Langsung ke konten utama

Kebahagiaan Awal yang membawa penderitaan

Langit hari ini cukup mendung. Awan-awan kelabu sudah mulai menutupi langit yang tadinya masih berwarna nila dan tak ada bayangan putih seperti bulu domba menutupinya. Tapi kali ini aku yakin sebentar lagi hujan deras. Sangat deras. Atau mungkin badai.
Aku duduk di atas pasir halus yang berwarna kuning di pinggiran Pantai Kuta, Bali, Indonesia. Angin yang berhembus dari selatang membawakan hawa akan terjadinya badai atau hujan deras. Aku menatap awan yang sudah kelabu gelap dan menggumpal di langit yang tadinya cerah. Nafasku yang tenang dan detak jantungku yang teratur mulai sedikit lebih cepat. Keringatku kering tersapu angin yang berhembus dari Australia itu. Aku menghirup udaranya yang dingin lalu menghembuskannya perlahan lewat mulutku kemudian ku tutup rapat-rapat. Takut serangga masuk ke dalam mulutku.
Kunikmati angin dingin itu menyentuh kulit putihku. Aku melihat ombak yang menggiring banyak pasir dan air dari Samudra Hindia yang luas. Ombak menari-nari di pantai, membasahi banyak orang-orang yang menantang mereka. Kebanyakan dari orang-orang itu adalah pelajar SMP atau pelajar SMA yang berlibur ke Pulau Dewata ini.
Mataku terpesona akan keindahan alam ini. Aku sangat menyukai pantai karena banyak wanita-wanita yang seksi memakai bikini mereka berjalan kian kemari tanpa malu. Tapi bukan itu adalah alasan kedua. Alasan pertama adalah aku menyukai ombak, air laut, angin laut, dan juga suasana pantai yang menyenangkan. Bagiku, semua ini adalah indah dan sempurna. Dan hidupku sesempurna pantai ini.
Aku baru saja menikah dan aku sedang berbulan madu dengan istriku tercinta. Ia adalah wanita yang baik, tidak salah aku menikahinya. Aku meliriknya yang sedang asik bermain bola voli dengan turis lain yang kebanyakan dari Eropa walaupun angin semakin lama semakin kencang meniup bola itu ke utara. Ia sadar aku meliriknya sambil tersenyum kecil dan tidak berbentuk, dan menatapku sambil tersenyum lembut dan manis sekali. Aku seakan dibawa angin pergi.
Ia memberikan telapak tangannya kepada grupnya dan mereka membalas telapak tangannya. Aku yakin mereka baru saja menang. Istriku tersenyum kepada mereka dan mengucapkan beberapa kata yang tidak kudengar, yang kudengar hanya suara deburan ombak dan teriakan kegembiraan pelajar-pelajar yang bermain air. Ia berjalan kearahku sedikit berlari di atas pasir pantai. Rambut hitam pangjangnya digelung ke belakang kepalanya, poni rambutnya bergoyang ke kanan, ke kiri, ke depan, dan kebelakang tak beraturan saat ia berlari ke arahnya. Wajahnya, bahagia. Seperti diriku sekarang.
Tubuhnya indah. Lekukan di tubuhnya terlihat jelas saat ini. Ia memakai baju renang berwarna hitam gelap yang menutupi dadanya yang melambung-lambung saat berlari dan menutupi pinggangnya kebawah tapi betisnya telihat. Kulitnya putih bersih dan tidak ada bekas apapun. Ia terus berlari kepadaku walaupun ia tahu kalau aku memikirkan dirinya yang indah.
Ia menimpaku sambil memelukku. Aku hampir saja jatuh ke belakang tapi tangan kiriku kuat menyangga tubuhku dan tubuhnya. Kurasakan kulitnya basah dan sedikit berkeringat.
“Bagaimana pertandingannya?”, tanyaku kepadanya setelah kami berciuman sebentar.
“Menang.”, katanya senang sambil membenarkan posisi duduknya di sampingku. Aku merangkulnya. “Huh…” Ia sedikit mengeluh akan sesuatu. “Aku ingin makan.”
“Kau sudah lapar?”, tanyaku setengah terkejut karena kami baru saja makan tiga jam yang lalu.
Ia menganggukan kepalanya tapi pandangannya menatap lautan. “Mungkin aku ngidam.”, jawabnya polos.
“Jangan katakana hal bodoh.”, kataku pelan.
Ia menatapku dengan sedikit kesal. “Jika aku hamil, apakah itu hal bodoh?”, tanyanya setengah garang.
“Tidak.”, jawabku langsung. “Aku masih… Well, masih ingin kita berdua saja. Belum ingin ada orang ketiga.”, terusku dan memikirkan kembali ucapanku apakah itu tepat atau tidak.
Kegarangannya memudar seketika lalu ia bersandar pada bahuku. “Kau inginnya kapan?”, tanyanya kepadaku. Aku meringis.
“Tidak perlu tergesa-gesa. Lewatkan masa mudamu dahulu.” Aku salah ngomong lagi. Aku belum terbiasa dengan statusku.
“Masa mudaku?”, katanya kebingungan. Ia menatapku sambil tersenyum pahit mengejek. “Baiklah kalau itu maumu. Aku ingin bersenang-senang dengan kakak saja.”, terusnya sambil bangkit berdiri.
Aku menarik tangan kanannya hingga ia jatuh ke pangkuanku seperti bayi.
“Tidak tidak.”, kataku melarangnya. “Ini adalah momen kita berdua.”, kataku serius.
Ia tersenyum kepadaku. Lembut dan manis seperti biasanya. Aku mengangkat tubuhnya hingga duduk di depanku. Kami memandangi lautan bersama. Aku memeluknya dari belakang.
“Kita harus mengambil gambar, Calvin.”, katanya kepadaku sedikit manja.
“Pakai dan siapa yang akan mengambilkannya?”, tanyaku.
“Entah. Mengapa kau tidak membawa kamera?”
“Aku meninggalkannya di rumah, Alicia.”
“Ambil dong di rumah.”
“Aku tidak ingin meninggalkanmu sedetikpun.”
“Tadi kau meninggalkanku mencari bintang laut.”
Aku terkikik. “Memang. Tapi kau tahu bahwa aku langsung berhenti mencari bintang itu tapi malah mencarimu yang menghilang.” Aku mencium pipinya.
“Aku kan main voli.”, rengeknya.
“Dan tidak mengajakku?”
“Aku tidak tahu kau menungguku… hei! Hentikan itu, saying.” Alicia menjerit karena aku menggelitiknya dengan jari-jariku. Ia tidak kuat hingga mengeluarkan air matanya. “Hentikan…” Suaranya bergetar.
Aku menahan jari-jariku lalu memeluk pinggangnya dan menyeretnya duduk di depanku lagi dengan benar karena ia merosot ke atas pasir-pasir. Aku meletakan daguku di atas bahu istriku dan ia merasa geli secara reflek. Ia menyenggol keras daguku disaat gigiku tidak tertutup rapat sehingga lidahku tergigit oleh mereka.
“Ugh.” Suaraku pelan di telinga Alicia.
“Ada apa?”, tanyanya terkejut. Ia membalikan tubuhnya menatapku yang menutup mulutku dengan tanganku.
“Tidak ada apa-apa.” Suaraku tidak jelas di dengar aku akui itu karena aku juga tidak mendengarnya dengan jelas. Tanganku masih menutupi mulutku dan lidahku masih sakit, aku harap tidak berdarah.
“Ada apa dengan mulutmu, sayang?”, tanyanya lagi. Aku meliriknya sambil tersenyum masam dan aku yakin ia tidak mengetahui kalau aku sedang tersenyum kepadanya.
Ditengah-tengah kesakitanku dan ditengah-tengah kebingungan Alicia terhadapku, seorang gadis berumur sekitar lima belas tahun menghampiri kami berdua dengan membawa sebuah kamera. Ia ragu-ragu sebentar lalu memberanikan diri untuk berbicara kepada kami.
Excuse me, sir, ma’am.”, katanya gugup.
Aku sedikit sebal mendengarnya karena kau dipanggil ‘sir’. Aku masih muda dan umurku belum tiga puluh tahun. Alicia dapat melihat kekesalanku dipanggil seperti itu.
Yeah.”, jawab Alicia lembut.
Could I take pictures with you?”, Tanya gadis itu sedikit tergagap.
“Oh, tentu.”, jawab Alicia lembut lalu tersenyum. Gadis itu ternganga karena terkejut. “Kau mau, Calvin?”, tanya Alicia kepadaku dengan Bahasa Indonesia. Aku menganggukan kepalaku karena aku masih merasakan sakit di lidahku. Sudah ku duga ini pasti berdarah.
Gadis itu membeku di tempat karena malu. Yang sebelumnya kami dikira turis asing ternyata orang Indonesia. Padahal kami dulu pernah tinggal di sini tapi tepatnya di Pulau Kalimantan. Aku tinggal di sana dari aku lahir sampai aku mendapatkan pekerjaan memegang saham pusat di Eropa. Dan rumahku sekarang di Eropa bersama Alicia.
“Kalian dapat berbicara Bahasa Indonesia?”, tanya gadis itu malu-malu.
“Tentu.”, jawab Alicia langsung. “Waktu kecil aku tinggal di Denpasar.”
Gadis itu menganggukan kepalanya mengerti dengan malu-malu. “Jadi, bisakah kita mulai?”, tanyanya malu-malu.
“Sekarang boleh. Tapi aku tidak mau berfoto jika aku mengenakan pakaian ini.”, kata Alicia lembut.
Ingin sekali aku berkata bahwa ‘kau cantik mengenakan itu dan tak perlulah kau malu-malu’ tapi bagaimana bisa. Aku tidak ingin memuntahkan darah disaat seperti ini.
“Bisakah kau menunggu sebentar…” Alicia bingung memanggil gadis itu.
“Ina.”, kata gadis itu menyebutkan namanya.
“Iya Ina, nama yang bagus. Bisakah kau menungguku sebentar, Ina?”
“Terima kasih. Tentu.”
Alicia tersenyum sambil mengambil tas kecil yang menggantung di pinggangku. Ia berlari munuju ke para pedagang yang menjual kain pantai. Aku menatap gadis itu sambil tersenyum masam tapi tanganku masih menutupi mulutku. Aku seperti anak kecil.
Gadis itu kebingungan melihatku seperti ini. Aku yakin banyak pertanyaan muncul di benaknya tentangku. Aku tidak ingin melepaskan tanganku karena takut darah sudah terlihat di bibirku.
Alicia tiba dan langsung duduk di sampingku. “Maaf lama.”, katanya sopan. Ia mengembalikan tas kecilku lagi ke pinggangku lalu menatapku kebingungan. “Kau kenapa, Calvin?”, tanyanya kepadaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Ia menatap Ina dan ia hanya mengangkat kedua bahunya. Ia menarik kedua tanganku dan akhirnya terlepas sudah. “Ada apa?”, tanyanya lagi.
“Aku tidak apa-apa. Apa aku berdarah?”
“Tidak. Lidahmu tergigit?”
Aku menganggukan kepalaku. Syukur lidahku tidak berdarah atau memang sudahsembuh. Ini sulit diprediksi.
“Mengapa kau tidak member tahuku tadi?”
“Lidahku sakit dan aku tidak bisa berkata apa-apa.”, jawabku lalu aku melirik ke arah Ina yang dari tadi berdiri membeku di sampingku. Alicia mengelus-elus pipiku.
“Ayo.”, ajak Alicia kepada Ina.
Ia terbuyar akan lamunan kecilnya lalu tersenyum kecil. “Aku panggil teman-temanku dulu.”, katanya lalu membalikan tubuhnya. Ia memberikan aba-aba kepada teman-temannya yang sedang bermain ombak menunggu dirinya.
Sekitar lima anak perempuan yang berlari menghampiri kami, rata-rata mereka umurnya sama dengan Ina. Yang berbadan paling tinggi memiliki rambut pendek seperti laki-laki dan lurus. Ia mengenakan kaos tipis berwarna ungu dengan motif bunga kamboja warna-warni, celana colornya yang menutupi sampai lututnya pun sejenis dengan kaosnya. Yang memiliki rambut paling panjang yang ia ikat serempangan di atas bahu kanannya dan bertubuh ideal itu berlari di samping gadis yang bertubuh tinggi itu, ia mengenakan baju terusan celana pendek berwarna merah muda dengan motif bunga kamboja kecil-kecil dan ramai. Yang memakai jilbab putih bersih tapi sedikit basah akibat tadi main air itu berlari di tengah-tengah. Tubuhnya kurus seperti Alicia dahulu. Dan di sampingnya, terdapat gadis yang bagiku mereka manis seumurannya. Jika waktu aku masih SMA jika melihat dia mungkin tidak bisa memejamkan mata. Ia memiliki lesung pipi yang cukup dalam, dan aku sempat memiliki tipe cewek yang memiliki lesung tapi sayangnya Alicia tidak memilikinya. Sisanya, tubuhnya tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Tubuhnya datar tapi tidak kurus seperti kapur. Aku tersenyum masam kepada mereka hanya saja Alicia yang tersenyum lembut khas miliknya.
“Aku sudah berkata kepada mereka bahwa mereka bersedia.”, kata Ina kepada teman-temannya. Mereka menatapku dan Alicia. Anehnya mata mereka berbinar-binar kepadaku. Aneh.
Kami berdelapan mengambil foto secara bergantian. Dan yang terakhir adalah aku yang mengambil gambarnya. Ternyata menenangkan jika aku tidak ikut berfoto seperti itu. Anak-anak sekolah itu mengamatiku seperti artis idola mereka padahal aku tidak seterkenal penyanyi atau actor. Akhirnya selesai juga. Aku mengembalikan kamera itu kepada Ina dan mereka mengucapkan terima kasih kepadaku dan tentunya kepada Alicia juga. Ia tersenyum senang melihat mereka berenam yang sudah berjalan menjauh dan berebut melihat gambaran mereka yang baru saja kuambil itu. Aku menghela nafas.
“Kau tidak apa-apa, sayang?”, tanya Alicia kepadaku.
“Aku baik-baik saja.”, jawabku sambil mengangguk pelan.
“Pulang atau makan siang?”, tanya Alicia sambil berdiri. Ia mengikat kain pantai itu di pinggulnya.
“Pulang sebentar. Lalu jalan-jalan lagi. Kau mau ke GWK?”
Alicia berpikir sambil meletakan jari telunjuk kanannya di depan mulut. Aku tahu ia membuang-buang waktu dengan berpikir.
“Aku ingin ke pantai lagi.”
“Mendung.”
“Nanti di GWK juga bakalan kehujanan.”
“Lalu?”
“Makan.”
Aku mengehela nafasku. Alicia memang benar-benar membesarkan perutnya padahal kami sudah membuat kesepakatan bodoh sebelum menikah. Dan aku tidak mau membahasnya lagi.
“Kita mau makan kemana dengan pakaian renang seperti ini?”, tanyaku.
“Kita ganti baju dahulu, sayangku.”, katanya lalu mengecup bibirku.
“Mandi dahulu?”, kataku sedikit dengan nada nakal.
Ia tertawa mendengarnya. “Baiklah. Kau ingin mandi dimana?”
“Terserah. Kau yang mengerti tempat ini.”
Ia tersenyum kepadaku. Lalu ia membawaku untuk mengembil tas di mobil lalu mandi di tempat yang sudah disediakan. Selesai itu, ia menarikku lagi seperti aku ini adalah troli. Ia membawaku masuk ke mobil.
“Ikuti arahku saja.”, katanya penuh semangat. Aku tersenyum mendengarnya.
Di perjalanan ternyata ia banyak bicara. Bukan hanya menunjukan arah tetapi ia juga berbicara tentang berbagai macam hal. Dia seperti pemandu wisata yang masih ingat tentang wilayah ini. Aku pun asik mendengarnya.
Tempatnya adalah restoran berbintang lima. Aneh sekali ia mengajakku ke tempat itu. Aku meliriknya dan ia tersenyum lembut kepadaku.
“Kau tunggu sebentar di sini, okey? Aku segera kembali.”, katanya lalu berlari keluar.
Entah apa yang ia rencanakan tetapi sepertinya ia akan mengejutkanku. Alicia masuk ke dalam restoran itu dan hanya menunggunya beberapa menit saja ia sudah keluar dengan membawa kantong plastic besar. Aku yakin dia sudah memesan makanan itu terlebih dahulu. Pintu terbuka dan ia duduk di sampingku. Kulirik apa yang ia bawa tapi ia menyembunyikannya dan menyambar bibirku.
“Kau menyetir ya, sayang.”, katanya setelah menyiumku.
Roger that.”
Ia asik sendiri dengan bawaannya dan terus berpikir apakah ada yang kurang atau tidak. Ia menyuruhku untuk menyetir bukan untuk membantunya berpikir. Aku yakin ia akan membentakku jika aku ikut-ikutan dengannya. Cukup lama dalam perjalanan dan aku yakin aku berada di bagian utara Pulau Bali. Ia mengajakku ke pantai yang sepi di pinggir tebing dan jalanan aspal. Jalan itu sering digunakan oleh para pelajar setelah study tour mereka untuk perjalanan pulang. Aku pun pernah melewatinya. Ombaknya kecil dan pinggir pantai terdapat batu-batu besar. Alicia menarikku untuk duduk diatas batu itu. Ia bersandar pada bahuku dan aku merangkulnya. Ia menceritakan bahwa ini adalah tempat faforitnya dulu waktu kecil. Ia sering ke sini dengan sepeda ontelnya dahulu (dan sampai sekarang masih ada di gudang rumah neneknya. Sepeda tua itu masih bisa digunakan lagi).
“Nenek sering mencariku kemana-mana seprerti ke rumah teman atau sekolah. Padahal aku di sini duduk sendiri menikmati pantai ini.”, katanya lembut.
“Kau memang selalu saja menghilang tanpa jejak.”, kataku sambil meliriknya.
Ia tertawa kecil. “Aku senang jika kau menemaniku berada di sini. Sunyi tapi asik. Kau hanya ditemani oleh suara air laut yang terkadang terdengar. Selain itu banyak bus yang selalu lewat di jalan ini. Dan ngomong-ngomong mobilmu menghalangi jalan.”
“Siapa yang menyuruhku parkir di tempat ini?” Aku membalasnya.
Ia lagi-lagi tersenyum.
“Aku hanya memerlukan waktu sebentar di sini.”, katanya sambil menutup matanya dan menikmati angin laut yang terus meniup wajahnya. Rambutnya yang sebagian sudah kering menari-nari di belakang kepalanya.
“Aku akan menunggumu sampai puas.”, kataku pelan kepadanya. Aku meletakan pipi kananku di atas kepalanya.
“Kau serius dengan ini? Aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini karena sebentar lagi kita pasti ditegur orang karena menghalangi jalan.”, katanya lalu tertawa kecil.
Aku tersenyum. “Bilang saja mobil kita mogok dan kita menunggu seseorang yang akan membantu kita.”, jawabku. Aku tertular menikmati tempat ini. Ternyata nyaman.
Ia sekali lagi tertawa. “Hei hei, suami penipu. Kau ingin dipenjara?” Ia menarik kepalanya lalu menatapku senang. “Ayo kita pergi. Kita ke danau saja.”
Ia lagi-lagi menarikku masuk ke dalam mobil. Dan perjalanan kami selanjutnya adalah Danau Bedugul. Menanjak tanjakan yang sering disebut Tanjakan Cinta itu. Aku sering tertawa mendengarnya waktu sekolah dasar dahulu. Dan ini lebih asik kalau ada orang lain yang menyetir mobil ini. Aku ingin berpelukan dengan Alicia seperti Teletubies. Kami hanya memerlukan waktu sekitar satu jam sampai di danau. Di sana memang mendung dan kabut menutupi sebagian danau. Alicia mengecup pipiku lalu mengajaku keluar dari mobil. Angin dingin menyapu kulitku dan Alicia merinding kedinginan. Ia tidak memakai jaket.
“Jaket yang hitam.”, kata Alicia sambil berjalan mendekati danau. Aku mengambil jaket hitam yang berada di belakang mobil. Aku sedikit kesal karena mendapatkan jaket sweter yang tipis.
Aku berjalan mendekatinya yang berdiri di pinggir danau. Banyak perahu bebek yang tidak digunakan terparkir di pinggir danau. Aku membantu mengenakan Alicia dengan jaket hitam yang kubawakan tadi.
“Maaf, aku hanya mendapatkan ini.”, kataku pelan. Angin menerbangkan rambut Alicia tidak jauh dari kepalanya dan ia tersenyum.
“Aku sengaja membawa yang ini. Aku ingin kau selalu di sampingku.”, katanya sambil bersandar pada dadaku. Aku merangkulnya. “Hangat.”, katanya pelan dan lembut.
Entah apa yang ia lihat tapi aku melihat danau itu yang tertutup kabut yang cukup tebal. Anginnya dingin berhembus membekukan kulit kami tapi kami merasakan kehangatan satu sama lain. Tubuh Alicia memang bergetar kedinginan tapi lama-lama tubuhnya kembali tenang. Ia tidak kedinginan lagi saat aku memeluk dirinya. Ia juga memelukku sangat erat, erat sekali hingga aku merasakan kehangatan pula dibalik kaos tebalku.
Kepala Alicia menengadah ke atas dan menatapku dari mata cokelatnya yang manis. Aku juga menatapnya sambil tersenyum kecil kepadanya. Kami mendekatkan wajah kami satu sama lain dan kami berciuman. Aku mencoba untuk memberikan ciuman yang pernah ia bilang mesra seperti saat pernikahan dua hari yang lalu. Pernikahan yang awalnya kupikir adalah hal yang akan membawaku ke dalam kebahagiaan. Dengan adanya Alicia di sampingku, hidupku pasti bahagia. Semua kekacauan telah berakhir dan tidak ada lagi yang harus mengorbankan nyawa mereka untukku. Mereka semuanya aman dan dapat hidup bahagia seperti. Mereka semua, termasuk istriku akan hidup bahagia selamanya.

Tapi keputusanku ternyata salah. Dan itu membuat semuanya menderita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menonton Urutan Danganronpa Anime Series dengan Benar

Halo minna-san tachi… Di sini aku mau bahas anime yang aku tonton baru-baru ini. Sebenarnya memang sudah lama keluar tapi aku mengurungkan niat tidak menonton karena awal dari animenya membingungkan. Tapi, saat menontonnya lagi dengan cara yang benar, akhirnya aku paham alur ceritanya dan menarik perhatianku. Danganronpa 2 the animation, yang diambil dari serial game dan light novel, adalah anime keluaran tahun sekitar 2014. Itu adalah anime season 1 yang entah bagaimana ditulis 2. Aku ingat pertama kali menonton anime ini saat aku masih SMA dan aku langsung suka dengan animenya karena menurutku konflik yang diberikan cukup unik dan menantang. Bagaimana tidak? Kau terkurung di sebuah sekolah dan disuruh untuk membunuh teman-temanmu agar kau bisa lulus? Otak dalang ini emang gila bagi yang merasa kalian normal, namun di sinilah sisi menariknya. Anime ini memberikan kesan misteri yang perlu dipecahkan secara perlahan-lahan. Tidak hanya kasus pembunuhan yang terjadi, namun juga

Terkesan dengan Kata-kata

Yosh... aku mulai sekarang... (pembaca bingung?) well, akhir-akhir ini aku lebih sering nonton film, ngetik, baca, ngetik, dengerin musik sambil ngetik, dan yang paling parah adalah aku selalu ngimpiin hal yang aneh saat aku tidur. tapi apa manfaatnya? jawabnya adalah BANYAK! semuanya jika dikumpulkan jadi satu, um... jadi sebuah cerita yang indah dan tidak pernah ada.... semuanya itu sungguh luar biasa. aku selalu mendapatkan inspirasi dari satu kalimat atau lebih yang terdiri dari kata-kata yang indah. biasanya hal yang berbau romantis atau hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. contoh  : "Aku tahu kamu sudah memiliki seorang pangeran, tapi apakah kamu tidak memerlukan seorang kesatria?" -kutipan dari novel Vampire Diaries The Return: Midnight, Damon Salvatore to Elena Gilbert- katanya sih, dia ngomong gitu karena kisah tentang seorang ratu yang egois mencintai dua orang sekaligus, yaitu rajanya dan kesatrianya. bisa diartikan (jika kalian tahu cerita Vampire Diarie

Daftar Pemenang Festival Film Bandung

Kategori Film Terpuji 1. TANAH SURGA KATANYA 2. HABIBIE & AINUN 3. GENDING SRIWIJAYA 4. 9 SUMMERS 10 AUTUMS 5. 5 CM   ( Winner ) Kategori Pemeran Utama Pria Terpuji 1. Vino G. Bastian dalam MADRE 2. Agus Kuncoro dalam GENDING SRIWIJAYA 3.  Reza Rahadian  dalam HABIBIE & AINUN   ( Winner ) 4. Tio Pakusadewo dalam RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA 5. Adipati Dolken dalam SANG MARTIR Kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji 1.  Julia Perez  dalam GENDING SRIWIJAYA  ( Winner ) 2.  Bunga Citra Lestari  dalam HABIBIE & AINUN 3. Lana Nitibaskara dalam AMBILKAN BULAN 4.  Acha Septriasa  dalam TEST PACK  ( Winner ) 5. Laura Basuki dalam MADRE 6. Agni Prastistha dalam CINTA TAPI BEDA Kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji 1. Igor Saykoji dalam 5CM 2. Fuad Idris dalam TANAH SURGA KATANYA 3. Alex Komang dalam  9 SUMMERS 10 AUTUMNS  ( Winner ) 4. Mathias Muchus dalam GENDING SRIWIJAYA 5.  Reza Rahadian  dalam PERAHU KERTAS Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terpuji