Jam weker berbunyi tidak pada waktunya. Tentu saja mengundang
kecurigaan untuk hari yang sedikit kulupakan setelah membuka kedua mataku.
Hm... ini cukup wajar, mengingat bahwa sekarang adalah hari kebebasanku.
Matahari tidak bisa masuk ke dalam kamarku pada pagi hari. Semuanya
tertutup rapat oleh dinding lapis baja yang dibangun sejak papaku belum
dilahirkan. Kini aku menempati kamar bekas papaku dulu yang memiliki sebuah
beranda kamar menghadap ke barat. Oleh sebab itu, aku tidak bisa merasakan
hangatnya mentari pagi. Tetapi aku selalu mendapatkan pemandangan matahari
tenggelam. Itu adalah yang terbaik.
Memang tidak apa-apa jika aku membuka kedua mataku di pagi hari.
Tapi aku bisa melihat cahaya di kejauhan sana. Itu adalah sinar matahari yang
menyinari pohon-pohon. Cahaya selalu terpantul masuk ke dalam kedua mataku.
Tetapi, kini tidak sama sekali.
Sejak umurku tujuh tahun, aku sudah dilatih latihan fisik militer
ringan. Salah satu di antaranya adalah kemampuanku sendiri. Well, aku
memiliki kemampuan unik untuk bisa melihat ke sekitarku tanpa membuka kedua
mata. Papa memberitahuku bahwa ini namanya adalah deteksi. Dengan ini aku bisa
mendeteksi sekitarku seperti radar pada jarak tertentu. Tapi, aku belum sekuat
sampai bermeter-meter. Setidaknya aku bisa tahu apa yang ada di dalam kamarku
sekarang ini.
Kejutan yang payah, walaupun mereka sudah mengusahakannya. Papa dan
mama, serta Kak Leo yang sudah berusaha untuk hari ini—hari kebebasanku. Mereka
semuanya sudah siap di kamarku dengan kue ulang tahun, balon? Dan kutebak
banyak kertas warna-warni yang dipotong kecil-kecil. Bukankah itu lebih
merepotkan? Aku lebih suka perayaan sederhana.
Yang kulewatkan hanya kotak kado. Mungkin hadiahnya tidak dimasukan
ke dalam sebuah kotak. Well, aku ingat bahwa aku pernah meminta sebuah
mobil di hari bebasku ini. Kurasa memang tidak perlu dibungkus kotak kado.
Aku akhirnya memutuskan untuk bangun dan menyalakan lampu meja.
Lalu inilah yang terjadi: suara yang sangat keras dari terompet dan teriakan
selamat ulang tahun. Aku langsung menutup kedua telingaku karena mengejutkan.
“Sudah kubilang tidak perlu membunyikannya!” Itu suara teguran dari
mama yang bisa menenangkan suara besar dan rendah. Dasar laki-laki.
Kedua tangan lembut mama menyentuh kedua pergelangan tanganku yang
menutup masing-masing telingaku, kemudian dilepaskan. Di sudut pandanganku,
mama tersenyum manis bagaikan malaikat lalu mencium pipiku. Mama memang sangat
sayang kepadaku.
“Selamat ulang tahun, Sayang.” Kata Mama di sela mencium pipiku.
“Ini terlalu pagi untuk dirayakan.” Omelku.
“Sekarang sudah dewasa, cara berbicara juga.” Itu suara papa. Papa
duduk di sisi lain mencium pipiku. Wajahku merona karena malu. Aku malu karena
masih dicium oleh kedua orang tua seperti ini, tapi aku selalu sadar bahwa aku
adalah anak kesayangan mereka. Bagaimana tidak? Aku anak paling kecil dari
empat bersaudara.
“Selamat ulang tahun, Kelly.” Bisik papa.
Kedua tanganku siap menerima sebuah kunci.
Papa tertawa, mama juga. Sungguh, aku bingung apa yang sedang
mereka tertawakan. Ini sungguh tidak lucu jika aku meminta hadiahku sekarang.
“Kita berpesta dulu.” Bisik mama. Oh, aku terlalu cepat meminta
hadiahku.
Mama menarik tubuhku sampai berdiri. Tarikannya yang kuat bisa
mengangkat tubuhku tanpa aku mendorong tubuhku. Lalu aku dibawa ke ruang makan.
Di sana terdapat kue ulang tahun yang kecil dan dua lilin angka berdiri di
atasnya. Angka di kedua lilin itu bisa dibaca 18.
Tunggu, jika kuenya ada di sini, lalu yang aku lihat di deteksiku
tadi?
“Dimana Kak Leo?” tanyaku yang menyadari bahwa tidak ada kakak
laki-lakiku.
“Semuanya meminta maaf karena tidak bisa datang, tapi setidaknya
ada papa dan mama di sini.” Jawab mama berusaha untuk semanis mungkin. Aku tahu
agar aku tidak kecewa.
“Tapi, mereka tidak lupa dengan ini.” Papa menunjukan tiga kotak
besar berpita di dekat kue ulang tahunku. Wow!
“Sekarang waktunya tiup lilin.” Mama dengan senang memulai acara
pagi buta ini. Kemudian menghidupkan lilin dengan korek api elektrik.
“Buat permintaan dulu.” Bisik papa. Aku rasa hanya untuk mengingatkan
saja.
Sejak kecil, mama mengajariku untuk berdoa sebelum meniup lilin di
saat ulang tahunku. Kata mama, sesuatu yang aku inginkan harus aku doakan,
sebab manusia pasti menginginkan sesuatu hal dari Tuhan. Bukan material, tapi
sesuatu yang bisa membuat hidupku damai. Seperti bertahannya keluarga besarku,
papa dan mama yang masih sehat, serta aku bisa menjadi anak yang membanggakan.
Keinginanku sungguh banyak, sampai lilinnya hampir setengah
meleleh. Tapi papa dan mama mengabaikan kue yang dilelehi oleh lilin. Mereka
menatapku dengan senyuman. Sebuah senyuman sayang dan syukur dari orang tua.
Hm... aku sangat menyukainya.
Mama meneteskan air mata setelah aku meniup lilinnya. Ini pertama
kalinya mama menangis di hari ulang tahunku. Aku mengerti perasaan mamaku, tapi
sepertinya ada makna lain yang tidak bisa kumengerti. Yang hanya mengerti
bagaimana perasaan mama adalah papa. Mereka memang sepasang mahluk yang
sempurna. Kuharap aku bisa menemukan cinta sejatiku sendiri, seperti mama
menemukan papa dan papa menemukan mama.
“Sekarang potong kue.” Kata mama yang sudah mengusap air mata
kebahagiaannnya.
“Kue lilin.” Kata papa.
“Yang dimakan bagian yang tidak kena lilin.” Kata mama. Mereka
terus berbicara dan bercanda, sedangkan aku hanya menonton. Pemandangan inilah
yang terindah dari yang pernah ada.
Papa dan mama adalah pasangan teromantis yang pernah aku lihat.
Jika mereka berdua berada di rumah dan kondisinya seperti ini, aku seperti
sedang menonton film drama romantis. Walaupun umur mereka sudah di atas tujuh
puluh tahun, mereka masih begitu muda. Bukan fisik saja yang terlihat muda,
tapi juga kebersamaan mereka berdua yang terkadang seperti sedang berpacaran.
Mereka juga selalu lupa dengan umur mereka sekarang, itulah yang membuat
semakin romantisnya mereka.
Banyak urusan yang mereka miliki dan aku juga tidak berhak
mengetahuinya dan mencampurinya. Bagiku tidak masalah, setidaknya mereka masih
tampak pasangan teromantis yang pernah ada.
Pernah pada suatu ketika, makan malam seperti biasanya. Papa
sepulang kerja langsung mandi dan bergabung di meja makan. Aku dan Kak Leo
sudah menunggu makanan yang lezat buatan mama. Saat makan malam berlangsung,
papa dan mama seperti sedang melakukan kontak rahasia. Aku tidak mengerti sama
sekali. Papa waktu itu tersedak, itu hal yang tidak biasa. Lalu mama tersenyum
menahan tawanya sambil minum. Kemudian mejanya sedikit bergetar, aku yakin ada
kaki-kaki jail di bawah sana. Tapi Kak Leo langsung memberitahuku untuk
mengabaikan itu dan tidak mendeteksi apapun. Itulah yang disebut urusan orang
tua? Aku masih tidak mengerti sampai sekarang. Kini, mereka seperti itu setelah
aku membagikan kue ulang tahunku. Mereka melakukan kontak rahasia lagi.
“Pa, Ma, waktunya hadiah.” Kataku untuk menghentikan kontak rahasia
mereka.
“Benar, hadiah.” Kata mama, arahnya kepada papaku dan menggoda.
“Hadiah.” Papa mengganti arah kepadaku dan tersenyum. Mungkin papa
sadar kalau aku merasa diabaikan atau jangan-jangan...
“Buka hadiah dari kakak-kakakmu dulu—“ kata papa sambil mengangkat
semua kotak kado besar ke depanku.
“Tidak. Kelly mau hadiah dari Papa dulu.” Kataku.
“Ya, dari papa dulu.” Timpal mama sambil mengambil piring kotorku
dan mengumpulkannya. Mama pergi ke dapur.
“Kelly,” papa berbisik.
“Mana?” tanganku sudah siap menerima sebuah kunci mobil.
“Kamu jangan bilang mama ya. Ini rahasia.” Bisik papa.
“Apa?”
“Papa sudah siapkan hadiah untukmu. Itu ada di garasi mobil di
paling ujung.”
“Bukannya itu tempat koleksi mobilnya paman?” tanyaku. Suaraku
terlalu keras.
“Sstt... papa sudah mengurusnya. Nanti pagi atau siang kau bisa
melihatnya sendiri dan kuncinya ada di dalam laci meja di kamarmu.” Bisik papa.
Aku langsung bangkit dan berlari ke kamarku tapi papa memegangi
tanganku dan menyuruhku duduk.
“Nanti saja. Ini rahasia.” Bisiknya sambil kedua matanya mengarah
ke dapur.
“Oke.” Aku menutup sebelah mataku.
“Sekarang buka hadian dari kakak-kakakmu.” Kata papa.
Aku melakukannya dengan persatu-satu. Hadiahnya memang sangat
bagus, tapi sedikit mengecewakan. Mama datang setelah aku membuka kado terakhir
yang ternyata dari Kak Kevin.
“Bagaimana?” tanya mama.
“Ini semuanya beli online.” Cibirku.
“Benarkah?” papa dan mama bertanya berbarengan. Mereka sepertinya
tampak khawatir.
“Tapi semuanya bagus. Kelly suka kok.” Kataku. Bukan demi
menenangkan kedua orang tuaku, tapi juga menghargai kerja keras dari
kakak-kakakku. Aku mengerti sesibuk apa mereka sampai tidak sempat berbelanja
ke mall atau mana saja. Tapi, online adalah jalan yang sering kulakukan jika
aku ingin berbelanja. Dan barang-barang yang dihadiahkan untukku juga
mahal-mahal.
“Syukurlah. Semua kakakmu pasti sangat senang mendengarnya.
Semuanya khawatir akan hal itu.” Kata mama. “Kini gantian mama yang akan
memberikanmu hadiah.” Dengan semangat, mama berlari ke dalam kamar. Aku dan
papa saling tatap tidak mengerti. Oh, papa sepertinya juga tidak mengerti
apa-apa.
Mama kemudian tiba dengan membawa sesuatu di balik tubuhnya. Bukan
sesuatu yang besar, hanya beberapa lembar berkas. Apa isinya?
“Mama sudah mendaftarkanmu di universitas di Amerika, banyak
sebenarnya. Kau bisa memilihnya sesuai keinginanmu dan oh, jika kau memilih di
sini kau bisa tinggal di rumah pamanmu sampai kau selesai. Setelah itu kau bisa
magang di perusahaan paman.” Terang mama sambil meletakan berkas-berkas di atas
meja dan menatanya agar aku bisa melihat semuanya. Semuanya itu adalah
universitas bagus di Amerika. Ngomong-ngomong, mengapa harus di Amerika?
“Kelly belum lulus SMA.” Kataku.
“Mama tahu, tapi kau sudah menyelesaikan Ujian Nasionalmu. Dan mama
sudah mengumpulkan nilai rapormu selama lima semester dan mengirimkannya ke
sini semuanya.” Mama menunjuk berkas-berkas. “Dan kebanyakan langsung mau
menerimamu, tapi kamu harus wawancara ke sana setelah pengumuman kelulusanmu.”
Terus mama.
Aku mulai melihat satu per satu berkas-berkas itu. Hm...
universitas yang menggiurkan. Tetapi aku memiliki masalah. Jika aku sampaikan,
papa dan mama pasti akan bertengkar. Aku tidak ingin hal itu terjadi tapi aku
bisa kewalahan dan mengecewakan papa. Yang terbaik untuk sekarang hanyalah jujur
kepada mama.
“Ma, Kelly sepertinya tidak mau kuliah. Kelly ingin langsung terjun
membantu papa mengurus perusahaan saham keluarga.” Kataku.
“Apa? Saham?” mama terkejut, kemudian menatap papa yang membeku.
Papa tidak bisa berbuat apa-apa.
Papa adalah seorang CEO perusahaan saham terbesar di dunia. Papa
sungguh beruntung karena mendapatkan warisan dari keluarganya, khususnya kakak
laki-lakinya yang sudah meninggal. Tapi seberuntung itukan papaku? Tidak.
Selama ini papa selalu memintaku untuk bekerja bersamanya setelah lulus SMA
nanti. Jawabanku selalu saja tidak karena aku ingin sekali kuliah dan menjadi
ilmuan. Tetapi, tidak kusangka pada suatu saat papa memintaku sambil memohon.
Ini bukan demi dirinya, tapi seluruh keluarga besar yang papa pimpin dan lindungi.
Sebab, hanya akulah pewaris tunggal dari perusahaan saham.
Aku memang memiliki tiga kakak yang semuanya sudah bisa bekerja
sendiri. Tapi mereka tidak sah sebagai pewaris. Masalah ini adalah masalah lalu
yang seharusnya terselesaikan, tetapi ternyata belum. Papaku dari keluarga
Riicon yang memiliki aturan aneh, sedangkan mama dari keluarga Bryant yang
memiliki perusahaan besar juga dan bekerja sama dengan perusahaan saham Riicon.
Saat ketiga kakakku lahir, mama dan papa belum menikah secara hukum. Maka
ketiga kakakku memiliki nama belakang yang berbeda dan bukan Riicon. Oleh sebab
itu mereka tidak bisa menjadi pewaris perusahaan. Hanya aku dari empat
bersaudara yang memiliki nama Riicon di belakang. Dan beban diberikan kepadaku.
Sebelum papa dan mama memperdebatkan lebih lanjut di hari ulang
tahunku ini, aku angkat bicara.
“Ma, Pa, Kelly sudah putuskan untuk membantu Papa. Kelly meng—“
“Tidak.” Papa yang memotong. “Maafkan papa, Kelly, karena terlalu
memaksamu. Jika kau menginginkan kuliah, papa tidak masalah dengan itu. Dan kau
bisa bekerja di perusahaan Bryant.” Kata papa dengan mengalah. Mengapa
tiba-tiba?
“Kau belum membicarakan ini denganku, Calvin.” Kata mama kepada
papa.
Papa hanya menatap mama, dengan kekuatan telepati (sebenarnya tidak
ada, tapi mereka sering melakukan kontak aneh itu) mereka langsung menghentikan
ini.
“Tapi Kelly sudah bulat.” Kataku.
“Kelly, jalanmu masih panjang. Lagipula, Kevin bisa kumintai
tolong.” Kata papa.
“Tapi Kak Kevin tidak boleh, bukan?”
“Memang, tapi dia memiliki darah Riicon, Sayang. Kau jangan terlalu
memikirkan tentang perusahaan papa, coba kamu pertimbangkan hadiah dari mama
kamu.”
“Kelly sudah berpikir untuk membantu papa.”
“Kelly, papa benar.” Kini mama yang berkata. Benar, aku tidak
mengerti kontak aneh antara mereka.
“Jadi Kelly boleh memilih?” tanyaku akhirnya.
Papa dan mama mengangguk berbarengan.
“Well, Kelly sudah putuskan ini sejak Kelly masih kecil jika papa
tidak merengek-rengek. Kelly memang ingin kuliah dimana saja itu dan menjadi
seorang ilmuan yang bekerja untuk perusahaan Bryant. Selain itu, Kelly adalah
keturunan yang dilahirkan, Kelly berhak menjadi agen utama untuk organisasi.
Itulah yang Kelly rencanakan.” Kataku yang membuat papa dan mama menjadi gelap.
Sial, mereka begitu menakutkan. Bukan karena mereka akan memarahiku, tapi
tanggapan mereka...
“Tapi, papa merengek.” Aku mengganti topik sesegera mungkin. “Ini
membuat Kelly menjadi bingung. Jika memang kalian meminta Kelly untuk
menjalankan rencana Kelly, Kelly hanya meminta satu permintaan.”
Aku menarik nafasku dalam-dalam. Kuharap ini tidak berlebihan bagi
mereka.
“Kelly minta seorang adik. Jika adik Kelly seorang laki-laki,
bukannya bagus dan menjadi pewaris selanjutnya yang lebih bagus? Dengan begitu,
Kelly tidak akan bingung lagi.”
“Adik?” tanya mama. Moodnya sedang naik.
“Tidak.” Itu papa, masih gelap dan menakutkan.
“Calvin, Kelly minta adik.” Mama sedikit merengek. Jujur saja, aku
sering mendengar saat mereka sedang berpacaran di atap, mama sering merengek
minta anak lagi.
“Tidak, Al.” Suara papa sudah sangat tegas. Itu sudah tidak bisa
diganggu gugat lagi.
Lagi-lagi kontak yang tidak kumengerti terjadi di antara mereka.
Pada akhirnya, mama cemberut sedikit manja kepada papa. Tapi papa mencoba
mengabaikannya dan berkata kepadaku.
“Kelly, papa tahu apa yang akan papa lakukan pada perusahaan.
Bukannya papa sudah bilang kalau papa akan meminta Kevin?”
“Tapi Pa—“
“Sudah. Kamu jangan pikirkan hal ini.”—papa menatapku dan membelai
kepalaku, kedua mataku menatap langsung kedua mata papa—“Sekarang kamu bisa
istirahat lalu memikirkan universitas mana yang akan kamu pilih.”
Ini sugesti! Aku menyadarinya tapi aku tidak memberontak. Masih
begitu sulit untuk melawannya. Aku tidak berniat untuk menjadi anak yang
durhaka, tapi ini patut untuk diperdebatkan sekarang. Oh, mungkin ini waktunya
urusan orang tua. Kuharap jangan di hari ini, hari ulang tahunku. Aku ingin
mengisi hari ini dengan pesta yang meriah dengan keluargaku.
Aku menyadari, sehingga aku membuka kedua mataku. Apakah ini selalu
terjadi kepadaku? Tidak, baru kali ini. Aku masih bingung dengan apa yang
terjadi tadi pagi, tapi aku masih ingat apa yang terjadi. Intinya, sugesti itu
lepas setelah aku membuka kedua mataku.
Sekarang sudah jam delapan pagi. Suasananya sepi. Mungkin papa dan
mama sudah berada di ruang kerja mereka. Tapi aku menemukan sebuah pesan yang
ditempelkan di kulkas. Ini tulisan mama yang rapi dan bagus.
Dear Kelly,
Maafkan kami, Sayang. Kami harus pergi
jam empat pagi ke Jerman. Ini urusan pekerjaan di organisasi. Kaleo akan segera
kembali dan tunggulah sebentar. Jangan keluar sebelum dia kembali.
Love,
Mama dan Papa
Misi dadakan? Kuharap begitu. Jika aku tahu bahwa mereka sudah
merencanakan ini, aku sungguh kesal. Di hari ulang tahunku, orang tuaku pergi.
Itu adalah hal terburuk yang pernah aku alami.
Aku membuang pesan itu dengan sembarangan lalu mengambil sekarton
susu di dalam kulkas. Aku minum langsung dari karton itu sampai habis. Mama
tidak akan memarahiku, sebab mama akan pulang beberapa hari ke depan. Dan pada
waktu itu, persediaan susuku memang sudah habis.
Kemudian aku menggoreng telur. Aku memang tidak pandai memasak,
tapi menggoreng adalah hal yang mudah. Setelah itu aku sarapan sendirian di
dalam rumah. Tidak ada siapa-siapa, aku sering mengalami hal ini. Tapi di hari
ulang tahunku, papa dan mama selalu ada. Aku selalu ingat di hari ulang tahunku
mama selalu membuatkan sarapan favoritku, makan siang favoritku, dan makan
malam favoritku. Lalu papa juga ada untukku. Papa bisa menjadi guruku dalam
pelajaran, guru dalam latihan kemiliteran, guru dalam latihan pedangku, dokter
pribadiku, dan tentu saja sebagai seorang ayah untukku. Papa adalah segalanya
dan mama selalu mendukung. Tetapi sekarang...
Aku sendirian, itu menyebalkan. Entah kapan Kak Leo sampai di
rumah. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang menyenangkan. Dan aku tahu dimana
itu.
Beruntung sekali papa mau memberikanku sebuah mobil. Sesuai dengan
perkataannya, kuncinya ada di laci meja samping tempat tidurku. Kunci ini
ditempeli dengan pita jepang berwarna merah dan juga kartu ucapan. Pada zaman
sekarang, tulisan tangan memang jarang sehingga di kartu ucapan itu tertulis
dengan tinta hasil cetak.
Dear Kelly,
Selamat ulang
tahun, Sayang. Papa berharap kamu suka hadiahnya dan... jangan beritahu mama.
Jika kau ingin menggunakannya sekarang, papa mohon kembalikan ke tempatnya.
Love,
Papa
Masih misteri mengapa papa menyembunyikan ini dari mama. Masa
bodoh, yang penting aku bisa pergi sekarang.
Setelah mandi dan berkemas beberapa keperluan, aku langsung
menuruni tangga. Aku menuruni sikap papa dan mama yang tidak suka naik lift
karena dianggap lama. Tapi papa lebih suka langsung turun melompat dari beranda
kamar ataupun beranda ruang kerjanya. Padahal rumah kami berada di lantai dua.
Sempat aku khawatir dengan kondisi papa, tapi yang kudapat hanyalah senyuman.
Ketahuilah, keluargaku itu sedikit aneh.
Setelah menuruni tangga, aku bertemu seseorang. Sial, dia adalah
bawahan dari mamaku.
“Selamat pagi, Ms. Riicon.” Sapanya dengan ramah.
“Selamat pagi,” balasku dan tersenyum.
“Sepertinya Anda ingin pergi. Mr. Bryant belum kembali.” Katanya.
“Aku tahu, tapi aku ingin ke ruang bawah tanah. Papa menyuruhku ke
sana.” Kataku.
“Saya tidak tahu itu.” Kedua alisnya bertaut. Dia curiga
terhadapku.
“Sebab kau bekerja di bawah mamaku, walaupun papaku yang
kedudukannya tertinggi. Dia lebih suka menyuruh mama atau bawahannya langsung
daripada kamu.” Kataku lalu mencoba untuk melewatinya. Tapi dia tetap
menghalangiku. Sial, ada apa dengan orang ini?
“Saya akan menemani Anda ke ruang basement.” Katanya.
“Oh ya, kurasa aku juga memerlukan orang untuk menemaniku.” Kataku.
Lalu kami berjalan bersama melewati koridor sampai ke resepsionis
kamar pegawai. Seorang wanita resepsionis yang cantik selalu duduk di sana dan
selalu berdiri saat aku melewatinya.
“Selamat pagi, Ms. Riicon.” Sapanya dengan ramah.
“Tunggu dulu,” bisikku kepada Thomas dan aku ke resepsionis. “Bisa
tolong hubungi semua guruku yang mengajar hari ini, kalau hari ini aku sedang
tidak ingin belajar. Biarkan mereka mengomel sesuka mereka, tapi aku tetap
tidak ingin belajar.” Kataku sedikit berbisik kepada resepsionis.
“Tapi mengapa? Apakah sudah ada persetujuan dari Mr. Dan Mrs.
Riicon?” dia menyangkut pautkan nama kedua orang tuaku.
“Ya, mereka sedang pergi misi. Dan aku disuruh untuk pergi ke
tempat Kak Leo berada.” Kataku dengan berbisik dan berharap Thomas tidak
mendengarkan.
“Baiklah, saya akan menghubungi mereka.” Kata resepsionis.
“Terima kasih.” Kataku lalu aku berjalan ke basement. Kali ini aku
menuruni lift.
Sesuai petunjuk papa, aku ke garasi yang isinya banyak sekali
koleksi mobil. Kebanyakan adalah koleksi mobil Paman Denico yang tersimpan di
sini. Kata papa, mobil-mobil ini akan dipindah tapi sepertinya belum sempat.
Banyak yang harus dilakukan daripada memindah mobil yang masih kinclong itu.
Dan di sana terdapat sebuah mobil yang tertutupi oleh kain hitam. Itulah
kadoku.
“Kau tahu, ini adalah hari ulang tahunku.” Kataku kepada Thomas.
Dia pasti bingung.
“Oh, saya tidak tahu. Selamat ulang tahun, Ms. Riicon.” Katanya.
“Terima kasih. Dan lihat, papa memberikanku sebuah mobil.”
“Apakah Anda berencana untuk pergi menggunakan mobil itu.”
“Tidak. Aku harus menunggu kakakku untuk pergi. Aku hanya ingin
mencobanya.”
“Anda bisa mengendarai mobil?”
“Jangan remehkan aku.” Aku berjalan mendekati mobilku.
Dengan semangat, aku menarik kain yang menutupi mobil dengan kuat.
Dan wow! Inilah mobil yang diberikan papa sebagai kado ulang tahunku. Melihat
bentuk, jenis, dan modelnya, aku menjadi mengerti mengapa papa menyuruhku untuk
diam.
Mobil ini bisa dibilang keluaran terbaru dari pabriknya. Ada
penambahan khusus pada mesin dan sistem. Mobil ini juga bisa menahan beban
lebih dari seratus ton. Modelnya adalah mobil sport. Lalu harganya masih sangat
terbilang mahal. Namanya juga keluaran baru dan inovasi baru, orang terkaya di
dunia harus mengredit jika ingin membelinya. Aku yakin uang papa yang didapat
selama satu bulan tidak cukup membelinya langsung cash. Tapi papa sejak
dulu adalah seorang agen utama yang jika tidak ada misi hanya tiduran di rumah—rumah
ini. Uangnya yang terkumpul selama hampir tiga dekade pasti digunakan untuk
membeli mobil ini. Aku sungguh beruntung.
“Well,” aku sangat senang dan hendak melampiaskannya. Thomas yang
melihatnya menjadi bengong tidak percaya. “Aku ingin mencobanya.” Kataku.
“Tolong berhati-hatilah, Anda tahu—“
“Ya, aku tahu. Kecelakaan mobil tidak akan membunuhku.” Kataku
sedikit kasar. Aku membenci orang yang lebih mementingkan benda daripada nyawa.
Aku masuk ke dalam mobil dan meletakan tasku di sampingku. Pintu
garasi mulai terbuka secara perlahan-lahan dan aku menghidupkan mesin mobil.
Setelah itu aku mulai menancapkan gas dengan cepat. Kecepatannya dalam tiga
detik sudah bisa mencapai sembilan puluh kilometer per jam. Wow, ini sungguh
luar biasa!
Di sekitar rumah terdapat padang rumput yang luas dan cocok untuk
mengendarai mobil ini. Dan sepertinya aku sudah berhasil keluar dari zona
pengawasan. Maka aku mengambil kesempatan ini untuk pergi dari lingkungan
perhutanan Riicon.
Tujuanku adalah pelabuhan kecil di Kalimantan Selatan. Di sana, aku
membeli tiket kapal laut jurusan Nusa Tenggara Timur. Tidak lupa mobil baruku
kubawa masuk ke dalam kapal. Setelah menaiki kapal dan sampai di sebuah pulau,
aku mulai masuk ke dalam sebuah rumah. Di sana ada seorang penjaga yang
mengenalku dan memberikanku sebuah kunci kapal motor. Dan penjaga itu kuberikan
mobilku untuk dijaga, sedangkan aku akan ke sebuah pulau kecil yang pernah
dibeli papa untuk liburan keluarga.
Terdapat dua pulau yang bisa aku tinggali. Pertama adalah pulau
milik Kakek Bryant. Selama ini kakek masih tinggal di sana dengan beberapa
pelayan rumah. Bibi juga tinggal di sana untuk menemani kakek. Tapi aku tidak
sedang ingin ke sana walaupun pintu terbuka lebar untukku, aku ingin ke tempat
dimana aku bisa menikmati masa kebebasanku.
Seseorang menyambutku saat aku sudah sampai dan memarkirkan kapal
motor di dek. Dia adalah penjaga pulau yang disewa papa. Tentu saja dia juga
sudah dipanggil dari rumah tadi kalau aku berkunjung.
“Selamat datang, Non.” Logat Bahasa Indonesianya sangat kental.
“Apakah suasana di sini bagus?” tanyaku.
“Sangat bagus. Anda bisa bermain di pantai atau bahkan berjemur.”
Katanya.
“Bisa kau persiapkan tenda dan kursi? Aku ingin berjemur.” Kataku.
“Baik, Non.”
Selain penjaga wanita yang ramah itu, terdapat tukang kebun yang
menjaga tumbuhan-tumbuhan di pulau ini tetap asri. Dia selalu berkeliling dan
jarang berada di rumah. Sedangkan penjaga wanita itu adalah yang membersihkan
rumah dan sebagainya. Dia sedang menyiapkan tenda dan kursi, aku menyusulnya
sambil membawa minuman dingin.
“Silahkan.” Katanya.
“Terima kasih.”
“Anda ingin saya oleskan tabir surya?”
“Tidak, aku sudah memakainya tadi. Terima kasih.”
“Kalau begitu, saya akan memasak untuk makan malam. Permisi.”
Dia akhirnya pergi. Dengan begitu aku melepaskan kait bikiniku dan
mulai berjemur.
Sinar matahari cukup terik dan membuatku basah. Keringatku sudah
banyak yang keluar, tapi aku bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Aku
jadi tidak sabar ingin melihat reaksi mama ataupun papa karena anaknya semakin
hitam.
Tiba-tiba kurasakan sesuatu. Aku buka kedua mataku dan segera
menyingkir. Pantatku terasa sangat sakit karena menjadi tumpuanku jatuh di atas
pasir. Tapi apa yang terjadi?
Aku menengok ke arah belakang—dimana aku merasakan sesuatu di sana.
Terdapat seseorang dengan sebuah pisau dapur yang sudah siap untuk menusuk
tubuhku. Aku beruntung berlatih sejak kecil sehingga pergerakanku tadi seperti
reflek. Dan sekarang waktunya untuk lari.
Eh? Mengapa aku harus lari? Itu pertanyaan yang tiba-tiba saja
menimpa kepalaku. Well, aku bisa melawan. Tapi kurasa tidak perlu. Sebab
aku tidak bersenjata. Sedangkan dia, dia membawa pistol! Gila, siapa dia
sebenarnya?
Satu tembakan meluncur. Peluru itu terlalu cepat sampai aku tidak
bisa merasakan arahnya. Tapi kakiku yang kugunakan untuk berlari, tidak sengaja
menyandung sebuah bongkah kayu di pasir dan aku jatuh. Kayu ini telah
menyelamatkanku dari tembakan pertama, keberuntungan yang besar.
Aku bangkit berdiri dan mencoba untuk berlari, tapi aku urungkan
karena aku melihat orang itu berdiri sambil menodongkan pistolnya tepat di
kepalaku. Ini belum terlambat untuk melarikan diri, bukan? Atau memang sudah
terlambat? Aku bingung. Aku belum pernah terjun ke lapangan secara langsung
selama ini. Kalau dipikir-pikir, papa melatihku dengan latihan yang ringan.
Tidak sampai seperti ini. Rasanya aku ingin menangis.
“Hei!” sebuah suara mengejutkanku. Oh, itu Kak Leo! Dia datang dan
berdiri di belakang orang berpistol itu. Saat orang berpistol itu menengok, Kak
Leo langsung memutar kepala orang itu sampai aku bisa mendengar retakan tulang.
Itu menjijikan.
Orang itu jatuh di kakiku. Aku menjauh karena dia menyentuhku.
“Benarkan bikinimu.” Kata Kak Leo. Aku baru sadar dan wajahku
memerah. Sial, aku lupa kalau aku tadi melepaskan kait bikiniku. Pasti dia
melihatnya. Aduh! Tidak, tidak!
“Lakukan bukan melamun.” Dia berkata lagi.
“Mesum!” aku melemparinya dengan sebuah batang kayu yang telah
menyelamatkanku.
“Terserah kau mau bilang apa. Itu masih kelihatan.”
“Jangan dilihat!”
“Makanya dipakai.”
“Jangan lihat!”
Kak Leo menghela nafasnya dan segera memutar tubuhnya seratus
delapan puluh derajat. Mengambil kesempatan itu, aku mengaitkan kembali bikini
sehingga dadaku tidak terlihat lagi. Sialan, mengapa harus kakak laki-lakiku
yang melihat ini? Tapi orang itu tadi... dia juga melihatnya. Aduh, harga
diriku sudah luntur.
“Kelly, mom ingin bicara denganmu.” Kata Kak Leo lagi.
“Mama?”
“Mom ingin bicara denganmu sekarang juga.” Dia berputar dan
menatapku.
“Ma-mama di sini?” sial, aku tergagap.
“Tidak. Mom masih di Jerman. Jika kamu nekat pergi lagi, mom dan
dad pasti akan yang menjemputmu langsung.”
Kak Leo terlihat dingin. Dia marah, benar, dia sedang marah
kepadaku. Aku menjadi ingin bersembunyi saja. Semuanya terlihat sangat
menakutkan jika semuanya sedang marah.
“Ini.” Kak Leo mengulurkanku sebuah ponsel yang sudah terhubung
dengan panggilan. Ada tulisan ‘Mom’ di dalamnya. Aku harus menghadapi bentakan
mama.
“Halo.” Suaraku pelan sekali. Kuharap mama bisa mendengarnya.
“Halo! Kelly? Suaramu pelan, mama tidak bisa mendengarnya.” Itu
suara mama yang khawatir.
“Iya, ini Kelly, Ma.”
“Syukurlah. Kamu tidak apa-apa kan? Mama sangat khawatir setelah
mendengar kamu pergi sendirian.”
“Ma, Kelly baik-baik saja. Ada Kak Leo.” Kataku. Aku menjadi merasa
bersalah.
“Kau harus menurutinya dan mengikutinya untuk sekarang. Oh Kelly,
kalau saja kakakmu tidak menyadari kepergianmu, papamu pasti sudah langsung
berenang ke sana. Kau tahu papamu sedang sangat sibuk, apalagi ada rapat
penting saat mendengar kamu pergi. Seharusnya kamu jangan pergi sendiri, mama
sudah bilang untuk menunggu kakakmu. Mama tahu kamu sudah bebas sekarang, tapi
tolong”—mama memohon—“ini bukan demi apapun kecuali keselamatanmu, Sayang. Papa
dan mama sangat menyayangimu, tolong jangan nekat pergi sendiri.”
“Ma, mengapa Kelly dikejar?” tanyaku.
“Oh Sayang, itu sedikit rumit untuk diceritakan. Mama akan
menceritakannya kepadamu nanti jika kita sudah bertemu, oke.”
“Papa?”
“Papamu sekarang sudah bisa tenang karena kakakmu sudah bersamamu.
Ini sebenarnya masalah perusahaan yang secara tidak sengaja melibatkanmu. Mama
akan menceritakannya nanti, waktunya sudah habis.”
“Ma, tunggu... Ma?” benar waktunya sudah habis. Komunikasi lewat
jalur satelit itu terbatas, mengapa harus menggunakannya sih?
“Waktunya sudah habis.” Kata Kak Leo sambil mengambil ponselnya
dari tanganku.
“Mengapa harus memakainya?”
Kak Leo mendesah. “Kau ingin menjadi agen utama, bukan? Jika ingin
berkomunikasi harus secara singkat dengan waktu tertentu. Kita memiliki satelit
untuk berkomunikasi secara bebas tapi terbatas. Jika menggunakan kartu SIM,
mereka bisa melacak. Terlebih nyawamu sedang terancam. Kita harus pergi dari
sini sekarang.”
“Pergi ke Jerman?”
“Tidak. Itu terlalu jauh. Di dalam perjalanan aku tidak bisa
sepenuhnya melindungimu. Transportasi akhir-akhir ini mengerikan.” Katanya.
“Pulang?”
“Tidak. Itu beresiko jika mereka sudah mempersiapkan diri di sana.
Kata mom di sana banyak pohon yang mudah terbakar.”
Apa hubungannya?
“Ke tempat kakek?” tanyaku sambil melirik ke pulau sebelah.
“Bibi tidak ada di sana dan kita tidak boleh datang ke sana dan
membawa bencana.” Suaranya tegas.
“Lalu kemana?”
“Ke Jawa.”
“Tunggu, mengapa ke sana?”
“Tempat yang tidak diduga, kan? Kau tidak punya hubungan di sana,
tapi aku punya. Mom menyetujuinya jika aku membawamu ke sana. Mom akan
menjemput kita dua hari ke depan.” Kak Leo menyeringai, itu mencurigakan.
“Sekarang kemasi barangmu, kita pergi sore ini juga.”
Aku harus menaatinya. Itu sungguh memaksa dan aku tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Mama tidak marah kepadaku tapi sangat khawatir. Sungguh
tidak menyenangkan. Apalagi papa. Itu mengerikan, sangat. Tidak bisa
kubayangkan diriku saat berhadapan dengan papa setelah ini.
Terpaksa aku meninggalkan makan malam yang sedang disiapkan
untukku. Untuk meminta maaf, aku datang ke dapur untuk mengatakannya. Tetapi
yang aku lihat adalah darah berceceran dimana-mana. Aku berteriak secara
sepontan karena sangat terkejut. Tubuhku lemas dan ambruk. Pantatku lagi-lagi
merasa sakit.
“Kelly?!” Kak Leo datang dari belakang tubuhku. Dia menarik tubuhku
untuk berdiri.
“Mengapa?” suaraku sangat lemah.
“Mom dan dad sedang mengurus ini. Kita hanya harus pergi dari
sini.” Katanya.
“Mereka tidak ada hubungannya.” Kataku sambil menangis.
“Kelly, tempat ini tidak aman. Kita harus segera pergi dari sini.”
“Kak, mengapa?” aku menahan tubuhku dan meminta penjelasan. Aku
tidak peduli lagi dengan bahaya yang sedang mengancam. Aku hanya ingin jawaban
mengapa orang-orang yang tidak urusannya denganku bisa sampai seperti ini.
“Kelly, kita adalah bahaya dunia. Dunia luar terlalu berat untukmu
yang belum matang.” Itu teka-teki yang membuatku kesal.
“Sekarang kita harus pergi dari sini, aku tidak ingin ketinggalan
pesawat nantinya.” Kak Leo menarik tanganku keluar.
“Mama bilang, urusan perusahaan.”
“Mungkin ada sangkut pautnya dengan itu. Akan kuceritakan nanti
jika sudah aman.”
Aku menurutinya, seperti kata mama. Di dek, terdapat empat kapal
motor. Aku membawa satu dan kakakku pasti juga. Lalu yang dua? Sial, pasti
tidak satu orang.
Karena ketakutan, aku mencengkeram lengan kakakku. Dia merasakannya
dan mulai berjalan lebih cepat. Dia menarik salah satu kapal motor dan
menyuruhku untuk naik terlebih dulu. Kemudian dia menyusulku dan meninggalkan
pulau ini.
“Ada berapa?” tanyaku. Wajahku sudah kubenamkan di punggungnya.
“Empat orang.” Jawabnya.
“Dimana mereka?”
“Sudah mati.”
Ah, pasti sudah dibunuhnya.
“Apakah masih ada lagi?” itu pertanyaan bodoh.
“Tentu saja.” Suaranya lemah. Ini menjadi lebih menakutkan. Aku
memeluk tubuh kakakku lebih erat lagi.
Sampai di pulau dimana aku menitipkan mobilku, Kak Leo menarikku
langsung menemui seseorang. Dia adalah seorang laki-laki berjas hitam dan
berkaca mata hitam. Mencurigakan.
“Kelly, jangan jauh-jauh dariku.” Kata Kak Leo.
“Tapi aku harus mengambil mobilku.” Kataku.
“Mobil? Benda itu sudah hancur.” Kak Leo mengatakannya dengan
dingin.
“Apa? Bagaimana? Aku ingin melihatnya langsung.” Aku melangkahkan
kakiku tapi kakakku memegangi lenganku. Aku mengelak.
“Kelly, itu hanyalah mobil. Mungkin benda itu sudah tidak aman
sekarang.”
“Kak, itu hadiah dari papa. Itu baru saja.”
“Nyawamu itu lebih berharga daripada mobil. Dad juga tidak akan
keberatan akan itu.”
“Itu namanya tidak menghargai kerja keras orang tua!” Aku sedikit
membentaknya.
“Kelly! Apakah kau ingin dad langsung turun tangan kemari?” Kak Leo
gantian membentakku. Jika papa sampai turun tangan karena aku sedikit mengeyel,
itu akan menjadi masalah yang besar.
“Sekarang ikut aku.” Melihat aku sudah mulai mengalah—aku belum
kalah—Kak Leo menarikku ke orang berjas hitam itu.
Kakak sepertinya sudah mengenal orang itu. Dilihat dari
percakapannya yang hangat di antara mereka berdua. Lalu kakak membawaku masuk
ke dalam sebuah mobil yang katanya akan mengantarkan kami ke bandara. Katanya
transportasi itu mengerikan.
Aku ternyata salah setelah melihat sendiri bagaimana pesawatnya.
Itu pesawat pribadi, tapi bukan dari perusahaan papa. Aku tahu itu adalah
pesawat dari perusahaan lain yang kudengar milik papa angkat Kak Leo. Kubocorkan
sedikit bahwa hubungan papa dengan Kak Leo kurang baik. Alasannya cukup panjang
dan terjadi jauh sebelum aku lahir. Tapi Kak Leo selalu berkata tidak apa-apa
selama mama baik-baik saja bersama papa. Dalam pikiranku, kakak sangat sayang
kepada mama dan tidak menginginkan mama sedih karena papa lagi. Mungkin Kak Leo
akan membunuh papa jika itu terjadi. Hubungan mereka itu sangat sulit.
Itu urusan mereka, bukan berarti aku tidak peduli, tapi aku kasihan
juga. Kak Leo selalu menerima apapun dengan sedikit berat hati. Tapi dia
bukanlah orang yang keras kepala. Kak Leo selalu memikirkan perasaan orang
lain. Menurutku itu karena sejak kecil dia selalu memikirkan perasaan mama yang
kesepian.
Kak Leo itu orangnya baik. Nyatanya dia mau menerima keberadaanku
yang tiba-tiba saja muncul. Dan dia juga sayang kepadaku. Itu bisa dilihat
keseharian kami di rumah saat belajar bersama. Walaupun dia menyebalkan kadang
karena sering menjailiku, dia adalah sosok kakak yang baik. Aku juga
menyayanginya.
Pesawat akhirnya mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Di bandara
internasional ini? Aku bingung. Oh ya, Kak Leo berkata bahwa kami akan ke Jawa.
Kemana tepatnya?
“Tidak kusangka Anda langsung menjemput kami kemari.” Kata Kak Leo
tiba-tiba setelah berlari dan menarikku menghampiri seorang laki-laki muda.
“Ini darurat, bukan?” laki-laki berkata dengan ramah kepada kakak.
Lalu dia menatapku.
“Apakah kau Kelly? Kau mirip dengan papamu.” Katanya.
“Kelly, dia adalah Jeremy Brown, teman mom.” Kata kakak mengenalkan
orang itu.
Jadi dia yang namanya Jeremy. Aku tidak begitu menyukai orang itu
walaupun baru mengenalnya, tapi aku sudah tahu bagaimana papa angkat Kak Leo.
“Paman, saya Kelly.” Kataku dengan sopan dan mengulurkan tangan.
“Oh, suaramu seperti suara ibumu. Memang seharusnya papamu tidak
menurunkan segalanya untukmu.” Katanya sambil menyalamiku. Dia tersenyum dan
menyukaiku.
“Banyak yang bilang seperti itu, tapi kami jelas berbeda.” Kataku.
“Ya, hanya beberapa saja.” Katanya.
“Pa, apakah mom meneleponmu?” tanya Kak Leo memotong.
“Ya, tidak lama. Akan kuceritakan nanti, masuklah ke dalam mobil.”
“Kelly, ayo.” Kak Leo menarikku lagi masuk ke dalam mobil.
Laki-laki bernama Jeremy Brown membawa mobil sendiri. Cukup aneh
untuk seorang CEO perusahaan telekomunikasi apalagi ke bandara. Dia seperti
seorang supir saja.
“Keamanan menjadi dua kali lebih diperketat.” Laki-laki itu mulai
angkat bicara.
“Hanya perusahaan keluarga?” tanya Kak Leo.
“Ya, mereka belum mengetahui yang sebenarnya. Bryant memang hebat
menyembunyikan segalanya.” Jawab Jeremy. Matanya melirikku lewat cermin dalam
mobil.
“Itu bagus, untuk sementara.”
“Tenanglah, Leo. Mike sudah mengatasi hal itu.” Nama pamanku
dibawa-bawa. Aku tidak mengerti.
“Apakah hanya itu?”
“Ini masalah perusahaan Riicon saja.”
“Dan Anda dengan senang hati membantu.”
“Permintaan dari seorang teman.”
“Anda seharusnya langsung menikahi mom daripada laki-laki itu.”
Pembicaraan ini mengarah ke masa lalu. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya cerita
cinta segitiga antara papa, mama, dan laki-laki itu. Tapi pembicaraan ini akan
menuntunku untuk mengetahuinya secara jelas.
“Kaleo, kau tahu sendiri—“
“Persetan dengan misi itu.” Kak Leo memotongnya. Baiklah, karena
ada aku cerita dibatalkan oleh mereka.
“Tapi setidaknya dia bahagia sekarang.” Kata Jeremy, dia tersenyum.
“Ya, mom memang bahagia sekarang. Tapi masih dicurigakan ke
depannya.”
“Kau harus banyak membaca, Leo.”
“Aku benci membaca.”
“Karena itu kau tidak mengerti.”
“Ah... kenyataan itulah yang aku lihat.”
“Kau salah paham.”
“Tidak, itu yang kupahami.”
“Jangan keras kepala.”
“Kak Leo memang keras kepala, seperti mama.” Selaku karena tidak
nyaman dengan perbincangan mereka. Aku tidak suka cara mereka mengobrol di
depanku apalagi tentang mama.
“Jangan ikut campur.” Kak Leo memperingatiku, seperti anak kecil.
Aku memandang keluar jendela mobil. Menyebalkan! Mereka
membicarakan mama lagi. Kalau papa tahu pasti sangat marah. Lagipula Jeremy
tidak pantas untuk mendampingi mamaku. Mama sangat cocok dengan papa.
Setelah beberapa menit berlangsung, aku merasa kembali ke rumahku
sendiri karena melewati hutan. Apakah semua pengusaha kaya selalu tinggal di
tengah hutan? Itu perlu dipertanyakan mengapa mereka tidak ingin berbaur dengan
orang. Atau ada sesuatu yang disembunyikan, seperti papa. Ternyata dunia itu
seperti ini.
Setelah pohon-pohon, aku melihat lapangan rumput yang luas. Itu
seperti... lapangan golf. Wow, luar biasa. Papa saja tidak memiliki
lapangan golf—kalaupun punya untuk apa? Aku bisa melihat danaunya dari
jalan ini. Airnya yang bening memantulkan cahaya senja. Dari barat matahari
menyinari pemandangan di depanku. Ini luar biasa indahnya seperti di rumah.
Lalu kemana tujuan sebenarnya?
Komentar
Posting Komentar