an silent letter for the universe...
Ketika ku berjalan ke selatan,
di antara kedua bukit yang menjulang ke angkasa, kurasakan angin yang bertiup
begitu kencang. Berkatnya, aku merasakan tiap tetesan air mataku yang menempel
di pipi langsung terusap. Yang masih kurasakan hanyalah sebuah rasa dingin dari
angin yang berpadu dengan air mataku di pipiku. Dengan tidak sadar, aku menyentuh
pipiku. Bagaimanapun, semuanya akan terlihat baik-baik saja. Atau sebaliknya? Semuanya
harus terlihat baik-baik saja. Ketika semua orang begitu dengan egoisnya
mempertahankan hal yang baginya tak pantas untuk ditunjukan kepada orang lain.
Apakah salah untuk
mengekspresikan diri?
Aku pun bertanya kepada angin
di depanku. Meskipun mereka menjawab, aku tidak pernah mengerti apa jawabnya. Begitulah…
aku perlu untuk mencari jawabannya sendiri. Bagaimanapun itu, dan seberapa
pedulinya aku dengan hal itu.
Yang terbayang dalam lantunan musik
di telingaku sekarang, aku hanya melihat seseorang di depanku. Dia tampak
palsu, namun aku mengenalnya. Dengan tangan semi itu, oh, aku merasakan
sentuhannya di atas kepalaku. Membelainya dengan lembut dan ada beberapa hal
yang entah aku bisa merasakannya tapi tak terbaca olehku.
Seakan kata-kata berbisik
darinya. “Tak apa-apa.” Dan aku pun menangis kembali.
Dan ketika aku ingin
mempertahankan apa yang sedang membuatku nyaman, dia menghilang. Terlihatlah langit
senja yang begitu menawan di balik kedua bukit itu. Selagi langit gelap mulai
untuk menguasai malam, perpaduan dari matahari dan langit gelap di langit sana
telah menunjukan sesuatu yang berbeda. Berbagai warna terpancar: merah muda,
jingga, biru, ungu, dan… sebuah pelangi menunjang dari arah timur. Pelangi masih
dapat terpancarnya di saat mentari semakin lama semakin tak terlihat.
Dan angin sekali lagi mengusap
air mataku. Dari sini, aku berbelok arah untuk melihat lebih dekat senja,
bintang, dan matahari.
Komentar
Posting Komentar