Langsung ke konten utama

Pertemuan Awal

Musim hujan selalu merepotkan seorang gadis manis bernama Alicia. Ia baru saja menjadi siswa SMA di sekolah swasta bertaraf internasional bernama Recon Highschool. Semua masalah keuangan tidak begitu ia perhitungkan tapi yang ia perhitungkan dari dahulu adalah tentang nasibnya yang sendirian. Ia terlalu malu untuk bergaul dengan orang lain karena sudah tiga tahun ini ia teralu sendirian. Waktu lahir sampai ia akhir sekolah dasar, ia tinggal bersama dengan neneknya di Denpasar, Bali. Tapi diakhir sekolah dasarnya, neneknya meninggal dan ia pindah ke Kalimantan untuk tinggal bersama orang tuanya yang selalu saja sibuk dan meninggalkan dirinya sendiri untuk kurun waktu yang sangat lama. Orang tuanya meninggalkan dirinya di rumah sendirian dengan kehidupannya lebih dari mapan.
Selesai ia mencetak tugas ekonominya yang selalu saja membuatnya pusing setengah mati, ia berjalan menuju rumahnya. Ia tidak memiliki sepeda apalagi sepeda bermotor. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi yang ingin sekali ia punyai agar lebih memudahkan dirinya pergi kemana-mana. Tapi mamanya melarangnya memiliki sepeda motor sampai dia benar-benar memiliki surat ijin dan juga mengurangi dirinya agar tidak terlalu sering keluar dan lupa waktu. Akhir-akhir ini banyak sekali korban penculikan anak perempuan remaja yang kurang lebih seumuran dengannya. Itulah yang dikhawatirkan oleh ibunya selama ini. Lebih baik meninggalkan dirinya tanpa kendaraan pribadi apapun dan juga alat komikasi pribadi seperti ponsel agar tidak bergaul dengan orang asing. Ia hanya ditinggali dengan telepon rumah.
Hujan baru saja berakhir. Alicia berjalan melewati jalanan trotoar yang becek menuju rumahnnya. Tubuhnya yang kurus menggigil kedinginan walaupun ia sudah mengenakan jaket hangatnya. Sepatu hitamnya basah kuyup, bagitupun juga kaos kaki putihnya juga. Ia mengeluh karena kaos kaki itu adalah kaos kaki yang baru saja ia pakai hari ini karena yang lainnya belum kering karena setiap hari terus mendung lalu hujan. Pergantian musim kali ini tidak terlalu pasti. Musim ini langsung seperti menujuk pada Bulan Januari yang selalu diguyur hujan setiap waktu. Awal bulan yang buruk untuk musim hujan.
Hanya tinggal lima puluh meter lagi, ia masuk ke dalam jalan kecil yang cukup sunyi. Memang baru saja hujan, tetapi tempat itu menjadi tempat yang sunyi yang menakutkan. Alicia tidak punya pilihan lain harus melewati jalan itu karena tidak tahan dengan kakinya yang kedinginan. Ia yakin wajahnya pusat seperti gading. Selain itu, jalan itu adalah jalan tercepat untuk ke rumahnya, jika ia harus berputar, ia harus berjalan sejauh hampir enam ratus meter. Bisa-bisa saat ia sampai di rumah, tubuhnya sudah membeku seperti es.
Saat melewati jalan itu, ia terus berdoa dalam hati agar ia selamat sampai rumah dan tidak ada halangan apapun seperti para preman jalanan. Melihat di siaran TV di sekolahnya, ia sering dikejutkan oleh preman-preman jalanan yang sering menodong seseorang dengan pisau perak mereka dengan ancaman membunuhnya jika dia tidak memberikan harta berharganya. Wajah mereka yang selalu dihiasi dengan coret-coretan pensil hitam untuk cerlak mata itu dibuat menyerupai bekas jahitan operasi. Itu terlihat mereka seperti badut, bagi Alicia. Bukan hanya itu, para preman juga saling berpesta, akohol tentunya lalu merokok atau pesta narkoba. Sayangnya polisi belum menangkap mereka yang tersisa.
Diseparo jalan ia selamat tapi ia tersentak karena ada yang membentaknya.
“Berikan semua hartamu!” Suara garang itu memenuhi pendengarannya.
Jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat daripada sebelumnya. Dia berkeringat dingin tapi itu mustahil karena hawanya dingin baginya. Tubuhnya bergetar hebat ketakutan yang amat sangat. Kedua matanya tertutup karena ketakutannya. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri karena juga sama ketakutan dan kedinginan. Ingin sekali ia menghilang seperti yang dilakukan oleh Harry Potter untuk terus kabur dari kejaran Pelahap Maut yang terus mengejarnya hingga ujung dunia.
“Cepat berikan semua hartamu atau kau mati!” Teriakan itu semakin keras ia dengar dan semakin garang tapi terdengar cukup jauh. Ia tersadar bahwa bentakan itu bukan untuk dirinya.
Ia membuka matanya dan melihat sekitarnya. Karena ketakutannya tadi, ia berjalan sambil menundukan kepalanya tadi, sehingga ia hanya memperhatikan langkahnya yang semakin cepat.
Tidak ada lima puluh meter di depannya. Seorang laki-laki yang terlihat dua tahun lebih tua darinya berdiri tegap yang dikepung oleh sekitar lima orang preman. Preman itu terlihat menakutkan bagi Alicia tapi itu tidak begitu berpengaruh baginya. Ia khawatir dengan pemuda itu yang berdiri sangat tegap–terlalu tegap hingga tegang.
“Berikan sekarang juga!”, bentak salah satu dari preman yang berdiri tepat di depan pemuda itu. Ia yakin bahwa dia adalah pemimpin preman-preman itu.
Tidak menunggu waktu yang lama, sang pemimpin mendorong tangannya yang memegang pisau perak itu kearah pemuda itu dengan sekuat tenaga, tetapi sepertinya arahnya meleset. Pisau itu tidak melukai pemuda itu sama sekali. Itu terjadi karena pisau yang preman itu arahkan melenceng atau memang pemuda itu bergerak terlalu cepat. Pandangan Alicia menipu pikirannya sendiri.
Semuanya tampak terkejut melihat aksi mengherankan itu. Tidak ada yang dapat menutup mulut mereka kecuali pemuda yang dari tadi berdiri tegak tidak ada pergerakan sama sekali. Tapi tubuhnya terlihat tegang. Alicia mencoba untuk mengambil beberapa langkah mundur, tapi langkahnya membuat suara percikan air di sepatunya yang menginjak genangan air. Ia terkejut setengah mati menyadarinya. Ia menatap kelima preman-preman itu yang langsung menatap dirinya. Sang ketua menyuruh dua anak buahnya mendekat ke arah Alicia.
Alicia mulai membalikan tubuhnya dan berlari tetapi bahunya telah dipegangi dan ia tidak bisa berlari lagi. Tubuhnya dibalikan lagi sehingga ia bertatap muka dengan preman yang memiliki tubuh kurus sekali hingga tulang-tulangnya membekas di kulit cokelatnya. Mata hitamnya yang bersinar jahat memandang Alicia penuh nafsu.
“Lepaskan aku!”, teriak Alicia.
Preman kurus itu menggengam erat tangan Alicia hingga tidak bisa digerakan. Alicia hampir menangis menghadapi ini. Ia ingin pergi dari tempat itu sesegera mungkin. Kalau bisa ia ingin mati sekarang dengan tiba-tiba serangan jantung atau semacamnya. Ia mengusahakan tangannya untuk meloloskan diri tapi genggaman itu mengalahkan kekuatannya. Alicia sudah menyerah. Ia memejamkan matanya dan air matanya tumpah.
Beberapa detik kemudian, tangannya yang terperangkap tadi mulai bebas. Ia membuka matanya dan mendapati pemuda tadi berdiri di depannya menatap dirinya penuh dengan kekhawatiran. Alicia mengusap air matanya dengan punggung telapak tangannya.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya pemuda itu dengan lembut. Nadanya terdengar jelas bahwa dia khawatir.
Alicia menganggukan kepalanya masih sedikit shock.
“Kau harus pulang sekarang.”, perintah pemuda itu kepadanya.
Ia kembali terkejut dengan penuh pertanyaan.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan.”, kata laki-laki itu menjawab pertanyaannya yang masih di benaknya.
Sedetik kemudian, pemuda itu mendorong tubuh Alicia hingga terbang sejauh dua meter dan jatuh di atas jalanan yang keras dan becek. Seragamnya basah kuyup. Ia ingin memarahi si pemuda itu tapi wajahnya yang semula marah tiba-tiba berubah menjadi kacau, terkejut, dan ketakutan. Pemuda itu yang semulanya baik-baik saja sekarang terjatuh terlunglai di atas jalanan becek dengan darah mengujuri puncak kepalanya. Sepertinya ada yang memukulnya baru saja.
Alicia dapat melihat preman kurus itu lagi berdiri di depan pemuda itu dengan tatapan muak dan jijik kepada pemuda itu, serta bangga terhadap diri sendiri. Pemuda itu bangkit untuk duduk dan menatap preman kurus itu dengan garang. Ia bangkit berdiri dengan melompat cepat hingga sekarang ia berdiri di depan preman kurus itu dengan jarak kurang dari sepuluh sentimeter. Pemuda itu mematahkan tangan kanan preman itu dengan sangat mudah. Lalu ia menendang perut itu hanya sekali tendang dan darah langsung dimuntahkan oleh preman itu.
Setelah menyingkirkan preman yang sudah sekarat, ia ditodong dengan sebuah benda hitam dan mengkilap. Benda itu memiliki pelatuk yang jika ditekan pasti akan mengeluarkan sebuah benda kecil yang dapat membunuh orang. Pelatuk untuk pertama kalinya ditekan dan peluru yang terbang dengan kecepatan seperti jet itu tidak mengenai kepala pemuda itu yang telah menjadi sasaran si penembak. Peluru itu melesat cepat hampir mengenai telinga kirinya.
Alicia bangkit berdiri dan ingin cepat-cepat lari. Tapi langkahnya salah dan membuat dirinya menjadi sasaran. Suara pistol bergema dan pelurunya melesat cepat ke arahnya. Dan akhirnya peluru itu tertanam di perut pemuda yang tadinya ingin melindunginya. Alicia melebarkan matanya tidak percaya. Pemuda itu, benar-benar melindungi dirinya hingga mengorbankan dirinya tertembak seperti itu. Pemuda itu berlutut memunggunginya sambil memegangi perutnya yang tertembak tadi. Perutnya yang mengeluarkan banyak darah dan membuat Alicia ingin muntah.
Alicia lagi-lagi mengambil langkah mundur karena ketakutannya kepada preman-preman yang berjalan mendekat kepadanya. Preman-preman itu ingin menghabisi pemuda itu terlebih dahulu. Ia tidak tega membiarkan orang yang baru saja menyelamatkan dirinya harus mati tersiksa seperti itu. Ia masih beridam diri dengan tegang melihat pemuda itu dipukul oleh preman yang memiliki badan paling kekar tepat dikepalanya dengan siku preman itu. Alicia ingin berteriak, tapi suaranya tersedat di tenggorokannya karena begitu banyak kebimbangan yang harus ia lakukan. Pasti, pasti. Pemuda itu tidak akan selamat.
Menolong atau lari? Ia tidak dapat membuat keputusan yang benar kali ini. Jika ia menolong, dengan kata lain dia mencari mati. Dan jika kepilihan kedua, ia memang bisa selamat dan hidup tapi bagaimana dengan pemuda itu? Ia terus memikirkan pemuda itu yang dihajar mati-matian dengan keempat preman yang masih sehat-sehat itu.
Sebuah pukulan paling keras, terdengar sangat keras. Suara itu membuyarkan lamunan Alicia. Matanya membelalak melihat pemuda itu yang terbang dan jatuh tepat di kakinya. Pukulan terakhir itu membuatnya terpental begitu jauh dari orang biasa lakukan. Darah di kepalanya sudah hampir menutupi seluruh wajahnya. Alicia membeku dan tidak dapat dapat melakukan apa-apa. Ketakutannya membuatnya membeku di tempat dengan mata yang terbuka lebar tak bisa dipejamkan. Ia sangat shock melihat keadaan ini.
“Kalian memang tidak berguna sama sekali.”, kata pemuda itu dengan terpatah-patah. Suaranya pelan hingga hanya Alicia yang mendengar. Preman-preman itu tidak dapat mendengarkannya.
Alicia mulai membukuk melihat pemuda itu yang mencoba untuk bangkit berdiri. Pemuda itu duduk dengan bungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertembak tadi. Nafasnya yang sedikit tersengal-sengal itu mulai ia tenangkan dan mengatur detak jantungnya agar lebih tenang. Matanya yang terbuka setengah seperti orang yang sedang mengantuk itu. Ia mengambil sebuah benda yang berujung tajam di dalam tas kecil yang menggantung di penggangnya. Benda itu adalah sebuah suntikan dengan di dalamnya berisi cairan berwarna kuning keemasan. Ia menyuntikan dirinya sendiri dengan benda itu di lengannya hingga habis tak tersisa. Ia mengembalikan suntikan itu ke dalam tas kecilnya kembali.
Sempat terpikir dibenak Alicia, apa yang disuntikan kepada pemuda itu? Obat macam apa itu? Alicia tidak pernah melihat obat itu di rumah sakit di saat neneknya opnam di rumah sakit dulu. Tapi mungkin obatnya berbeda.
Pemuda itu dengan mudah mengambil kembali peluru tadi dari perutnya lalu ia lempar dengan tangan luwes kearah preman yang berbadan kekar itu. Lemparan itu hampir sekuat pistol tadi hingga peluru itu melesat di lengan preman itu lalu mengobek lengannya hingga lengannya berdarah. Dengan tersentak preman itu langsung shock dan pandangannya beku. Sepertinya preman itu takut dengan darahnya sendiri. Hingga akhirnya ia terjatuh dan duduk di atas jalan dengan tatapan beku dan penuh shock.
“Dasar pengecut!”, kata pemuda itu sedikit keras.
Pandangan preman kekar itu mencair lagi dan menatap garang pemuda yang baru saja mengejeknya. Preman itu langsung berdiri tapi wajahnya yang sebelumnya shock itu masih terlihat sedikit dibalik kegarangannya. Ia mengulurkan tangannya ke atas pundaknya seperti hendak menerima sesuatu. Dan itu memang benar. Ia menerima sebuah tongkat baja yang panjangnya hampir satu meter. Kepala bisa pecah jika terhantam keras dengan tongkat baja itu. Dengan kegarangan pada diri preman itu, dia siap-siap memukul pemuda itu.
“Mundurlah, Nona.”, kata pemuda kepada Alicia yang dari tadi tidak bisa apa-apa. Dia masih terkejut dengan apa yang dia lihat. “Kau mendengarkaku, kan?”, kata pemuda tadi.
Alicia menganggukan kepalanya.
“Mundurlah jika kau tidak ingin terluka. Aku janji kita akan baik-baik saja. Mereka bukan tandinganku.”, kata pemuda itu lalu tersenyum. Wajahnya yang sebelumnya pucat sekarang berubah warna sedikit bersemu merah.
Nada tenang dari pemuda itu memberikan ketenangan di hatinya, tidak juga bagi penglihatannya. Matanya masih membebelalak lebar dan tidak percaya. Pemuda itu langsung bangkit berdiri lalu menatap langsung ke dalam mata Alicia yang masih shock itu.
“Dengar.”, kata pemuda itu lembut.
Alicia menatapnya tidak percaya.
“Aku janji kita akan selamat. Aku juga tidak ingin mati sekarang, okey. Sekarang mundurlah dan mejamkan matamu jika itu membuatmu shock. Aku bukan dokter, okey. Jadinya nanti jika terjadi sesuatu aku tidak tahu persis apa yang terjadi padamu tapi aku janji bahwa kau tidak akan apa-apa.”, kata pemuda itu lembut dan yakin sekali. Kedua mata hitamnya bersinar.
Alicia dengan tegang menganggukan kepalanya dua kali. Tubuhnya yang sedikit gemetaran ia paksa untuk mengambil langkah mundur.
Disaat itu juga. Preman besar itu sudah mengangkat tongkat baja itu ke langit-langit mendung dan menghantam pemuda itu yang membelakanginya. Tidak disangka pergerakan pemuda itu terlalu cepat dan tidak kasat mata sehingga pemuda itu menahan lengan preman itu hanya dengan lengan kirinya saja. Tangan kanannya yang mengepal kuat siap ia tinjukan ke kepala si preman yang terkejut. Pukulan itu kuat hingga preman itu terbang dan jatuh dengan jarak tiga meter dari pemuda itu. Wajah preman itu penuh darah karena ia sempat memuntahkan darah dari mulutnya. Matanya tertutup kesakitan.
Pemuda itu berjalan dengan santai lalu mengambil tongkat baja itu. Tongkat baja itu ia gunakan sebagai senjata seperti pedang. Ia ayunkan kedepan kebelakang seperti sudah familier dengan senjata seperti itu. Ia menatap ketiga preman yang tersisa dengan wajah setengah terkejut dan takut.
“Pe-nge-cut.”, kata pemuda itu dengan santai mengejek mereka bertiga yang perlahan-lahan mengambil langkah mundur.
Preman pembawa pistol mengarahkan senjatanya kepada pemuda yang berdiri di depannya dengan jarak sepuluh meter. Ia telah mengambil langkah mundur pelan-pelan sebelumnya. Sebuah tembakan lagi melesat ke arah pemuda itu. Suara nyaring antara kedua logam yang bertabrakan dengan sangat kuat. Pemuda itu menangkis peluru itu dengan tongkat bajanya yang dipegang ringan dengan tangan kanannya. Peluru terus melesat kepadanya dan dengan santai ia menangkis semua peluru itu hingga tidak ada peluru yang mengenainya atau lolos melewati tubuhnya. Pistol di tekan lagi oleh preman itu tapi pelurunya habis. Si pemuda memamerkan senyum separonya.
Satu detik kemudian, pemuda itu berlari hingga kecepatan tak terduga. Tubuhnya terlihat buram saat berlari seperti itu. Dengan cepat ia mengarahkan tongkat bajanya itu ke perut preman yang membawa pistol itu hingga memuntahkan darah. Pemuda itu melesat begitu cepat sehingga tidak terkena darah yang membuatnya jijik itu. Ia memegang tongkat itu seperti pedang lalu menebaskannya kepada kedua sisa preman yang ingin berlari itu. Karena tongkat itu tidak dapat memotong tubuh, pemuda itu mengikuti gerakannya sebelumnya lalu ia menebas lagi preman yang lain dengan tongkat itu. Terdengar suara seperti patahan, mungkin tulang rusuk si preman retak, atau patah.
Semua preman tergeletak di atas tanah dengan kondisi yang sangat buruk. Pemuda itu tersenyum bangga terhadap dirinya sendiri lalu mengkibaskan tongkatnya itu ke tanah seperti hendak membersihkan pedangnya dari darah-darah yang membuatnya jijik itu tapi itu tidak ada sama sekali. Ia menatap lagi Alicia yang berdiri dengan tatapan sangat shock melihat dirinya seperti seorang pembunuh berdarah dingin.
Pemuda itu meleparkan tongkat baja itu ke jalan lalu berjalan  perlahan mendekati Alicia tapi dirinya mengambil langkah mundur bersamaan dengan pemuda itu. Alicia takut sekali, nyawanya dalam bahaya di tempat itu. Ia harus segera mencari pertolongan sebelum semuanya terlambat. Ia membalikan tubuhnya dan siap berlari tapi pemuda itu lebih dahulu berlari hingga berdiri di depannya. Ia sangat terkejut.
“Kau tidak apa-apa, kan?”, tanya pemuda itu lembut dan khawatir.
Alicia mengeluarkan air matanya lagi–ketakutan.
“Maaf, aku membuatmu takut, ya? Baiklah kalau begitu. Aku pergi saja.”, kata pemuda itu sambil melangkah mundur dan menjauh dari Alicia. Wajahnya masih terlihat khawatir kepadanya.
Tubuh Alicia bergetar sangat kuat. Ia tidak dapat mengendalikan tubuhnya lagi yang setengah mati ketakutan itu. Wajahnya sangat shock dengan apa yang ia lihat selama ini. Pembunuhan yang ia lihat dengan kepalanya sendiri, walaupun tidak pasti kelima preman itu mati atau tidak tapi dibenaknya mereka semua mati. Dibunuh oleh seorang pemuda yang tidak ia kenal. Pemuda yang sebelumnya ia kira bahwa dia akan menyelamatkan dirinya. Tapi pemuda itu adalah seorang pembunuh.
“Kau tidak apa-apa, kan? Kau terlihat sangat shock.”, kata pemuda itu lagi-lagi lembut dan khawatir. Ia mengambil langkah mendekat lagi.
“Jangan! Jangan dekati aku!” Alicia masih terlihat sangat shock.
“Jangan konyol.”, gerutu pemuda itu pelan.
“Jangan mendekat!”, teriak Alicia kepada pemuda itu yang semakin mendekatinya.
Pemuda itu menghentikan langkahnya sambil berpikir cara menenangkan orang yang sedang shock seperti itu. Tapi Alicia berlari menjauhnya, pikirnya ini akan menjadi masalah yang baru.
Alicia berlari menjauh dari pemuda pembunuh itu dengan perasaan takut hingga keluar dari jalan kecil itu. Ia berlari melewati trotoar lalu ke jalan raya. Tapi, ia tidak melihat sekitarnya sebelum melompat menyeberang jalan raya. Suara klakson mobil yang keras menghantam pendengarannya. Ia berhenti mencari suara yang keras itu.
Suasana seperti berjalan sangat lambat. Setiap satu detik seperti sepuluh detik. Ia tidak menyadari bahwa di depannya terdapat sebuah mobil Mitsubisi melintas dengan sangat cepat. Tubuhnya diam tidak menuruti otaknya yang menyuruhnya untuk pergi dari jalan raya. Matanya yang melebar tidak percaya dan lama-lama kedua matanya tertutup secara refleks. Kedua tangannya mencoba untuk menahan mobil itu menabraknya secara refleks pula. Hingga akhirnya ada yang menabrak tubuhnya dari samping. Ia kira itu adalah mobil tadi tapi anehnya mengapa mobil itu terasa tidak sekeras logam. Yang menabraknya tidak sekeras logam pada mobil melainkan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan. Sebuah kehangatan yang membuatnya sangat nyaman. Tabrakan itu membuatnya kehilangan semua rasa takutnya yang berubah menjadi sebuah perasaan nyaman.
Tubuhnya membentur trotoar yang keras. Pantatnya sangat sakit jatuh ke trotoar. Tubuhnya tergeletak di atas jalan trotoar yang masih basah dan membuat punggungnya kedinginan. Kepalanya tidak membentur jalan melainkan seperti ada yang menyangga dan melindungi kepalanya saat ditabrak tadi. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan dapat menarasakan hembusan nafas yang hangat dan teratur. Ia membuka matanya. Ia melihat pemuda pembunuh itu di depannya. Matanya bertemu dengan mata pemuda itu yang hitam gelap. Sempat terkejut bahwa betapa tampannya pemuda itu jika dilihat dari dekat, sedekat wajahnya yang berjarak hanya lima centimeter dari wajah pemuda itu. Nafasnya memburu dan jantungnya berdetak dengan cepat.
Butuh semenit untuk dirinya sadar pada kondisinya sekarang. Ia mendorong tubuh pemuda itu yang menimpanya itu hingga terjatuh di atas jalan raya. Pemuda itu langsung berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada Alicia. Dengan cepat Alicia meraihkan karena tidak ada cara lain itu bisa bangkit berdiri di dalam kondisi tubuhnya bergetar lagi.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya pemuda itu lagi dengan lembutnya.
Alicia menggelengkan kepalanya.
“Kau harus menenangkan dirimu dahulu sebelum kau kabur.”, kata pemuda itu sedikit memperingatkan.
Alicia diam dalam beberapa detik. Ia ingin mencoba untuk lebih tenang tapi tidak bisa, tubuhnya masih bergetar.
“Lebih baik kuantar kau pulang. Takut nanti kau kenapa-kenapa lagi.”, kata pemuda itu menawarkan diri.
Alicia membuang pandangan dari pemuda itu. “Terima kasih.”, katanya. Suaranya bergetar.
“Terima kasih kembali.”, balas pemuda itu lalu tersenyum yang dapat menghentikan getaran di tubuh Alicia.
Alicia bengong menatap pemuda itu.
“Jadi, ingin kuantar pulang? Aku takut kau kenapa-kenapa lagi.”, kata pemuda itu.
“Iya, boleh.”, jawab langsung Alicia setelah puas bengong.
Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju ke arah barat lalu berhenti. Ia menatap Alicia yang masih membeku di tempat. Ia kembali ke Alicia.
“Aku tidak tahu dimana rumahmu, Nona. Jadi tunjukan jalannya, please.”
“Tentu.”, jawab Alicia kaku dan ia masih membeku di tempat.
“Kau baik-baik saja, bukan?”, tanya pemuda itu lagi dengan khawatir.
Alicia mengedipkan matanya beberapa kali dan mulai sadar. “Aku baik-baik saja.”, katanya langsung lalu tersenyum manis sekali.
Pemuda itu terlihat sangat tertarik dengan senyuman Alicia itu sehingga ia ikut tersenyum.
Well, ayo.”, ajak pemuda itu lalu melangkahkan kakinya lagi ke arah barat.
“Arahnya kesana.”, kata Alicia sambil menunjuk arah yang berlawanan dengan pemuda itu.
Pemuda itu langsung memutar arah jalannya. Ia melewati Alicia dengan malu-malu. Alicia mengikutinya dari belakang.
“Sekali lagi terima kasih.”, kata Alicia lembut kepada pemuda itu.
“Tidak masalah. Sebagai manusia seharusnya saling menolong.”, balas pemuda itu. “By the way, aku Calvin.”, lanjut pemuda itu memperkenalkan dirinya.
“Aku Alicia.”, balas Alicia lembut.
“Nama yang cantik.”
“Tidak juga. Namaku aneh.”
“Tidak baik mencela namamu sendiri. Nama adalah sebutan kita.”
“Aku tahu, tapi aku tidak terlalu menyukai namaku sendiri.”
“Oh…” Calvin menarik nafasnnya lalu ia lepaskan melewati mulutnya. “Apakah kau keturunan orang Amerika?”, tanya Calvin setelah itu karena menyadari wajah Alicia yang terlihat bukan wajah asli orang Asia melainkan lebih terlihat ke barat.
“Iya. Papaku adalah orang Amerika.”
“Jadi begitu. Maaf, aku bertanya tiba-tiba.”
“Tidak masalah. Banyak yang mengatakan hal itu kepadaku dan jujur aku bosan mendengarnya.”
Calvin meliriknya lalu tersenyum. “Maaf.”, katanya lembut.
Alicia menatapnya sambil berkata, “Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan kok.” Suaranya jernih dan lembut. “Ngomong-ngomong, dimana kamu tinggal?”, tanya Alicia.
“Aku tinggal di Jakarta. Aku di sini sedang berlibur.”, jawab Calvin lalu tersenyum.
“Berlibur?”, tanya Alicia yang kebingungan karena hari itu bukan hari libur.
“Iya, liburan, Alicia. Aku bosan bersekolah terus jika setiap pelajarannya membosankan.” Ia melompati sebuah lubang di depannya.
“Kau ambil jurusan kuliah apa?”, tanya Alicia lagi.
Calvin terkikik mendengarnya. “Aku masih SMA, tau.”, jawabnya lalu terkikik lagi.
“Maaf, aku tidak mengetahui itu.”, kata Alicia.
“Tidak apa-apa. Melihat kondisi fisikku yang seperti ini memang banyak yang mengira kalau aku sudah kuliah.”, jawab Calvin yang sudah berhenti terkikik. Matanya terus menatap ke depan.
Alicia melirik ke arah Calvin yang tubuhnya lebih tinggi darinya sekitar dua puluh centimeter. Lalu ia melirik ke tubuh Calvin yang sedikit besar. Tubuhnya sporty sekali tapi tidak bergumal. Alicia dapat melihat itu semua walaupun tubuh laki-laki itu tertutup oleh jaket tebalnya.
“Ada apa?”, tanya Calvin yang menyadari bahwa Alicia sedang memperhatikan tubuhnya.
“Tidak ada apa-apa.”, jawab langsung Alicia sambil kembali menatap ke depan.
“Kalau bisa jangan tatap aku seperti itu. Aku tidak suka dilihat seperti itu apalagi sekalian dibayangkan bentuk tubuhku. Itu membuatku tidak nyaman.”
“Oh, maaf.”
Calvin tertawa kecil mendengarnya. “Sudah kuduga kau membayangkan aku. Memang apa yang kau bayangkan tentang tubuhku? Katakana saja, aku orangnya memang kepo.”, katanya tanpa ada emosi di dalam kata-katanya.
“Tidak. Itu memalukan.”, jawab Alicia. Wajahnya memerah padam.
“Kau tidak berpikiran jorok tentangku, bukan?”, tanya Calvin. Nadanya naik satu oktaf.
“Tentu saja tidak, Calvin.”, jawab Alicia pelan-pelan dan tenang.
“Lalu?”
“Aku pikir kau memiliki tubuh sporty seperti atlet basket yang penah aku lihat. Tapi sepertinya otot-ototmu tidak memal sehingga tidak terkesan besar.”, jawab Alicia malu-malu.
Calvin lagi-lagi tertawa.
“Ada yang lucu?”, tanya Alicia yang tersinggung.
“Tidak tidak tidak. Kau sangat pintar berimajinasi. Aku memang pemain basket di sekolahku tapi aku bukan atlet sama sekali. Aku belum terlalu jago.”, jawab Calvin sambil melirik ke arah Alicia sambil tersenyum.
“Dugaanku benar?”
“Hampir. Setidaknya aku tidak sporty seperti yang kau bilang itu. Tubuhku kurus kok. Yang membuatnya tebal adalah jaketku ini.”, jawab Calvin santai.
“Maaf.”, kata Alicia. Suaranya pelan sekali.
“Tidak apa-apa. Lagi pula aku suka mengobrol dengan orang lain. Dan sepertinya kau tidak banyak bicara.”, kata Calvin. Lagi-lagi ia melirik Alicia.
“Aku pendiam.”, jawab Alicia lembut.
“Oh…”
Mereka sampai di depan rumah Alicia.
“Terima kasih, Calvin.”, kata Alicia yang berdiri di teras rumahnya.
“Tidak masalah. Senang bertemu denganmu, Alicia.”, balas Calvin lalu tersenyum.
Alicia membalas senyuman itu dengan senyuman kecil, tapi senyuman itu cepat pudar setelah menyadari perut Calvin yang berdarah-darah itu. Ia teringat kejadian dengan perampok-perampok itu tadi. Ia mengambil langkah mundur dengan ketakutan.
“Ada apa?”, tanya Calvin yang menyadari wajah Alicia yang berubah menjadi shock lagi.
“Kau pembunuh. Kau adalah seorang pembunuh!”, kata Alicia. Punggungnya menatap dinding rumahnya.
Calvin menghela nafasnya perlahan. Ternyata percakapan tadi tidak begitu berpengaruh untuk mengalih perhatian Alicia. Ia mendekat ke arah Alicia yang semakin ketakutan dengannya.
“Jika kau tidak bisa tenang, Alicia. Aku akan terus berusaha untuk menenangkanmu.”, kata Calvin pelan sambil melangkahkan kakinya terus mendekat ke arah Alicia yang semakin ketakutan. “Aku tidak akan melukaimu, aku janji.”, terusnya pelan. Langkahnya tetap tidak berhenti.
Alicia memukulnya dengan tas sekolahnya tapi Calvin dapat menangkisnya hingga terlepas dari genggaman Alicia. Calvin terus mendekat hingga sangat sekat. Alicia memejamkan matanya dengan memasang ekspresi ketakutan setengah mati. Calvin merebahkan kedua tangannya kepada Alicia lalu ia peluk gadis itu dengan erat hingga memberikan kehangatan.
Alicia tenggelam dalam pelukan itu – tenggelam ke dalam kehangatan yang beda dari biasanya. Pelukan itu tidak membuatnya takut lagi. Ia merasa lebih tenang lagi dan kembali ke dirinya sebelumnya. Nafasnya teratur dan jantungnya berdetak dengan normal dan stabil.
“Jangan takut. Jangan takut kepadaku. Kau adalah seseorang yang mau mengobrol denganku selama ini. Jangan benci aku, tolong jangan membenciku. Aku mohon kepadamu. Aku mohon. Tolong, jangan kau takut kepadaku. Jangan.,,”, kata Calvin pelan dan lembut di telinga kiri Alicia.
Suara itu, membuat Alicia semakin tenang.
“Aku mohon kepadamu, Alicia. Jangan takut kepadaku. Aku mohon sekali. Kau bisa  memanggilku monster jika itu maumu tapi jangan takut ataupun membenciku karena semua perlakuan yang telah kulakukan selama ini dan kau lihat sejauh ini. Aku mohon. Aku ingin sekali berteman denganmu.”, kata Calvin lagi setelah melepaskan pelukannya. Ia menatap Alicia dengan sedihnya. “Aku mohon… please…”, terusnya dengan memohon.
Alicia menatap wajah Calvin yang sedih itu. Betapa seriusnya pemuda itu dengan kata-katanya tadi. Bahwa Calvin tidak berniat membuatnya takut. Alicia tersadar bahwa betapa baiknya pemuda itu. Calvin selalu jasa mencoba menolong dirinya dalam bahaya hingga tidak memiliki luka apapun. Ia baik-baik saja selama ini karena Calvin melindunginya selama ini. Alicia menghirup udara dan melepaskannya. Ia menatap wajah Calvin lekat-lekat.
“Aku tidak pernah melihat pembunuhan dengan mata kepalaku, Calvin. Maafkan aku.”, katanya lembut seperti lonceng. “Aku tidak akan takut denganmu lagi, aku janji. Dan aku juga ingin menjadi temanmu.”, terusnya. Nada suaranya tidak berubah sama sekali.
Calvin langsung tersenyum bersyukur. “Teman.”
“Iya. Aku senang memiliki teman yang melindungiku. Dan kau adalah satu-satunya orang yang telah mengobrol banyak denganku. Dan kau adalah satu-satunya teman yang kumiliki.”, balas Alicia lembut lalu tersenyum manis lagi. Ia dapat melihat wajah Calvin yang senang sekali.
“Benar. Sekarang kita berteman.”, katanya senang.
Alicia tiba-tiba muram. Ia teringat sesuatu. Ia menatap perut Calvin. “Lukamu tadi parah. Mengapa semuanya terlihat bahwa kau baik-baik saja?”
Calvin membelai rambut hitam Alicia dengan lembut. “Mungkin aku keasikan ngobrol denganmu hingga lupa dengan segala rasa sakitku.”, jawabnya.
“Darahnya tadi keluarnya banyak. Kau pasti lemas nanti. Tinggalah sebentar, akan kuobati lukamu sebentar hingga pendarahannya berhenti. Jarak ke rumah sakit dari sini sangat jauh. Jadi sekalianlah menunggu taxi.”, kata Alicia.
“Tidak apa-apa?”
“Iya. Kau kan temanku. Lagi pula aku tinggal sendirian. Orang tuaku pergi kerja.”, jawab Alicia lalu membuka pintu rumahnya dengan kunci rumah yang berada di saku seragamnya.
Calvin mengambil tas Alicia saat ia membuka pintu. Lalu Calvin memberikan tas itu kembali kepada Alicia. Ia tersenyum berterima kasih lalu ia menarik lengan Calvin agar dia mau masuk ke dalam. Ia mendudukan Calvin di sofa empuk lalu ia berlarian mencair kotak P3Knya dan menelpon taxi.
“Tidak perlu, Alicia.”, kata Calvin kepada Alicia yang hendak menelpon taxi. “Aku sebentar lagi dijemput.”, katanya.
Alicia kebingungan tapi ia langsung berlari mendekati Calvin dengan membawa kotak P3K. Ia meletakan kota putih itu di atas meja lalu duduk di depan Calvin. Alicia meminta Calvin membuka jaketnya agar ia dapat mengobati luka di perutnya. Calvin menurut. Ia menaikan jaket dan kaos birunya yang memerah karena darahnya dan memperlihatkan lukanya. Alicia tersentak melihatnya. Ada dua alasan mengapa dia terkejut. Pertama adalah bahwa perut Calvin telah berbentuk sempurna. Yang kedua adalah bahwa luka itu tidak mengeluarkan darah lagi dan luka itu seperti luka tusukan jarum walaupun lubangnya sedikit lebih lebar. Alicia menyentuhnya.
“Auw.”
“Apakah sakit?”, tanya Alicia sambil menatapnya.
“Sedikit.”
“Mengapa lukanya seperti ini?”, tanya Alicia lagi.
“Mungkin sudah mengering.”
“Ini tidak wajar.”, kata Alicia.
Alicia mulai membuka kotak putih di atas meja dan mengambil obat merah. Ia mengobati luka di perut itu dengan hati-hati.
“Kepalamu tadi berdarah.”, kata Alicia yang teringat.
“Oh ya benar. Tadi aku sudah mengusapnya saat berlari mengejarmu. Dan terasa cenat-cenut di sini.”, jawab Calvin sambil menutupi perutnya lalu menunjuk ke keningnya yang tertutup rambutnya.
Alicia menyingkirkan rambut itu dan mendapati luka robek di kening itu.
“Itu robek Calvin. Dan itu harus dijahit.”, kata Alicia khawatir.
“Tenang saja. Sebentar lagi aku dijemput dan aku akan baik-baik saja.”, kata Calvin tenang.
“Siapa yang menjemputmu?”
“Seseorang dan kau akan tahu sendiri nanti.” Calvin tersenyum lembut.
“Jangan bercanda.” Alicia makin kahwatir kepada Calvin.
Ia mengambil obat merah dan mengobati luka di kening Calvin sesegera mungkin. Lalu ia menutupi luka itu dengan perban.
Thank’s. Kau dokter yang baik. Harapanku adalah ini gratis.”, kata Calvin sambil mencubit-cubit luka di keningnya.
“Bayarannya, kau harus cepat sembuh.”, kata Alicia sambil menutup kotak putih.
“Okey.”, jawab Calvin santai.
Alicia mengembalikan kotak putihnya ke tempat semula lalu membuatkan Calvin minuman hangat.
“Kau bilang kau tinggal di Jakarta?”, kata Alicia yang teringat. Ia meletakan secangkir teh di atas meja.
“Tidak juga. Maaf. Aku punya rumah di sini.”, jawab Calvin lalu mengambil cangkir itu. Ia menyeruputnya hingga habis. “Tehnya enak.”, katanya senang.
“Jadi berapa lama dia menjemputmu?”, tanya Alicia.
“Sebentar lagi dan pintu akan dike–“
Suara pintu diketok tiga kali. Calvin menaikan sebelah alisnya kepada Alicia yang semakin bingung dengan Calvin sendiri. Ia bangkit berdiri lalu membukakan pintu. Seorang pria berdiri di di belakang pintu dengan senyum polos.
“Anda yang menjemput Calvin?”, tanya Alicia ramah.
“Benar. Dan dimana dia?”, kata pria itu ramah juga.
“Masuklah.” Alicia mempersilahkan pria itu masuk. “Aku khawatir dengan kondisinya.”, katanya pelan kepada pria tersebut.
Calvin menatap Alicia dan pria itu dengan senyuman.
“Mr. Riicon.”, kata pria itu kepada Calvin. Nadanya memperingatkan.
“Aku baik-baik saja Nico.”, balas Calvin lalu tersenyum. Bukan kepada pria itu tetapi kepada Alicia yang berdiri di samping pria itu.
“Bisakah aku membawanya pulang…” Pria itu bingung ingin memanggil nama gadis di sampingnya
“Alicia.”, katanya ramah.
“Bisakah aku membawanya pulang, Alicia?” , pinta Nico ramah kepadanya.
“Asalkan kau membawanya ke rumah sakit.”, jawab Alicia.
“Tentu.”, jawab Nico lalu menatap Calvin yang sudah cemberut sebal.
Calvin mulai bangkit berdiri lalu berjalan mengikuti Nico yang berjalan keluar dan diikuti Alicia di belakang mereka.
“Terima kasih banyak, Alicia.”, kata Nico ramah.
“Terima kasih kembali. Tolong jaga dia.”, balas Alicia ramah.
“Tentu.”
“Aku bukan anak kecil.”, gerutu Calvin kesal.
Alicia tersenyum polos sedangkan Nico memutar bola matanya.
“Ayo, Mr. Riicon.”, katanya sambil berjalan menuju mobil sedan hitam di depan rumah Alicia.
“Aku akan berkunjung nanti malam.”, kata Calvin sambil berjalan perlahan dan melambaikan tangan kanannya.
“Aku harap kau datang dengan tidak ada luka.”, kata Alicia pelan yang didengar Calvin.
Calvin mengacungkan jari jempolnya lalu masuk ke dalam mobil sedan itu. Mobil itu langsung berjalan dengan cepat.
Alicia tersenyum berdiri di depan pintu. Ia telah mendapatkan seorang teman baru dan pertama. Calvin adalah teman yang pernah dan paling akrab dengannya sekarang. Itu membuat kegelisahan kesendiriannya mulai berkurang secara drastis. Ia kembali tersenyum lembut dan manis sekali setelah menutup pintu rumahnya. Ia menyadari betapa hangatnya saat dia berada di dekat Calvin apalagi saat Calvin memeluknya tadi. Kehangatan yang nyaman dan berbeda dengan pelukan dari ibunya sendiri.

Alicia melepaskan nafasnya untuk menyadarkan dirinya untuk cepat-cepat mandi dan mencuci seragamnya yang kotor dan berharap bahwa cuciannya akan kering besok. Ia berjalan sambil tersenyum senang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji