Jatuh dari ketinggian, terbang, lalu berdiri di atas awan. Itu
adalah mimpi terburuk yang pernah ada.
Sampai-sampai aku masih bisa mengingatnya dengan jelas sekarang.
Mungkin ini adalah mimpi yang terus merasuk ke dalam otakku.
Sungguh, ini sangatlah menggangguku. Aku memiliki ujian akhir untuk menuntaskan
cita-citaku sebagai seorang profesor, dan aku harus mengulanginya lagi. Itu
hanya sebentar, tidak masalah buatku.
Tetapi, aku masih gugup untuk membuka kedua mataku. Gugup untuk
melihat duniaku kembali di hadapanku. Juga gugup menerima kenyataan pahit
tentang apa yang barusaja terjadi padaku. Semoga tubuhku tidak seburuk dengan
apa yang aku pikirkan sekarang. Apalagi yang terluka adalah kepalaku, sungguh
mengerikan memikirkan bahwa aku mengalami gagar otak.
Pertama-tama yang harus kulakukan adalah membuka kedua mataku.
Persiapan diri sudah kulakukan kurang lebih tiga menit yang lalu dan kurasa ini
sudah cukup. Well, kutarik nafasku dalam-dalam lalu aku membuka kedua
mataku.
Apa yang ada di dalam benak kalian jika kalian tahu kalau kalian
berada di rumah sakit? Pertama adalah kedua mata akan terasa sakit karena
ketidak sesuaian cahaya yang tiba-tiba saja menusuk mata. Kedua adalah
langit-langit yang berwarna putih. Ketiga, ada seseorang duduk di samping
tempat tidur kalian yang tak lain adalah keluarga atau orang terdekat kita. Dan
keempat adalah keadaan tubuh kita yang kurang nyaman karena sudah lama tidak
bergerak. Sayangnya, itu tidak kualami sekarang. Maka aku bingung sendiri
melihat sekitar ruangan ini.
Pertama yang kurasakan adalah aku baik-baik saja. Kedua mataku
tidak terasa sakit melihat atap ruangan ini. Itu dikarenakan ruangan ini
sedikit dengan cahaya. Lalu langit-langit dari ruangan ini sungguh berbeda
dengan suasana di rumah sakit. Di ruangan ini, atapnya memang berwarna putih
dengan kain rendra menggantung dan mengelilingi tempat dimana aku tidur. Kain
rendra ini berwarna ungu dan kuning yang saling terjalin satu sama lain,
sehingga kedua warna itu mirip seperti sebuah pasangan. Kemudian aku tidak
melihat siapa-siapa duduk di samping tempat tidur ataupun ada orang di ruangan
ini. Yang ada hanyalah ruangan super luas dan cocok sebagai kamar bangsawan.
Yang keempat, tubuhku terasa sangat segar seperti bangun tidur pada pagi hari
yang cerah. Bisa dibilang suasana di sini bisa membuatku ceria.
Tetapi, ini sungguhlah tidak wajar. Bagaimana bisa aku berada di
sini? Kuputar otakku terus mencari kebenaran. Aku mencoba untuk mengingat
bagian terakhir dari mimpi sialan ini.
Peri biru, ibu muda dan bayinya, serta pangeran hitam yang
membawaku berdiri di atas awan. Itu yang bisa kuingat tentang kejadian sebelumnya.
Tentang kebenarannya atau tidak aku belum yakin. Setidaknya itu yang bisa
kupercayai untuk sementara.
Aku mencium aroma yang segar dari ruangan raksasa ini. Setelah aku
mengikuti aroma itu berasal, ternyata dari sebuah rangkaian bunga mawar dan lili
di atas vas bunga yang terbuat dari keramik. Rangkaian bunga itu sungguh indah
dengan warna tajam dari mawar merah dan putih suci milik bunga lili. Tidak
hanya itu, vas yang sebagai tempat mereka bertumpu pun juga indah. Vas keramik
itu berwarna dasar putih yang dihiasi dengan pola tanaman-tanaman yang
diselingi model abstrak. Ini berkesan wow!
Kubuka kain rendra yang menghalangiku ini untuk mengambil satu
tangkai bunga mawar. Kemudian aku mencium aromanya yang sangat kuat sampai aku
ingin pinsan menikmatinya. Kusentuh kelopaknya yang berwarna merah tajam ini,
masih kuat seperti baru saja dipetik dari kebun. Permukaan kelopaknya juga
halus dan menggelitiki kulitku. Ini terlalu indah dan nyata untuk diungkapkan
sebagai mimpi.
Suara berisik kudengar dari luar. Ini tidak seberisik di ruang
musik sebenarnya, tapi kali ini suara ini lebih kecil seperti sebuah bisikan
yang ramai. Jika pendengaranku tidak salah, suara itu berasal dari luar
jendela-jendela besar yang tertutup korden.
Aku bangkit berdiri dengan masih memegangi satu tangkai bunga, lalu
berjalan ke jendela besar itu. Kusingkirkan kordennya sampai aku bisa melihat
keluar, tapi sinar matahari langsung masuk dan menusuk kedua mataku. Aku mundur
sebentar untuk menyesuaikan kedua mataku terhadap matahari. Setelah itu aku
membuka jendela itu lebar-lebar.
Oh, aku telah salah. Yang kukira ini adalah jendela ternyata sebuah
pintu besar yang ukurannya sama dengan jendela di sekitarnya. Pintu ini
menghubungkan sebuah beranda yang cukup besar dengan bentuk setengah lingkaran.
Aku coba pijakan kakiku ke beranda itu dan rasanya dingin mulai menjalar dari
telapak kakiku.
Sinar matahari menyinari dengan kehangatan luar biasa. Dinginnya di
pagi hari berubah menjadi hangat karena sang raja siang. Udara meniup sampai
menerbangkan rambutku dengan bebas. Kulitku terasa dibelai dengan halus
bagaikan sentuhan dari ibu. Aku menjadi rindu dengan mama. Dia pasti berada di
samping tempat tidurku sekarang, sambil menungguku sampai terbangun.
Akhirnya aku sampai di ujung beranda. Pada seluruh pandanganku yang
kulihat adalah sebuah kota besar yang sangat ramai dan dikelilingi oleh pagar
baja yang besar. Di dalam kota, terdapat satu titik dimana orang-orang banyak
berkumpul di sana. Itu pasti pasar. Seperti di kampung halamanku, pasar adalah
tempat teramai di pagi hari.
Dari beranda yang besar ini, aku bisa melihat orang-orang yang
sangat kecil itu melakukan pekerjaan mereka. Banyak sekali aktivitas yang
mereka lakukan, seperti berjualan, membeli, berjalan-jalan, menyapu di depan
rumah, dan sebagainya. Sudah lama sekali aku tidak melihat aktivitas sibuk di
pagi hari yang mirip di desa ini. Akhir-akhir ini aku sering melihat aktivitas
pagi di perkotaan. Perbedaannya sangat mencolok, pedesaan lebih menyenangkan
untuk dipandang daripada perkotaan.
Klontang...!
Suara berisik terdengar dari dalam. Aku menengok dan segera masuk
ke dalam. Tetapi aku tidak bisa menemukan siapa-siapa di dalam. Anehnya, pintu
besar yang terhubung ke tempat lain itu terbuka dengan lebar. Dan di depan
pintu itu terdapat nampan besi yang di atasnya terdapat makanan yang
berserakan. Melihat itu membuatku makin mendekat. Aku tidak terbiasa melihat
barang-barang berantakan.
“Tuan Putri, Anda tidak seharusnya melakukan ini.” Kata seseorang
saat aku menyentuh nampan. Aku menatap pemilik suara itu.
Seorang anak kecil? Aku beranggapan seperti itu awalnya. Dia memang
pantas sebagai seorang anak kecil yang baru sekolah. Tapi penampilannya
sekarang membuatku menjadi ragu.
Anak kecil itu memakai topi mirip yang selalu dipakai oleh joker,
dengan lonceng emas tergantung di setiap ujung topinya. Lalu topi itu berwarna
ungu dan kuning yang saling berdampingan. Warna itu sama dengan rendra di atas
tempat tidur. Kemudian pakaian yang dipakai adalah pakaian yang mirip sekali
dengan joker. Dia terlihat sangat menggemaskan dengan pakaian yang mengembung
seperti itu. Tetapi, dia melayang-layang di hadapanku sekarang.
“Ahh...!!” Aku tersentak kaget sambil mendorong tubuhku menjauh
dari mahluk imut nan menakutkan itu.
“Ada apa, Tuan Putri?” dia mendekatiku!
“Jangan mendekat! Kubilang jangan mendekat!” Kataku hampir histeris
saat dia melayang-layang mendekatiku. Apalagi saat aku sudah merasakan
punggungku menatap tempat tidur.
Mahluk itu berhenti dan menginjakan kakinya di atas lantai. Fiuh,
ternyata dia bisa menapakan kakinya di lantai. Hampir saja aku mengira dia
adalah mahluk penasaran yang sedang menghantuiku.
“Apakah Anda baik-baik saja? Anda terlihat ketakutan.” Kata mahluk
itu dengan khawatir.
“Ah... aku baik-baik saja.” Kataku mencoba untuk tenang. Tapi
nafasku belum mau ditenangkan.
“Sebenarnya siapa kamu?” tanyaku setelah nafasku sudah berjalan
dengan normal.
“Oh...” mahluk itu diam sebentar seperti sedang berpikir sesuatu.
“Saya adalah Nicker...”—dia melayang lagi dan mendekatiku—“saya adalah pelayan
setia Anda.”
Akhirnya dia berhenti di hadapanku. Kemudian dia membungkukan
badannya dengan kaki sudah menapak lantai.
“Nicker?” gumamku sambil terpikir sesuatu yang aneh. Pemikiran ini
tiba-tiba saja terlintas di benakku.
“Benar, Yang Mulia. Nicker adalah singkatan dari Mini Joker.”
“Hah!” aku terkejut bukan main. Tebakan konyolku di dalam otakku
ternyata benar!
“Ada apa, Tuan Putri?” tanya Nicker sambil mengangkat kepalanya dan
menatapku.
“Tidak ada apa-apa.” Jawabku. “Ngomong-ngomong, mengapa kau menjadi
pelayan setiaku? Bukannya kau adalah seorang yang... er... sukanya melucu?”
tanyaku yang pada akhirnya kebingungan untuk mencari kata yang tepat. Akhirnya
melucu yang bisa kupakai.
“Saya bukanlah seorang yang pandai membuat lelucon. Lalu keberadaan
saya juga kurang diakui. Oleh karena itu, Tuan Putri menciptakan saya sebagai
pelayan setia.” Jawabnya.
Aku bersyukur ternyata pertanyaanku tadi tidak menyinggung
perasaannya. Tetapi, menurut ceritanya membuatku menjadi bernostalgia akan
sesuatu. Aku tidak bisa mengingatnya kapan dan bagaimana kejadiannya.
“Apakah tuanmu yang menciptakanmu?” tanyaku.
“Tentu saja, Anda yang telah menciptakan saya.” Jawabnya.
“Apa? Aku bukan Tuhan yang bisa menciptakan sesuatu.” Kataku.
“...” Nicker diam sebentar seperti tadi. Dia berpikir sesuatu
dengan cukup lama kali ini.
“Tuan Putri, mohon ikuti saya.” Katanya lalu mulai melayangkan
tubuhnya lagi di hadapanku.
“Huh? Kemana?”
“Ke tempat pangeran. Kebetulan pagi ini beliau masih berada di
istana ini.” Jawab Nicker dengan tidak sabaran.
“Pangeran?” tanyaku dengan bingung. Yang langsung kutangkap adalah
saudara laki-lakiku di dunia mimpi ini. Padahal di dunia nyata aku tak memiliki
seorang saudara laki-laki.
“Pangeran yang telah membawa Anda kembali ke istana.” Jawab Nicker.
Pemikirkanku jauh melenceng. Yang dia maksudkan adalah pangeran
hitam itu. Hampir saja aku melupakannya. Dia yang telah membawaku ke tempat di
atas awan yang ajaib. Jadi dia yang membawaku ke istana ini. Eh? Aku
baru sadar kalau ini istana.
“Sekarang dimana dia?” tanyaku kepada Nicker.
“Beliau sedang—“
“Saya berada di sini, Tuan Putri.” Potong seseorang yang berdiri di
depan pintu sambil membungkukan tubuhnya dengan hormat. Itu dia sang pangeran
sudah tiba.
“Pangeran.” Nicker membungkukan tubuhnya kepada pangeran itu. Aku
menjadi bingung karena tingkah itu. Apakah aku juga ikut membungkuk kepadanya?
“Pangeran...” kataku dengan kaku. Aku masih bingung untuk
memanggilnya dengan apa. “Kau—maksudku—saya... Anda... bag...” akhirnya aku
tergagap tidak jelas dengan berbagai bahasa yang aku bisa.
“Apakah Anda ingin sarapan? Makanan yang baru sudah siap di atas
meja makan.” Tawar pangeran itu dengan ramah dan sempurna. Aku menjadi iri
karena bahasanya sangat baik.
“Ya, itu yang kuperlukan, kurasa.” Kataku.
“Nicker, tolong pimpin jalannya. Biarkan aku yang menjaga Tuan
Putri.” Kata pangeran itu dengan nada memerintahnya yang berwibawa.
Dengan segera Nicker mengangguk dan melayang lagi ke depan pintu.
Sang pangeran sudah melangkahkan kakinya untuk mendekatiku. Lalu dia
mengulurkan tangannya ke arahku. Segera aku menerimanya dan menariknya untuk
membantuku berdiri. Setelah itu, dia menarikku dengan lembut keluar dari kamar.
Pangeran masih menggandeng tanganku sambil berjalan. Nicker
memimpin jalan melewati koridor awan. Maksudku koridor yang dipenuhi oleh
lukisan awan dengan berbagai bentuk dan ukuran. Lalu mahluk kecil itu berbelok
ke kanan dan berhenti. Aku dan pangeran mengikutinya.
Di hadapanku sekarang adalah sebuah pintu besar dari kayu yang
dicat emas. Pada pintu itu diukir sehingga membentuk rangkaian bunga abstrak
yang indah. Bentuk itu mirip sekali dengan vas bunga yang ada di dalam kamar
tadi, aku jadi teringat.
Nicker mengulurkan tangannya ke depan tanpa menyentuh pintu itu.
Lalu pintu itu terbuka sendirinya ke dalam. Mulutku menjadi sulit untuk aku
tutup karena hal ini. Aku yakin juga tidak ada orang di dalam yang membukakan
pintu ini.
Lalu sang pangeran menarikku masuk ke ruangan itu. Sesuai dugaanku,
tempat ini adalah ruang makan istana yang besar dan megah. Semua perabotan
terbuat dari kayu, logam, dan kristal. Yang terbuat dari kayu dan logam
semuanya dicat dengan warna emas yang indah.
Sang pangeran menarikan sebuah kursi. “Silahkan, Tuan Putri.”
Katanya dengan seperti biasa kepadaku. Segera aku duduk di kursi itu.
Setelah pangeran duduk di kursinya, para pelayan muncul dari pintu
yang berbeda. Mereka masing-masing mendorong troli berwarna perak. Setiap troli
yang didorong, terdapat berbagai makanan dan minuman yang berbeda-beda di
atasnya, serta dihiasi dengan satu tangkai bunga mawar yang masih segar.
Seorang pelayan menunjukan sebuah piring yang di atasnya terdapat
telur goreng dan roti panggang. Aku menggelengkan kepalaku tanda tidak bernafsu
dengan makanan itu. Lalu pelayan lain menunjukan semangkuk bubur ayam yang
langsung kuterima dengan semangat. Wajar saja aku sangat lapar pagi ini.
Untuk minumannya, aku disuguhkan secangkir teh mawar. Aku cicip
sedikit teh hangat itu dan membuatku langsung ketagihan. Setelah makananku
habis, aku meminta untuk dibuatkan teh mawar lagi. Seorang pelayan datang dan
menunjukan satu teko teh mawar. Kemudian dia menuangkan teh tersebut ke
cangkirku. Lalu aku meminum teh mawar yang lezat itu sambil bergumam di dalam
hati. Inilah rasanya menjadi seorang bangsawan...
Setelah menghabiskan cangkir terakhirku, sang pangeran berkata,
“Apakah Anda ingin jalan-jalan mengelilingi istana?”
“Ah, itu boleh juga.” Kataku. Aku tersenyum karena lidahku tidak
keluh. Jadi aku harus melatihnya mulai sekarang.
“Jadi siapa namamu?” tanyaku saat kami berjalan menyusuri koridor
awan yang berbeda dengan sebelumnya.
“Nama saya adalah Reynold.” Jawab pangeran itu.
Reynold... itu tidaklah asing di pendengaranku.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku.
“Tentu saja, Tuan Putri. Anda pasti sudah lupa.” Katanya.
Aku meringis yang diikuti senyuman manis darinya.
Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang besar tapi berbeda
dan sudah terbuka lebar. Reynold menggandeng tanganku dengan erat sambil
menariknya memasuki ruangan selanjutnya. Sepertinya pangeran tampan ini tidak
akan melepaskanku. Hatiku tersenyum kesenangan setelah menyadarinya.
Ruangan yang kami pijaki sekarang adalah ruang depan istana
sekaligus altar istana. Ada dua lantai di dalam ruangan ini yang dihubungkan
oleh satu tangga yang dibaluti karpet merah. Dari lantai dua, aku bisa melihat
keseluruhan dari ruangan ini.
Aku dan Reynold menuruni tangga sampai ke lantai dasar. Kakiku yang
telanjang hampir saja terkilir saat aku menginjakan kakiku ke lantai yang
terbuat dari kristal. Reynold juga memegangiku sehingga aku tidak terjatuh ke
lantai.
“Terima kasih.” Kataku sambil menyeimbangkan tubuhku.
“Anda seharusnya berhati-hati saat melangkah.” Katanya.
“Ya, aku hanya terkejut dengan lantainya.” Kataku sambil melihat ke
bawah. Lantai kristal memantulkan tubuhku dan pangeran bagaikan cermin.
“Ini bukan pertama kalinya Anda melihat ini, bukan?” katanya.
“Di beranda kamar juga ada tadi.” Kataku teringat.
“Selera Anda memang sangat mewah.” Katanya.
“Apa maksudmu?” aku memiringkan kepalaku ke samping.
“Anda yang membuat istana ini, Yang Mulia.” Kata Reynold.
“Huh?” hanya itu yang keluar dari tenggorokanku.
“Kerajaan di atas awan ini dan isinya adalah buatan Anda.”
“Apakah maksudmu bahwa aku yang membuat kerajaan di atas awan ini?”
tanyaku sambil menahan tawaku.
“Itu benar.” Jawab Reynold.
“Hah,” hampir saja aku kelepasan tertawa. “Kau bercanda. Itu lucu.”
Kataku.
“Tidak. Ini benar dan... nyata.”
Kupandangi kedua mata Reynold yang berwarna hijau. Kedua matanya
tidak menunjukan kedustaan. Itu berarti, dia benar. Ini adalah nyata.
Komentar
Posting Komentar