“Selamat
pagi, Al.” Sapa Calvin hangat menyambutku setelah aku keluar, menemukannya
berada di pinggir dan bersandar pada pagar besi.
Senyumannya
bersinar menghiasi, sungguh tampan, dan secerah matahari pagi yang bersinar
di... atas? Aku menyadarinya setelah angin meniup rambutku, lalu
menyingkirkannya, dan menengok. Matahari benar-benar berada di atas kepalaku
sekarang.
Keterkejutanku
ini mengubah suasana hatiku yang barusaja seperti damai. Bagaimana tidak? Ada
laki-laki tampan yang sangat aku cintai menyambutku. Mumpung matahari berada di
atas, aku ingin meleleh sekarang.
“Sepertinya
tidurmu sangat nyenyak.” Katanya saat aku berjalan mendekatinya. Aku berdiri di
sampingnya sambil memandang lautan.
“Apa yang
terjadi semalam?” tanyaku dengan datar. Walaupun dia sudah membuatku mencair
pagi ini, tujuanku tidak bisa luntur begitu saja.
“Kau mabuk.”
Jawabnya. Kudengar ada nada penyesalan.
“Aku tahu.
Selanjutnya?”
“Kau
marah-marah dan ingin menghancurkan segalanya yang kau lihat.”
Aku sedikit
terkejut mendengarnya. Wajar saja aku marah-marah di dalam kondisi tidak bisa
mengontrol tingkah laku setelah putraku meninggal. Tapi menghancurkan? Oh, aku
mulai mengerti mengapa aku seperti itu.
“Tidak ada
yang lain?” tanyaku lagi, terus mencoba untuk datar.
“Setelah kau
tenang, kau tertidur.”
Aku berputar
menatapnya. Dia serius.
“Tidak ada
yang terjadi setelah itu?” tanyaku, kelewat serius.
Calvin
menghela nafasnya dengan lembut dan tersenyum kepadaku. Lagi-lagi si sialan
itu...
“Tadi pagi
ada badai. Kau masih mendengkur, jadi tidak bisa merasakannya. Untungnya tidak
jatuh tadi. Dan...” kedua matanya mulai menatapku jail.
“Baiklah
kalau memang tidur. Tapi aku tidak pernah mendengkur saat tidur.” Aku memandang
lautan lagi, sungguh menyebalkan.
“Apa yang
kau harapkan, Mrs. Bryant?” dia bertanya.
“Apa
maksudmu?”
“Kau
berharap sesuatu terjadi saat kau mabuk, khususnya waktu kau tidur.” Katanya.
Nada
suaranya sungguh menyebalkan. Aku merona dan juga merasa sangat malu. Aku ini
wanita normal yang sedikit berbeda.
“Haha...”
dia tertawa dengan renyah, seperti semalam. Entah mengapa mendengarnya seperti
itu membuatku lebih baik.
“Aku hanya
bercanda.” Tangannya menyentuh kepalaku dan diusapnya dengan lembut. Tangannya
yang lain melingkar di pinggangku. Aku dipeluk!
“Itu tidak
lucu.” Cibirku.
“Aku tahu,
tapi wanita normal akan seperti itu, bukan?”
Apa dia
menggodaku?
“Tidak, aku
berharap tidak.” Kataku dengan nada yang bergetar. Sialan.
Tiba-tiba
aku merasakan sesuatu mendarat di atas kepalaku. Sesuatu yang lembut dan lama
sekali aku tidak merasakannya. Dunia ini seakan berhenti berputar, jantungku
yang makin menggila. Ombak kecil lautan menjadi beku, matahari tetap menyinari
dengan sinar yang hangat. Angin berhenti, tangan-tangannya yang mendekapku,
membuat hawa di sekitarku menjadi gerah. Sepertinya suhu tubuhku sedang naik
dengan drastis.
Tubuhku yang
menjadi lemas seketika, aku sandarkan ke tubuh Calvin yang ada di belakangku.
Kurasakan kepalanya masih terbenam di rambutku yang berantakan. Hangat, nyaman,
dan damai. Aku merasakan kedamaian ini, dia telah memberikannya kepadaku.
Terima
kasih...
“Kau berkata
sesuatu?”
“Oh,” pasti
aku bergumam tadi. Aku tidak menyadarinya. “Aku tidak bisa marah.” Kataku sambil
tersenyum karena tidak bisa menyembunyikannya lagi.
Calvin
menarik tubuhku dengan kedua tangannya yang memeluk pinggangku masuk lebih
dalam. Kusandarkan kepalaku di bahunya.
“Aku suka
melihatmu tersenyum. Dan tentang kemarahan, aku tidak keberatan. Kau pantas
marah kepadaku.” Bisiknya di telingaku dengan lembut tapi nada bersalahnya
tidak bisa disembunyikannya.
“Sepertinya
semalam aku benar-benar bisa melepaskan semuanya.” Kataku sambil memandangi
lautan yang menggoyang-goyangkan kapal ini. Walaupun angin terasa dingin
menyentuh kulitku, pelukan Calvin bisa menghangatkannya.
“Maafkan
aku.” Katanya berbisik di telingaku lagi. Dia menyesalinya.
“Aku bukan
psikolog yang mengerti tentang hal semacam mental orang. Selain memaksa, hanya
itu yang bisa aku lakukan.”
Anehnya, aku
ingin tertawa sekarang. Untungnya aku bisa menahannya walaupun hanya sebatas
senyuman. Aku yakin dia mengetahui itu dan merasa bingung.
“Kau minta
maaf kepadaku? Sudah berapa kali?” tanyaku.
“Entahlah.
Hanya itu satu-satunya cara untuk menebus kesalahanku padamu.” Jawabnya dengan
pelan.
“Calvin.”
Aku melepaskan diri lalu berputar. Aku menatapnya sambil mengalungkan kedua
tanganku di lehernya.
“Hanya kamu
yang aku punya sekarang. Walaupun sedih karena perbuatanmu, aku juga menjadi
lebih baik selama kau bersamaku.” Kataku dengan sangat lembut kepadanya.
Garis di
wajah Calvin terlihat. Reaksi apa itu? Terkejut, bingung, tidak percaya, sedih,
terpukul, dan bersalah menjadi satu. Mengapa dia begitu? Jarang juga dia
memunculkan reaksi seperti itu di hadapanku.
Mungkin ini
momen jujur sekarang.
“Hanya
meminta maaf yang bisa aku lakukan.” Katanya sambil menundukan kepalanya. Dahi
kami bertemu.
Kedua mata
Calvin tampak sedikit gelap, bukan karena kontras cahaya yang rendah, tapi karena
dia memang sedang gelap. Birunya yang bersinar itu makin memudar.
“Semuanya
salahmu.” Kataku dengan sengaja menyalahkannya.
“Aku tahu.”
Jawabnya dengan pelan dan muak seakan dia tidak ingin disalahkan di saat dia
tahu kesalahannya sendiri.
“Dan kau
hanya meminta maaf karena itu yang bisa
kau lakukan?”
“Al, aku
juga menyesalinya.”
“Dan
menyesal.” Aku menambahkannya. “Ada lagi?”
“Aku tidak
tahu. Mungkin juga aku sudah tidak pantas dimaafkan. Tidak ada kesempatan
kedua.”
“Tatap aku!”
Aku memberikan sebuah perintah yang langsung dilakukannya.
“Pantaskah
orang yang tak termaafkan berada di depanku?”
“Kurasa
tidak.” Dia langsung menjawab. Padahal aku tidak memerlukannya karena sudah
tahu apa jawabannya.
“Well, tapi
kau sekarang di sini. Membawaku entah kemana agar aku tidak bisa keluar lagi.
Dan aku tidak tahu apa tujuanmu. Kau sedikit memaksaku untuk ikut denganmu
selama perjalanan panjang ini. Sampai suatu saat aku merubah pikiranku
tentangmu. Kau ada untukku sekarang. Kau merubahnya, kau bisa! Ini bukanlah permintaan
maaf darimu, tapi kau memang ingin aku tersenyum.”
Aku senang
melihatmu tersenyum.
Kata-katanya
terus memenuhi otakku. Dia ingin aku lepas dari kesedihanku.
“Bukannya
itu sudah jelas?” tambahku sebelum dia berucap. Aku tidak ingin mendengar apa yang
dia katakan sekarang, apalagi permintaan maaf. Karena “tanpa meminta maaf
kepadaku, aku sudah memaafkanmu, Calvin.”
“Mengapa kau
memaafkanku?”
“Karena aku
adalah orang yang taat dalam beragama.” Jawabku, tidak sepenuhnya jujur.
“Al.” Dia
terdengar muak dan menuntut.
Aku
memandangnya yang tidak memandangku balik. Dia melihat kaki-kaki kami di bawah,
matanya semakin gelap.
“Karena kau
masih hidup dan berada di sini sekarang. Lalu membuatku tersenyum...”
Ada dua
faktor mengapa aku menggantung kata-kataku. Pertama adalah kesengajaanku agar
dia makin ingin tahu. Aku ingin dia terus menuntut kepadaku. Tapi yang kedua,
aku tidak menyangka secepat itu. Dia mencium bibirku yang terkatup rapat.
Well, aku membeku
dengan waktu yang terus berjalan. Jantungku melonjak-lonjak kegirangan seperti
anak kecil yang diberi hadiah spesial. Ini bukanlah sebuah hadiah spesial,
melainkan kejutan!
Aku tidak
menarik lehernya, benar! Sebelumnya aku juga tidak berniat hal ini sampai
terjadi. Dan ini, oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Seandainya waktu ikut
membeku dan memberikan kesempatan untukku berpikir. Tapi waktu sedang tidak
bersahabat seperti tadi. Kesempatan hanya sekali.
Yang harus
dilakukan adalah... apa? Untuk saat ini aku benar-benar tidak bisa berpikir.
Ini bukan yang pertama kalinya, aku tahu itu. Aku sudah pernah dan sering
melakukannya dengan dia. Tapi mengapa otakku seakan ikut membeku? Padahal tidak
lama ini aku berpikir—mungkin—kotor. Sekarang, blank.
Coba
pikirkan lagi, Alicia. Batinku, ini usaha terakhir.
Well, aku coba
untuk memulainya.
Ting tong
ting tong...
Itu suara
lonceng yang indah, menurutku. Suara yang bisa membuatku sangat malu. Bagaimana
tidak? Lihatlah, dia sekarang sudah mengalihkan pandangannya ke arah suara itu.
Tentu saja melepaskan ciumannya yang hampir aku balas. Sungguh memalukan!
Nafasku
tersengal setelah sadar beberapa detik sebelumnya aku tidak bernafas. Itu sungguh
menggoda seperti narkoba yang bisa mempengaruhi otak. Untungnya otakku membeku
yang aku paksa mencair, kini sudah mencair karena panas. Entah karena sinar
matahari atau ini.
“Maaf, Al.
Maddock memberikan tanda padaku. Sarapanmu sudah siap.” Katanya.
“Ini sudah
siang.” Kataku dengan cepat lalu menarik nafas yang dalam. Aku tidak ingin dia
mendengar suaraku yang bergetar. Sungguh memalukan.
Tetapi, aku
juga memikirkan kata maafnya. Dia bermaksud meminta maaf karena melepaskan
ciumannya atau telah menciumku? Oh, ini membuatku semakin seperti buah tomat
berambut.
“Ini sarapan
untukmu, walaupun sudah siang.” Katanya.
Oh.
“Ayo.”
Ajaknya.
Aku diam,
dia juga diam. Kami saling berpandangan dalam jarak tidak bisa dihitung
pendeknya. Kedua tanganku masih mengalung di lehernya, dan miliknya memeluk
pinggangku. Ini sempurna di siang hari yang romantis. Kuharap tidak ada drama
lagi di antara kami berdua lagi.
Lima detik
kemudian, serasa secepat kedipan mata yang sulit disadari. Sial.
“Ayo.”
Calvin melepaskan pelukannya dan menarik tanganku. Di belakang, aku
memandangnya seperti robot.
Oh Tuhan,
aku sangat mencintainya.
Setelah
sarapan siang yang berat—berisikan nasi, sayur rebus, dan ikan goreng—aku pergi
mandi. Semalam aku hanya makan sedikit ikan yang dibumbui anggur, dan tadi pagi
juga tidak makan apa-apa. Tetapi tadi makanku dua kali lebih banyak dari
biasanya, sampai sekarang aku masih kekenyangan. Apalagi Calvin, dia suka
melihatku makan banyak setelah kedukaanku yang membuat makanku tidak teratur.
Jam
menunjukan pukul setengah tiga tepat setelah aku keluar dari kamar mandi. Jika
memang sekarang jam segitu, tapi menurut waktu bagian mana? Aku lupa bertanya
kepada sang kapten yang tadi ikut makan bersama. Sang kapten itu, sungguh
menyenangkan. Betapa mengasikkan mendengar ceritanya tentang masa mudanya dulu
sebagai tentara angkatan laut Australia, sampai dia pensiun dan berkeliling
dunia menggunakan kapal pribadinya. Seakan hidupnya sudah tentram berada di
lautan.
Sempat aku
terkejut bahwa dia juga bekerja sama dengan Bryant Corporation. Ini
membuatku linglung sebentar, karena aku pernah menjadi CEO di perusahaan
keluargaku tapi tidak mengetahui ini. Calvin lalu menimpali bahwa aku terlalu
sibuk dengan bagian luar perusahaan dalam produksi dan distribusi. Selain itu,
rapat-rapat yang kuhadiri kebanyakan kerja sama dalam bidang ekonomi, bukan
dalam politik.
Benar, Zack
yang mengurusi itu.
Aku keluar
dari kamar mandi hanya berbalut handuk putih yang sudah ada di dalam tadi. Lalu
aku mendapati sebuah gaun merah yang diletakan di atas tempat tidur. Tanpa
bertanya siapa, aku sudah tahu. Selain itu, aku juga sudah melihatnya tadi
lewat deteksi.
Kupakai gaun
merah itu. Ini baru, entah kapan belinya. Aku tidak ingat pernah memiliki gaun
yang terlihat mewah dan hampir pas di tubuh ini. Kesannya, aku akan menghadiri
sebuah makan malam di restoran. Arg... pikiranku mulai mengacau lagi.
Selesai
merapikan rambut panjangku, aku keluar mencarinya. Dengan deteksi, dia
jelas-jelas berada di tempat yang sama tadi siang. Dia sedang memandang lautan
dalam diam. Kurasakan juga dia menyeringai. Oh, dia juga merasakan diriku mulai
mendekatinya.
Pada
akhirnya aku sampai, jarak yang sama dengan sebelumnya, dia menyambutku dengan
senyumanku. Well, aku benar-benar ingin masuk ke dalam laut lalu
berteriak. Dia benar-benar membuatku meleleh!
Aku berjalan
mendekatinya karena dia memberikan rambu-rambu itu. Tapi, kedua mataku secara
tidak sengaja melihat sesuatu di balik tubuhnya. Sesuatu yang terlihat sangat
menyenangkan di lautan.
“Daratan!”
Kataku terkejut. Calvin mengiyakan dengan cara uniknya: tersenyum sambil
menaikan alis sebelahnya.
Aku berlari,
seperti menghampiri pelukannya, tapi aku lebih tertarik melihat daratan di
depanku sekarang. Ternyata tidak hanya satu, tapi banyak pulau kecil di laut
ini. Dimana?
“Dimana ini,
Calvin?” tanyaku.
“Kepulauan
Flores.” Jawabnya singkat tanpa dosa.
Aku
meliriknya tajam.
Jadi selama
ini dia membawaku dari rumahku di Jakarta, lalu terbang ke Jepang dan
membelikan takoyaki dari asal negaranya. Kemudian entah kemana, setelah bangun
aku sedang mengudara dari Jerman ke Brazil. Entah kemana lagi, lalu aku berada
di atas kapal ini tanpa lokasi yang tepat. Dan sekarang berada di Kepulauan
Flores. Jadi selama ini dia membawaku keliling dunia.
“Peraturan.”
Dia menjawab pertanyaanku sebelum sempat terlintas. Dia serba tahu, ingat?
Persetan
dengan peraturan, batinku.
“Lalu kemana
tujuan yang sebenarnya?” tanyaku, suaraku terdengar sedikit kesal.
Calvin
menyentuh kedua lengan atasku dan diremas sedikit. Kemudian dia memaksa tubuhku
berputar ke arah depan kapal. Di ujung sana, aku melihat sebuah pulau kecil.
“Itu
tujuannya.” Jawabnya. “Pulau pribadi Bryant, di Kepulauan Flores, Indonesia.”
Komentar
Posting Komentar