Bab 5 sudah selesai. Sebenarnya aku sudah sampe Bab 7 tapi biarlah. jujur saja aku kehabisan kata-kata buat opening ini tapi tak apa. Dan jika ingin membaca sebelumnya bisa klik :
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Dan seperti biasa komen aja yak jika ada kesalahan tehnis. Happy reading ^^
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Dan seperti biasa komen aja yak jika ada kesalahan tehnis. Happy reading ^^
Bab 5
Matahari mulai
terbit dari timur, menerangi sisi timur dari montel itu. Alicia yang sudah
membuka korden jendela kamarnya lalu merapikan pakaiannya yang dari tadi ia
acak-acak untuk mencari baju yang pas dan cocok dengan suasananya. Cahaya
matahari hangat menembus kaca jendela dan menghangatkan badannya. Ia duduk
membelakangi jendela kaca itu.
Di sisi lain,
Calvin masih tertidur dengan nyenyak di sofa kecil itu. Cahaya matahari yang
masuk tidak mengenai dirinya di sofa. Calvin masih dengn nyenyaknya tidur dengan
suara dengkurannya yang terdengar kecil dari mulutnya. Alicia yang selesai
dengan pakaiannya yang berantakan itu, ia membuka dompetnya yang di dalamnya
terdapat cerminnya. Dia bermain sinar matahari itu dengan mencarkan pantulan
cahaya orange itu ke wajah seorang laki-laki yang sedang tidur nyenyak.
Merasa matanya
yang tertutup terkena cahaya terang sekali ia membuka matanya dan “Wow!
Hentikan itu, Alicia.”, katanya kesilauan menatap langsung cahaya orange yang
terang itu.
“Rencanaku mau
berangkat pagi-pagi buta, tetapi aku malah kesiangan. Dan sekarang lebih baik
kau mandi sekarang dan persiapkan dirimu sendiri dalam waktu sepuluh menit.”,
kata Alicia sambil menutup dompetnya dan memasukannya ke dalam tas hitamnya.
Calvin masih
merasa mengantuk berat. Matanya sulit untuk terbuka dan harus menabrak dinding
setiap kali. Hanya waktu lima menit untuk laki-laki ini membersihkan badannya
dan menyegarkan matanya agar kuat untuk membukanya, ia keluar dari kamar mandi
lalu memasuki kamarnya dan terbengong oleh sosok perempuan yang sempurna sedang
menata ransel-ransel yang besar.
Gadis itu
mengenakan tang top putih dan celana hitam
pendek sampai lututnya. Ia juga sudah memakai sepatu boot hitamnya yang sering
ia buat untuk pergi. Rambutnya yang ia kucir ekor kuda bergoyang ke kanan ke
kiri mengikuti arah gerak tubuhnya yang ramping. Sungguh pemandangan yang dapat
mencuci mata.
Merasa diamati
oleh seseorang, gadis itu mengeluarkan sebuah pistol dari kantong celananya
sambil mengacungkan tepat di depan kepala seseorang yang sedang
memperhatikannya. Ia memiringkan kepalanya dan menaikan sebelah alisnya.
“Sudah cukup kan buat cuci mata? Lagian ini bukan
tontonanmu!”, katanya dengan lembut diawal lalu berubah menjadi garang.
Laki-laki itu mengakat kedua tangannya dan berkata,
“Iya, maaf
Alicia.”
Alicia menarik
pistolnya kembali ke dalam kantong celananya itu. lalu tersenyum kecil dan
melanjutkan persiapkan semuanya. Seperti biasa ia mengambil sebuah permen mint
lalu memakan permen mint itu sebagai cemilannya. Dia juga sudah mempersiapkan
semuanya yang ada di ransel besar dan siap untuk dibawa pergi.
“Kita makan di
luar aja, yuk.”, ajak Calvin yang sudah selesai dengan persiapan pribadinya.
“Ehm... tadi
malam aku lihat di samping montel ini terdapat restoran kecil. Mau mencobanya?”,
ajak Alicia yang berdiri di depannya.
“Boleh. Kau
sudah siap?”
“Sudah dari
tadi. Hanya tinggal menunggumu.”
“Ya sudah,
ayo.”
Mereka berdua
meninggalkan kamar mereka lalu menguncinya agar tidak ada orang yang akan masuk
menyelinap mencuri. Mereka berjalan keluar dari montel. Alicia yang sangat
senang karena ia merasakan kehangatan luar biasa dari sinar matahari serta
angin berhembus pelan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menikmatinya. Lalu
mengeluarkan nafasnya dari mulutnya. Ia tak ingin membuang kesempatan untuk
dapat bernafas dengan gratisnya di dunia ini.
Ia melihat
jalan raya di depannya masih sangat sepi. Mungkin hanya penduduk setempat yang
berjalan kian kemari untuk memulai hidup dengan bekerja dan... “Sekolah”,
katanya pelan. Ia merindukan untuk mengikuti pelajaran setiap harinya seperti
waktu ia SMP dulu.
Sejak ia
memasuki SMA, ia sering di rumah sendirian karena orang tuanya berkerja terus
keluar kota maupun keluar negara. Ia juga mengisi kesehariannya dengan
kesendiriannya. Dia harus melakukan ini itu dengan sendirinya kecuali bekerja
mencari uang. Karena orang tuanya selalu mengirimkannya uang setiap seminggu
sekali untuk menghidupi kebutuhannya. Rumahnya hanya terdapat lima ruangan. Dua
buah kamar, sebuah kamar mandi, sebuah dapur, dan ruang tamu. Dan besarnya pun
tidak besar. Kamar pertama adalah kamar orang tuanya yang selalu kosong,
sedangkan kamar satunya adalah kamarnya.
Ia teringat
saat ia dipilih sebagai anggota agen rahasia. Saat itu, ia sedang berjalan
menuju rumahnya. Karena tugas print
ia dapatkan, terpaksa ia harus pergi ke warnet terdekat untuk mengerjakan
tugasnya. Waktu itu sudah menunjukan pukul lima sore. Ia berjalan pulang sambil
mngecek lembaran kertas-kertas tugasnya itu.
Tanpa ia
sadari ia berjalan melewati sebuah gang yang sangat sepi dan ia terkejut saat
berada di tengah jalan setelah melewati gang kecil itu. Ia melihat seorang
laki-laki yang berdiri tegak mencoba untuk menghindar dari serangan para
perampok. Perampok itu beranggotakan lima orang. Jadi ini pertandingan satu
lawan lima untuk menyelamatkan diri. Laki-laki yang mengindar dari serangan
pukulan dari perampok itu tiba-tiba dengan lincahnya menghindar dan berdiri di
depannya. Ia benar-benar terkejut. Seorang laki-laki yang sedang dirampok itu
juga mencoba untuk melindungi dirinya. “Larilah selagi sempat.”, kata laki-laki
itu dengan pelannya kepadanya. Ia hanya mengangguk dan mencoba untuk berjalan
sedikit berlari menjauh.
Sialnya
laki-laki itu terkena pukulan keras tepat di kepalanya dan ia terlempar mendekat
kepada dirinya. Laki-laki itu mencoba untuk bangun sekuatnya walaupun kepalanya
mungkin pusing terkena serangan yang keras itu tepat di kepalanya. Ia selagi
menyuruh Alicia untuk menjauh secepat mungkin dan tidak perlu memperdulikan
dirinya. Alicia mencoba untuk berlari menjauh tetapi ia tidak bisa, ia tidak
tega melihat laki-laki itu dikeroyok oleh lima orang banyaknya.
Pukulan keras
terkena kepala laki-laki itu lagi dan ia mengeluarkan darah di hidungnya dan
dibagian dimana ia dipukul. Ia terlempar cukup jauh dan membuat benda berwarna
hitam dari kantongnya terjatuh menjauh darinya dan jatuh tepan di kaki Alicia.
Alicia sangat bingung untuk membantu laki-laki itu yang sekarang lemah karena
ia dikeroyok. Seorang dari perampok itu membawa pisau dan hendak menusuk-nusuk
badan laki-laki yang sedang ia keroyoki bersama teman-temannya.
Pisau berwarna
perak mulai ia angkat dan ia mulai mendorong pisau itu ke badan laki-laki itu.
“Dorrr!!!”, suara pistol telah mengeluarkan pelurunya dengan kecepatan tinggi.
Peluru itu mengenai tangan dari perampok yang hendak menusuk badan buronannya.
Ia melepaskan pisaunya lalu memegangi tangannya yang kesakitan dan mengeluarkan
banyak darah berwarna merah. Teman-temannya mengalih pandangannya menjadi ke
arah Alicia dan berlari mendekatinya untuk menyerangi Alicia. Mereka berpikir
anak ingusan dapat menembak dengan tepat hanyalah kebetulan semata. Mereka
semakin mendekat dengannya.
Dengan pistol
yang ia bawa, ia menekan pelatuk itu sebanyak empat kali dan semuanya mengenai
kaki semua perampok itu tadi. Ia dapat dengan mudah membuat lima orang rampok
lumpuh di tempat dengan kesakitan dan mengeluarkan darah dimana mereka terkena
peluru pistol hitam itu. Segera Alicia menyimpan pistol itu sedalam kantong di
roknya lalu berlari mendekati laki-laki yang terluka itu. Laki-laki itu
mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena melibatkan masalahnya padanya.
Alicia hanya cuek dengan ucapan tersebut, ia malah serius dengan luka laki-laki
itu. Segera Alicia membawanya ke rumahnya dan meninggalkan lima perampok
sekarat di tengah jalan sempit di gang
kecil.
Alicia
membersihkan luka dari laki-laki itu. Dan mencoba untuk memperban luka itu.
“Sekali lagi terima kasih.”, kata laki-laki itu sambil memegangi kepalanya yang
pusing.
“Kau harus
pulang dan beristirahat.”, kata Alicia sambil membereskan perlatan P3Knya.
“Kau benar
juga. Tetapi rumahku terlalu jauh.”, jawab laki-laki itu mengomel. “Tapi tenang
saja. Aku akan segera dijemput sekitar dua menit lagi.”, lanjutnya.
Jawabannya
membuat Alicia bingung. ia tidak mengerti maksud dari laki-laki itu. Lalu ia
mencoba untuk bertanya, “Maksudnya?”
“Nanti kau
akan tau sendiri.”, jawab laki-laki itu singkat. Ia membaringkan tubuhnya di
atas kursi ruang tamu.
Beberapa menit
kemudian terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Alicia. Seorang
laki-laki yang tingginya hampir sama dengan tinggi laki-laki yang berada di
dalam rumahnya ini mendekat padanya lalu memperkenalkan dirinya. “Selamat
petang. Nama saya Nico. Apakan saya dapat menemui Mr. Riicon?”
“Riicon?”,
kata Alicia kebingungan. Dengan segera bayang-bayang laki-laki yang dirampok
itu melintas di benaknya. Ia segera menyuruh orang bernama Nico itu untuk masuk
dan menemui laki-laki yang sedang beristurahat di atas kursi tamu.
“Syukurlah
kalau dia hanya terkena serangan fisik.”, kata Nico tenang.
“Nico, kau
selalu santai mengatakan hal itu.”, kata laki-laki bernama Riicon itu mulai
terbangun. “Auw.”, ia masih merasa pusing.
“Jangan
dipaksakan dahulu.”, kata Alicia lalu meletakan dua cangkir teh hangat yang
barusan ia buat.
Laki-laki
bernama Riicon itu meletakan badannya kembali lalu berkata sambil menutup
matanya, “Aku ingat kau telah menyelamatkanku dengan pistol yang terjatuh
keluar dari kantongku, kan?”
“Oh... ehm...
bisa dibilang begitu.”, jawab gadis itu. Ia duduk berhadapan dengan Nico dan
Riicon yang sedang tiduran.
“Aku boleh
memintanya?”, tanyanya langsung.
“Bo – boleh.”,
jawab Alicia tergagap sambil menuju kamarnya mengambil pistol yang tadi ia
masukan ke dalam kantong roknya. Semenit kemudian ia memberikan pistol itu ke
laki-laki bernama Nico karena Riicon yang masih merasa pusing tidak mau berkata
lebih lanjut.
Nico mengecek
isi peluru yang masih ada di dalam pistol itu. Dan ia mengeluarkan seluruh isi
peluru yang masih di dalam itu ke atas meja. Ia menghitungnya.
“Tinggal tujuh
peluru. Ini menandakan anda menggunakannya sebanyak lima kali tembakan. Apakah
itu benar?”, katanya kepada Alicia.
“I – iya.
Maaf...”
“Janganlah
meminta maaf. Tapi aku yang seharusnya meminta maaf padamu karena kau akan terlibat
dengan urusanku yang rumit.”, kata Riicon yang berusaha untuk duduk. Dia
bersandar pada kursi dan menutup matanya sebentar menahan rasa sakit. Lalu
dengan usahanya ia membuka matanya dan berkata, “Apa kau pernah menggunakan ini
sebelumnya?”
Alicia
langsung terkejut setengah mati. Ia sadar bahwa ia tidak pernah menggunakan
senjata api. Dan biasanya pengguna pertama akan mengalami sakit di badannya
karena tidak kuat terhadap tekanan pada pistol tersebut. Tetapi ia, ia tidak
merasakan sakit apapun dan dapat menembak dengan pas sasaran. Dengan begitu
Alicia menggelengkan kepalanya.
Jawaban itu
pun membuat Nico dan Riicon terkejut pula. Mereka tidak percaya seorang gadis
polos sepertinya dapat menggunakan pistol dengan pertama kalinya dan pas dengan
sasaran. Bukan hanya satu kali, tetapi lima kali secara berurutan. Dan anehnya
juga gadis ini tidak menunjukan rasa sakit di badannya.
“Anda yakin?”,
tanya Nico yang masih tidak percaya.
“I – iya. Say
– saya...” Ia menelan ludah lalu mulai menlanjutkan jawabannya, “Saya tidak
pernah menembak maupun menggunakan senjata api apalagi menyentuhnya. Ini adalah
pertama kalinya saya menyentuhnya.”
Ini semakin
aneh dan membingungkan. Apakah ini hokinya karena dapat menggunakan senjata
berjenis api ini? Atau dia menyembunyikan sesuatu? Diantara
pertanyaan-pertanyaan yang menggenang di pikiran itu, Alicia mulai menjelaskan,
“Entah mengapa
saya memegang pistol itu terasa saya sudah biasa memegangnya dan dengan mudah
menggunakannya. Saya mengambil pistol itu tanpa sadar saya, jadi saya juga
bingung dengan diri saya sendiri.”
“Apa kau
pernah hilang ingatan?”, tanya Nico langsung tanpa pikir. Ia tau kalau
pertanyaan ini tidak sopan tetapi karena Nico ingin mengetaui dirinya.
“Tidak, sama
sekali tidak. Saya tidak pernah masuk rumah sakit akibat sakit ataupun
kecelakaan.”, jawab gadis itu polos dengan suara lembutnya.
“Tidak masuk
akal, kan?”, kata Riicon yang juga
kebingungan. “Bagaimana kalau dicoba lagi?”, lanjutnya.
“Apa kau tidak
keberatan ikut dengan kami ke rumahku? Aku tidak akan mengapa-apakan mu. Kalau
mau sebagai bukti, pistol itu kau bawa saja dan jika aku berbuat sesuatu yang
membuatmu tidak nyaman kau boleh mengarahkan pistol itu ke kepalaku dan menekan
pelatuknya.”, kata Riicon.
“Apa?! Mr.
Riicon, ini seharusnya tidak diperbolehkan oleh...”
“Diamlah,
Nico!”, bentak Riicon kepada Nico. Nico langsung terdiam lalu menundukan
kepalanya seakan dia sudah bersalah. Riicon lalu memalingkan wajahnya ke gadis
di depannya lalu menanyakannya,
“Bagaimana?”
Gadis itu
terlihat sedikit shock dan juga
bimbang. Bimbang? Seharusnya aku tak
bimbang begini. Seharusnya aku sudah pantasnya menolak ajakan pria yang baru
saja ku kenal ini, pikirnya dalam hati.
“Aku tidak
memaksamu, kok.”, lanjut Riicon.
“Sa – saya,
saya sebenarnya ingin menolak. Tetapi hati saya berkehendak lain.”, jawab gadis
itu. Jawaban tidak terduga ini membuat semuanya terkejut.
“Ah... kalau
begitu, keputusanmu apa? Kau harus membuat keputusan yang tepat.”, kata Riicon
yang mulai tertarik dengan gadis yang duduk di depannya ini.
“Dari dulu,
saya selalu mencari tau siapa saya. Kalau saya ikut denganmu, Riicon. Apakah
aku dapat mengetaui siapa diri saya sebenarnya?”, tanya gadis itu dengan suara
bimbang.
Riicon makin
terkejut. Ia menggaruk-garuk kepalanya lalu mulai berkata, “Ehm... gimana ngomongnya, ya? Bagiku yang dapat mengetaui siapa diri sendiri itu ya diri
sendiri itu juga.”
Gadis di
depannya makin bimbang. Lalu ia mencoba berkata, “Bagai – bagaimana dengan
pistol yang saya gunakan itu? Saya menggunakan pistol itu seakan saya sudah
pernah menggukannya dan saya sudah handal dengan senjata itu. Padahal saya
tidak pernah menyentuh benda itu sama sekali sebelum kejadian tadi. Jika aku
menolakmu, Riicon. Aku pasti akan makin penasaran dengan diriku yang dapat
menggunakan senjata ini. Jika aku menerima tawaranmu, apakah aku dapat
menemukan jawabannya?”
Riicon makin
bingung dengan gadis yang sepertinya berharap penuh dengan jawabannya. Jika ia
menjawab ‘ya’, kalau dengan kenyataan ia tidak dapat menemukan maksud hidup
sama saja ia menipu gadis ini.
“Aku makin
tertarik dengan sikapmu yang ingin tau itu. Tapi aku tidak menjamin, sih.”, jawab Riicon.
Sejak
terbayang-bayang kebimbangannya diwaktu yang cukup lama itu, ia menjadi
melupakan tentang sekolahnya walaupun di sisi lain hatinya bahwa ia harus
menyelesaikan studinya lalu mengikuti jejak orang tuanya.
Melihat rekannya terbengong melihat jalan raya
yang sepi, Calvin memanggilnya, “Alicia!”. Masih bengong, Alicia masih bengong.
Tidak ada cara lain, Calvin terpaksa memanggilnya “Olive!” dengan suara yang
benar-benar keras dan memang dapat membuyarkan lamunan Alicia.
Alicia tidak
senang lalu ia memukul perut Calvin. Seperti orang melilit, Calvin memegangi
perutnya yang sakit. Ia merengek kepada Alicia seperti anak kecil yang kesakitan.
Alicia cuek dengannya lalu berjalan menuju restoran kecil di dekat.
Mengambil
sebuah meja dekat jendela, itu adalah kerjaan Alicia yang suka makan di dekat
jendela. Memesan omelet dan orange juice adalah pesanan Alicia. Ia
juga sangat menyukai cheese omelet
buatannya di rumah, itu adalah sarapannya setiap hari di rumahnya. Calvin yang
biasanya ikut-ikutan juga memesan omelet
tetapi ia memesan teh hangat tawar untuk minumnya.
Sambil
menunggu pesanan datang, Alicia bermain sebuah benda yang disebut tabletnya
itu. Sedangkan Calvin harus membalas e-mail
dari Nicolas dan juga berkelahi lewat kata-kata dengan kakaknya. Calvin
makin lama bisa naik darah jika ia terus-terusan membalas e-mail kakaknya yang membuatnya selalu emosi. Ia mematikan HandPhonenya meletakannya di atas meja
dalam kodisi layarnya berwarna hitam gelap yang menandakan HP itu mati. Calvin
lalu melirik ke Alicia yang sedang asik.
“Bukannya itu
terlalu terbuka, Alicia.”, kata Calvin.
“Terbuka
apanya?”, tanya Alicia kebingungan lalu memasukan tabletnya ke dalam tas
hitamnya. Ia melipat tangannya di atas meja.
“Pakaianmu.”,
jawab Calvin dengan pelannya.
Mata Alicia
menjadi membesar, ia sadar kalau dia hanya mengenakan tang top putih dan ketat
di badannya serta celana pendeknya yang sepanjang sampai lututnya. Pantas saja dari tadi dingin, katanya
dalam hati. Wajahnya menjadi memerah karena malu.
“Aku lupa
mengenakan jaketku.”, kata Alicia pelan lalu ia menundukan wajahnya. Calvin
mengambil nafasnya lalu membuka hem hitamnya lalu ia berikan ke Alicia. “Apa?”
“Pakai aja
hemnya.”, jawab Calvin.
Alicia
bimbang, ingin menerima tetapi tidak enak. Laki-laki di depannya hanya
menggunakan kaos putih polos. Kaos itu sering sekali digunakan oleh Calvin saat
menjalankan misi. Apa dia tidak apa-apa seperti itu?
“Pakai saja.”,
katanya.
“I – iya.”,
jawab Alicia tergagap. Alicia menerima hem hitam polos itu, lalu mengenakannya
dengan kancingnya terbuka semuanya. Perasaan yang sedikit mengganjal saat
memakai hem itu menjadi kenyataan. Ia sedikit kebesaran memakai hem hitam milik
rekannya ini. Ia juga mencium aroma khas laki-laki di hem itu.
“Haha...”,
Calvin tertawa. “Kau cocok juga pakai hem.”, lanjutnya lalu tersenyum.
“Apa maksudmu
itu?”, tanya Alicia tidak senang.
“Nanti kau
harus melihat tampilanmu seperti ini. Kau terlihat modis. Benar, kau ini keren
jika kau berpenampilan seperti ini.”, jawab Calvin yang terkagum-kagum.
“Jadi kau
anggap aku kalau aku adalah cewek-cewek zaman sekarang yang alay itu!”, bentak Alicia lalu memukul
meja dengan tangannya sendiri. Suara keras ini menarik perhatian.
“Bu – bukan
itu maksudku. Maksudku kau terlihat seperti cewek biasa yang modis. Tidak
seperti cewek yang berpakaian hampir seperti militer.”, kata Calvin pelan.
Alicia masih
emosi, ia ingin mengacungkan pistolnya ke kepala Calvin lalu menekan
pelatuknya. Ia benar-benar ingin membunuh Calvin karena membuatnya benar-benar
emosi. Calvin langsung tersenyum padanya. Ia selalu bertingkah santai dan juga
selalu merubah suasana setiap menit agar tidak menjadi bosan. Apa hidup Calvin lebih kesepian dari diriku?
Kata-kata itu tiba-tiba terbayang di benaknya.
Mencoba untuk
menahan emosinya, Alicia menarik nafasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Ia
mencoba untuk menatap Calvin. Senyum menghinanya terpancar dari wajahnya.
Sering kali Calvin menatap wajah dengan senyum menghina itu, dan Calvin memang
sedikit membenci senyuman itu.
“Ya, terima
kasih saja!”, kata Alicia ketus. “Jika kau masih menggunakan hem ini, kau pasti
dikira mau melayat orang meninggal di sini.”, lanjutnya.
“Bodoh! Sekarang
hemnya di kamu sekarang. Dan aku tak peduli apa kata orang selama aku di
sampingmu.”, jawab Calvin dengan sedikit menggoda Alicia.
Menahan tangan
yang akan mengambil pistol di kantong celananya adalah hal sangat sulit bagi
Alicia. Ia mengepalkan kedua tangannya yang berada atas meja sambil menahan
tangannya yang akan jatuh ke bawah mengambil pistol itu. Tangannya menjadi
lemas dan tidak mengepal lagi. Ia menyingkirkan tangannya karena pelayan yang
baru saja datang meletakan pesanan mereka berdua lalu pergi. Dengan kesabaran
yang tersisa, Alicia segera meminum orange
juice yang ia pesan.
“Maaf
sebelumnya ya, Alicia. Aku hanya basa basi kok.”, kata Calvin tiba-tiba lalu
tersenyum tulus. Itu membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk.
“Kau tak
apa-apa?”, tanya Calvin yang kebingungan. Alicia melambaikan tangan kanannya
menandakan kalau dia tidak apa-apa dan tangan kirinya membersihkan mulutnya
dengan tisu.
“Fiuh...”
Alicia
menghembuskan nafas tenangnya. Ia mengumpulkan ketenangan sekarang ini. Tidak
banyak waktu ia mulai berkata, “Lebih baik kau habiskan makanan itu segera, dan
aku tak ingin mendengar kata-katamu yang membosankan.”
Calvin meminum
teh hangatnya sambil melirik Alicia yang bimbang. Alicia mencoba memakan
beberapa kali omeletnya sampai tidak habis lalu ia meminum orange juicenya. Semua makanan tidak ia habiskan karena ia
memikirkan tentang waktu yang hampir saja ia habiskan untuk sarapan di sini.
“Calvin,
bisakah kita cepat pergi? Kita telah membuang-buang waktu.”, kata Alicia.
“Sekarang?
Boleh.”, jawab Calvin. Alicia langsung tersenyum dengan manisnya. Ia kemudian
meminta kunci kamar mereka lalu berlari mengambil semua peralatan. Calvin yang
ia tinggal meneguk tehnya lalu ikutan berdiri. Ia memiliki kewajiban untuk
menraktir gadis ini sewaktu perjalanan panjang ini, jadi ia pergi ke kasir dan
membayarnya.
Alicia yang
tergesa-gesa dengan waktu langsung membawa tiga ransel sekaligus. Ia menata di
atas jipnya lalu menunggu laki-laki yang sebagai rekannya tiba. Menggantung tas
hitamnya dan meletakan dua botol air mineral di tempat botol yang ada di
tasnya. Ia tak lupa mengambil beberapa perman mintnya dan memakannya satu dan
sisanya ia letakan di atas kotak tempat uang koin itu. Ia juga memperhatikan
mesinnya dahulu lewat tabletnya sebelum ia menghidupkan mesin jipnya.
Calvin mulai
keluar dengan beban berat yang ia bawa. Tiga ransel berat, dua diantaranya
adalah yang berisi senapan dan yang satunya adalah pakaiannya sendiri. Segera
ia meletakannya di atas jip kecil itu lalu mengikat semua ransel yang ada di
atas jip agar tidak terjatuh nantinya. Lalu ia duduk di samping gadis yang
sudah menghidupkan mesinnya dan menerima sebuah tablet sebagai peta mereka.
Setelah semuanya siap gadis itu menginjak pedal gas lalu melanjutkan
perjalanannya yang sudah hampir setengah jalan.
Komentar
Posting Komentar