong jangan takut kepadaku.”, jawab Calvin cepat-cepat.
“Tidak. Aku tidak takut. Aku sudah janji.”, balas Alicia yang terdengar tenang dan ringan.
“Terima kasih.”
Tiga detik kemudian, Calvin membalikan tubuhnya dengan cepat lalu menarik tubuh Alicia hingga berada di belakang punggungnya. Ia menangkis lima buah peluru yang ditembakan kepadanya. Dia mengayunkan pedang itu dengan luwes tapi sebenarnya kuat hingga peluru-peluru itu dikembalikan kepada penembaknya. Tiga diantaranya mengenai wajah penembak dan dua sisanya menembus logam di jip Alicia dan menembus tangki bensinnya. Dengan cepat ia mendorong tubuh Alicia hingga berada jauh dari lokasi yang sebentar lagi akan terjadi ledakan besar. Sekitar berjarak lima puluh meter, itu jarak lumayan aman untuknya.
Tanpa sadar dirinya, kondisinya tadi begitu bergairah, tenaganya begitu cepat bertambah dan memenuhi tubuhnya. Hampir saja tubuhnya tadi tidak terkendali dan hampir saja menyertakan Alicia dalam sasarannya. Untung ia sempat sadarkan dirinya dan hanya meninggalkan bekas goresan kecil di lengan kiri Alicia. Yang membuatnya bingung adalah mengapa Alicia tidak merasakan luka di lengannya. Dan sedetik kemudian, ledakan terjadi lumayan besar.
Api berkorbar dengan besarnya hingga menyentuh hutan di dekatnya. Api-api itu menjilat hutan-hutan didekatnya hingga menyala-nyala terang. Angin membawanya bertambah besar dan semakin menyebar dengan cepat membakar hutan. Cahaya jingga dan merah yang dipadukan dengan terang menghabisi dan membakar siapa yang mendekatinya. Tidak aneh jika ini membuat Alicia langsung merinding ketakutan.
“Kau takut, huh?”, tanya Calvin datar kepada Alicia yang menegang.
“Tidak.”, jawab Alicia. Suaranya sangat terdengar bergetar.
“Jangan bohong. Kau benar-benar takut.”, kata Calvin, suaranya terdengar sedikit lebih garang. “Lupakan saja.”, terusnya pahit.
Kedua lutut Alicia tiba-tiba tidak kuat menopang tubuhnya. Ia berlutut dalam keadaan tegang dan bergetar ketakutan. Ia lagi-lagi shock saat bersama Calvin. Ia ingin mencoba melawan ketakutannya tapi pandangannya sudah seutuhnya tertutup dengan ketakutannya.
“Oh Alicia.”, kata Calvin lagi, suaranya terdengar lebih lembut dan rasa penyesalan yang besar. Ia memandangi kekasihnya yang shock dan ikut berlutut. “Aku disini.”, terusnya sambil memeluk Alicia erat-erat dan berharap ini dapat dengan mudah menenangkan dirinya.
“Tidak…” Suara Alicia terdengar bergetar dan pelan hampir tak bersuara.
“Aku disini. Tenanglah, okey. Aku disini.”, kata Calvin tenang dan khawatir.
“Aku takut…”
“Aku disini, Alicia. Tenanglah. Jangan takut, aku disini.”
“Tidak… aku… sendiri – tidak… ada Calvin.” Suara Alicia makin tidak jelas. Pandangannya masih tertutup oleh kegelapan ketakutannya.
“Aku disini, Alicia. Aku disini. Di sampingmu, di sisimu, selamanya yang kau mau. Aku tidak kemana-mana.”
Kata-kata itu menyadarkan dirinya. Suara itu membawanya keluar dari ketakutannya.
Semuanya buram, tidak terlihat dengan jelas. Cahaya jingga dan merah yang terang di depannya. Merembet hampir membakarnya hidup-hidup. Sadarkah dirinya bahwa apa yang dia lihat telah membuatnya buta akan ketakutannya sendiri.
“Calvin…”, katanya memanggil Calvin. Suaranya masih terdengar bergetar dan samar-samar.
“Aku disini. Aku memelukmu sekarang. Jangan takut, okey. Aku tidak akan melepaskannya sampai kau sendiri yang melepaskannya.”, jawab Calvin yang masih khawatir.
“Apinya mendekat.”, kata Alicia pelan.
“Tidak sampai kemari. Tenanglah… sebentar lagi ada yang akan mengurusnya nanti.”, kata Calvin tenang agar memancing Alicia semakin tenang.
Semenit kemudian terdengar suara helicopter dan banyak mobil berdatangan ketempat lokasi. Salah satu mobil sedan hitam membawa Calvin dan Alicia masuk ke dalamnya. Calvin terus mencoba untuk menenangkan Alicia yang masih shock.
“Ada apa dengannya?”, tanya seorang wanita lembut.
“Shock, Ma. Dia melihatku tadi. Aku menyesal.”, jawab Calvin sedih.
“Tenangkan dirinya, Calvin. Kami akan membawamu kembali ke rumah dan memebereskan kebakaran hutan yang kau sebabkan itu. Semoga tidak luas yang terbakar.”, kata wanita itu lembut dan tenang.

Calvin memeluk Alicia lagi untuk menenangkan gadis itu yang sedikit menegang. Ia mengecup kening Alicia lalu memeluknya lagi hingga kehangatan terasa dikulit Alicia yang kebas; mobil sedan itu mulai pergi dari tempat itu segera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji