Dari
tubuhku yang terasa diombang-ambingkan, aku terbangun dengan sendiri.
Pandanganku sangat buram dan kepalaku terasa sakit. Aku menutup mata lagi
sambil menunggu waktu yang singkat. Seperti biasanya, aku langsung merasa
normal setelah menunggu.
Langit-langit
baja kulihat di atasku, menggambarkan bayangan air yang bergerak. Ini bukan
berada di pesawat, aku yakin itu. Jika iya, bagaimana pesawat penumpang ini
berada di atas laut. Selain itu, apa ini? Aku tidur di tempat tidur? Ini
benar-benar tidak masuk akal, kecuali...
Oh tidak,
dia sedang tidur di sampingku! Begitu tenang, begitu damai. Aku iri melihatnya
bisa seperti itu di saat masalah menghadapinya. Apalagi dia, dia... sangat aku
cintai. Sedih rasanya dia bisa setenang itu, tapi aku tidak dibawanya. Dia
seakan pergi sendiri dan meninggalkanku, lagi.
Bisakah
aku tidur sedamai itu? Aku bertanya pada diriku sendiri sambil menatap
laki-laki itu.
Tidurnya
miring menghadapku tapi tidak memelukku. Seharusnya kedua tangannya yang kuat
itu memelukku seperti saat detik-detik aku hampir pinsan karena pukulannya. Tapi
tangan-tangan itu menahan diri dan bersama pemiliknya.
Dia
milikku! Terlintas di benakku yang membuatku kaget.
Ketakutan
akan kehilangan dia muncul di benakku. Sial, hanya dia yang aku punya di dunia
ini. Sungguh tragis, dia sudah mengambil putraku yang menemaniku selama ini. Well,
apa dia akan menggantikannya?
Kuharap
jangan, semuanya sudah tertata rapi di sini. Aku tidak ingin dicampur aduk
karena sudah mendapat bagian masing-masing.
Tempat
tidurku bergoyang cukup kuat, mendorongku berputar seratus delapan puluh
derajat ke kanan. Tubuhku menubruknya yang posisi tidurnya tidak berubah, aneh.
Tapi aku bersyukur, goncangan tadi membantuku yang belum bertindak. Rasanya
seperti dipeluk.
Tiba-tiba
ada yang menyentuh lengan atasku. Dia menyentuhku dengan tangannya yang hangat!
“Al, kamu
sudah bangun?” dia bertanya seperti berbisik.
“Ya.”
Jawabku jujur karena percuma berbohong kepadanya.
“Apakah
goncangan tadi?” dia bertanya. Oh, dia menyadari goncangan tadi itu.
“Tidak,
aku sudah bangun sebelumnya.”
“Oh,
seharusnya kau bangunkan aku langsung. Kau butuh sesuatu?”
“Ya, aku
butuh bertanya.”
“Silahkan.”
Suaranya lembut itu bersedia. Kalau begitu, tidak ada yang akan disembunyikan,
kuharap.
“Dimana
kita?”
“Aku
tidak tahu.”
“Huh?”
aku berputar untuk menatapnya yang ternyata langkah yang... antara benar dan
salah.
Kedua
matanya yang biasanya tajam itu tampak sayu. Lalu bola matanya yang berwarna
biru itu terlihat separo seperti matahari yang baru tenggelam setengah,
bersinar memancarkan kehangatan hatiku. Sialnya, aku meleleh dibuatnya.
“Kita
akan tahu nanti, ada lagi?” dia menyeringai sedikit. Matanya masih tampak sayu.
“Kemana
kau akan membawaku?”
“Ke suatu
tempat yang terbaik.”
“Mengapa
harus berada di sini?”
Dia
tertawa kecil. Tawanya...
“Kita
tidak bisa naik pesawat ke sana.” Katanya lalu mengatup bibirnya. Dia menunggu
aku bertanya lagi.
“Sekarang
di kapal?”
Dia
mengangguk.
“Kapan
berlabuh?”
“Tadi
sore. Kau masih menjadi putri tidur.” Katanya.
“Berapa
obat tidur yang kau berikan kepadaku?”
“Seperti
biasanya, melebihi dosis.”
“Apakah
harus?”
Dia diam
sebentar. Tapi kedua mata sayunya sudah berubah menjadi tatapan biasanya.
Baiklah, pembicaraan menjadi lebih serius.
“Aku
lebih suka melihatmu tidur. Kau begitu damai.” Katanya dengan pelan dan lembut.
Kata-katanya masuk ke dalam lubang telingaku lalu diproses otakku cukup lama. Setelah
menyadari, otak mengirimkan semacam gelombang aneh pada tubuhku.
“Pasti
ada alasan lain?” tanyaku sambil menahan getar di suaraku.
“Tentu
saja.”
“Apa?”
“Peraturan
pertama perjalanan ke tempat tujuan kita. Aku tidak ingin kau tahu jalannya.”
Dia tersenyum, tidak mengejek tapi begitu menawan.
“Mengapa
seperti itu?”
“Agar kau
tidak bisa keluar lagi.”
“Apa
itu?”
“Bukan
apa-apa.” Katanya lalu bangkit duduk. Padahal aku ingin posisi ini bertahan
lama.
“Ayo
keluar.” Ajaknya tiba-tiba.
“Huh?”
Dia
mengulurkan tangannya kepadaku sambil tersenyum untuk meyakinkanku.
Aku
meraih tangannya yang langsung mencengkeram erat tanganku. Padahal tangannya
belum aku sentuh sama sekali. Kemudian dia menarikku keluar dari ruangan ini.
Kuikuti
langkahnya yang perlahan-lahan di depanku. Tangan kami masih bertautan dengan
erat. Aku sangat merasa senang, karena dia tidak melepaskanku sampai berada di
luar—di atas dek kapal.
Aku
disambut oleh angin laut yang bertiup, menerbangkan rambut-rambutku. Angin yang
dingin dan menyentuh kulit pipiku yang tadi basah, seakan diusapnya. Membawa
debu dan partikel-partikel kecil tak terlihat, terbang bebas mengikuti arah.
Tangan
yang menggenggamku mulai menarikku untuk berdiri di sampingnya. Aku menatapnya
dan dia juga. Senyumannya sudah melebar.
“Lihatlah,
siapa yang menunggumu?” katanya sambil menunjuk ke atas.
Aku
mengikuti arah tangannya yang di angkat. Melihat langit gelap malam yang sangat
indah terpancar di depanku. Bintang-bintang yang berkelap-kelip menghiasinya
bagaikan lampu-lampu kecil yang dihidupkan waktu natal. Lalu bulan purnama yang
bersinar lembut dan penuh itu memancarkan kedamaian malam. Lagi-lagi angin
menerbangkan rambut-rambutku.
Di jauh
sana aku melihat, langit gelap berdampingan dengan laut. Cahaya bulan dan
bintang dipantulkan balik oleh laut bagaikan cermin. Melukiskan kisah yang
belum diketahui manusia sampai sekarang. Menceritakan dunia ini yang terus
berputar.
Angin
bertiup lagi, membawaku ingin terbang bersamanya. Melintasi air laut dan diapit
oleh langit di atasku. Inginnya aku melihat wajahku di atas ait laut dan
melihat diriku sendiri terbang dengan ketenangan yang luar biasa ini. Terus
terbang jauh di antara langit dan laut yang saling berdampingan, tak pernah
habisnya. Melepaskan semua masalah yang ada di atas tanah, dan menjadi air
untuk melarutkannya.
Calvin
menyentuhku, membuatku kaget. Aku hampir melupakan keberadaannya yang ada di
sampingku. Tapi dia tidak merasa keberatan akan itu. Dia lebih merasa senang.
Kedua
tangannya menyentuh masing-masing lengan atasku dan dia bergeser ke belakangku.
Kemudian dia menarik lenganku ke atas seperti di film Titanic yang pernah aku
tonton waktu muda dulu. Ini pertama kalinya aku merasakan hal yang sama seperti
di film, apalagi ini nyata. Bukan mimpi indah yang sebenarnya buruk!
Kenyataanlah yang membuat ini menjadi lebih indah.
Dia yang
berada di belakangku terus berdiri di sana. Rasanya aneh karena dia tidak
memeluk pinggangku. Jadi aku dengan sengaja menarik kedua tangannya ke
pinggangku lalu aku sedikit bersandar padanya. Tubuhnya hangat, angin kalah
dibuatnya. Inilah yang namanya kenyamanan berada di dekatnya.
Tiba-tiba
dia tertawa di telingaku. Itu mengejutkanku lagi.
“Aku bisa
merasakan perutmu. Kau lapar.” Katanya menjawab kebingunganku.
“Oh,”
sedikit merusak suasana sebenarnya, tapi makan malam tidak bisa aku tolak di
tempat ini, apalagi bersamanya.
“Bagaimana
kalau kita turun sekarang. Kau harus memasak untuk makanmu sendiri.” Katanya.
“Memasak?”
tanyaku sedikit bingung. Selama ini aku makan dibuatkan lalu dibuat tidur
olehnya.
“Di sini
tidak ada koki.”
Kami
menuruni anak tangga lalu masuk ke dalam ruang lain yang lebih hangat hawanya.
Ruang itu terdapat sebuah sofa—yang kelihatannya empuk—dan di depannya terdapat
sebuah lemari yang isinya anggur.
Calvin
seperti tidak ingin memberikan kesempatan untukku melihat-lihat dan terus
menarikku ke tempat lain. Ini adalah tempat pengendali kapal. Dan terdapat
seorang laki-laki berdiri di sana sedang melihat layar monitor.
“Air laut
yang tenang, tanda menghanyutkan.” Kata laki-laki itu. Aku hanya bisa
melihatnya dari belakang. Dari bajunya yang berwarna putih seperti baju pelaut.
Jangan-jangan dia adalah nahkoda.
“Tidak
begitu menakutkan.” Calvin berkata kepadaku. Kurasa dia sengaja mengabaikan
nahkoda itu.
“Mrs.
Bryant.” Aku menengok karena nahkoda itu memanggilku. Sekarang dia berjalan ke
arahku. “Saya ... Maddock, Ma’am.” Dia memperkenalkan dirinya.
Namanya
yang terdengar familiar membuatku teringat sesuatu. Walaupun sepintas,
membuatku penasaran juga.
“Dia
adalah kapten dan sekaligus pemilik kapal ini.” Calvin menambahkan.
“Apa kau
kakaknya Vedie?” tanyaku akhirnya.
“Kau
tahu?” Calvin bertanya langsung kepadaku dengan bingung, bersamaan dengan
kapten kapal yang tertawa kecil kepadaku.
“Bukan,
Ma’am. Saya adalah adik Vedie Maddock. Walaupun begitu memang saya yang
terlihat lebih tua.” Jawabnya.
“Oh,
maafkan aku. Sungguh, aku tidak tahu.” Kataku dengan menyesal. Sungguh tidak
sopan.
“Orang
akan berpikir sama sepertimu saat melihat perbedaan kami berdua. Tidak
apa-apa.” Dia tersenyum kepadaku memunculkan lebih banyak kerutan di wajahnya.
“Jadi,
seperti yang dikatakan air laut—“
“Aku
ingin memperkenalkanmu pada Alicia. Tapi tidak kusangka kau tahu Maddock.”
Setelah menjawab kapten kapal, dia beralih kepadaku. Dia tersenyum kepadaku
tanda tak percayanya. Tapi dia tidak menghargai yang lebih tua darinya.
“Aku
pernah berlatih dengannya sekali.” Kataku.
“Lalu?”
“Kau
ingin tahu banyak. Ngomong-ngomong, Kapten Maddock—“ aku merasakan perutku
berbunyi. Kuharap dua laki-laki di sini tidak mendengarnya.
“Waktunya
makan malam, Al.” Kata Calvin dengan geli. Oh, ayolah... hanya kali ini saja
dia tidak tahu soal ini.
Tapi
tiba-tiba pinggangku terasa seperti sedikit diremas. Sialan, dia sedari tadi
menyentuhku tapi aku tidak menyadarinya.
“Baiklah,
Ma’am. Anda belum pernah menyicipi masakan seorang kapten, bukan?”
“Apa?”
aku melototi Calvin.
“Ayo
makan.” Katanya sambil membawaku pergi. Dia menghindarinya dan siap menghadapi
apa yang akan dia terima. Well, baiklah.
“Kau
tidak menghargai orang tua, Calvin.” Kataku seperti ibu-ibu, aku tidak peduli.
“Siapa
yang tidak menghargai orang tua?” balasnya, dia benar-benar bingung.
“Kau
mengabaikan kapten tadi.”
“Sebenarnya
siapa yang lebih tua?” dia bertanya kepadaku.
“Tap—“
aku tumpul. Jika kenyataan Calvin lebih tua secara umur, bagaimana denganku?
Tapi tetap saja, dia itu orang tua, bukan?
“Dia
umurnya hampir sama denganmu. Jangan begitu pikirkan tentang kesopanan dan hal
yang semacamnya. Dia orang yang menyukai kebebasan dalam bertindak.” Kata
Calvin.
“Tapi
setidaknya perlihatkan sopan santunmu kepada orang.” Kataku.
“Ah...”
suaranya naik turun. Ada yang disembunyikan!
“Ada
apa?” aku berhenti, membuatnya ikut berhenti.
“Bukan
hal besar. Diam-diam aku meminta tolongnya untuk memasak makan malam untukmu.” Katanya.
Tentu saja aku bingung dengan sebagian katanya, tapi intinya dapat kumengerti.
“Kau
bilang aku yang memasak untuk makan malamku.” Cibirku.
“Kau
terlihat malas melakukannya, jadi aku minta tolong.”
“Kau
tidak berkata please.”
“Aku
bilang aku diam-diam memintanya.”
Sempat
aku memutar mataku. Mendengarnya dia mulai kambuh membuatku bosan. Seharusnya
aku tahu itu, sialan.
“Ayo
makan.” Dia mengajakku. Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku.
“Please...”
“Baiklah.
Please...” wajahnya sungguh konyol dan aku ingin menghajarnya.
“Cara
baik-baik tidak bisa, jadi cara yang lebih memaksa.” Katanya lalu melangkah
lebih mendekat karena aku diam.
“Aku bisa
sendiri.” Kataku sambil memberikan tekanan pada kata pertama. Aku melepaskan
cengkeraman tangannya yang ternyata lumayan susah. Yang di luar dan di dalam
sama saja.
“Well,”
Dia yang
tidak mau mengalah, lebih tepatnya ingin menang, mendekatiku dan memeluk
pinggangku. Ini bukanlah sebuah kompetisi yang harus dimenangkan, tetapi dia
yang egois memaksakan kehendaknya tidak bisa kulawan lagi. Yang pada akhirnya
aku terpaksa menerima apa yang akan dia lakukan kepadaku. Kuharap bukan sesuatu
yang memalukan.
“Tubuhmu
sangat ringan ternyata.” Katanya dengan geli setelah mengangkat tubuhku di atas
bahu kananya.
“Turunkan!”
Teriakku. Aku tidak bisa diam dan tidak suka digendong seperti ini. Lagipula
beratku juga tidak seringan itu.
“Kau
harus makan dulu sampai berat badanmu naik.” Katanya lalu berjalan.
“Turunkan
aku, Calvin! Turunkan.” Aku terus memberontak tak berdaya dan sia-sia. Apakah
aku harus seperti mayat?
Calvin
menurunkanku setelah kami sampai di sebuah ruangan yang terdapat lemari
anggurnya. Dia langsung membuka lemari itu dan memilih-milih botol anggur yang
ada. Tanpa bertanya padanya, aku tahu dan ingin sekali pergi dari sini.
“Al,
anggur di sini kurasa bagus-bagus.” Aku ketahuan hendak kabur sehingga dia
menarik lenganku sampai berada di sampingnya. Tanpa melihat dia tahu itu.
“Aku
tidak minum anggur.” Tolakku.
“Bersenang-senanglah,
untuk malam ini.” Gumamnya. Lalu dia mengambil salah satu botol.
Dia menatapku
dengan tatapan liciknya.
“Aku
tidak akan menawarkanmu, Mrs. Bryant.” Katanya yang hampir membuatku merasa
lega. Tapi dia melanjutkan,
“Tapi tentu
saja aku akan memaksa.”
Oh tidak,
itu sangat tidak bagus. Aku tidak suka dipaksa apalagi minum anggur. Melebihi satu
gelas saja sudah membuatku mabuk dan... itu bisa menjadi hal yang sangat
memalukan.
Aku sudah
mendapatkan peringatan dari Mike untuk tidak banyak minum jikalau ada misi. Selama
ini aku menaatinya dan sesuatu yang buruk tidak pernah menimpaku. Apalagi
perlakuan tidak bisa dijaga saat mabuk.
“Aku
tidak ingin minum, Calvin. Aku memiliki batas.” Kataku sambil mencoba untuk
melepaskan tanganku. Sialan, genggamannya terlalu kuat.
Dia menyeringai,
geli.
“Baiklah.”
Suaranya melembut dan melepaskan tanganku. Kemudian tangannya itu menyentuh kepalaku,
dibelai dengan lembut. “Aku tahu batasanmu.” Katanya.
“Berikan
aku air putih saja yang segar.” Kataku.
“Adanya
air laut, mau?”
“Tidak
lucu.”
“Hahaha...”
dia tertawa dengan renyah. “Ya, aku mengerti. Ayo ke meja makan.” Katanya.
Angin menyambutku
saat aku keluar dari pintu baja yang melengkung itu. Tangan Calvin yang
sekarang memegang sebuah botol anggur, membiarkanku berjalan sendiri di
belakangnya. Dia seperti tidak takut jika aku kabur. Tapi bagaimana bisa aku
kabur di saat aku sedang lapar? Apalagi makan di luar, di bawah langit gelap,
angin bertiup, dan cahaya bulan menemani membuat suasana di sini semakin
romantis!
Tunggu.
Aku tidak
ingin itu sampai ke sana. Setelah apa yang dia perbuat, pantaskah aku berharap
padanya?
“Al,
silahkan.” Calvin menarikan kursi untukku. Sungguh, romantis(?).
“Terima
kasih.” Gumamku.
Calvin duduk
di kursi di depanku. Melihatnya berjalan dengan santai, dengan kaos polo yang
longgar dan celana pendek, mengingatkanku sesuatu yang lebih jauh. Oh ya, aku
pernah makan malam dengan seseorang yang mencintaiku.
“Salmon
Teriaki!” Calvin berteriak sambil membuka tutup saji makanan. Benda yang sedari
tadi di atas meja itu—aku tidak menyadarinya tadi. Dan juga, mengapa bisa
secepat itu?
“Makanan
Jepang?” aku memiringkan kepalaku sedikit. Aku berharap sesuatu yang lebih ke
barat.
“Seharusnya
ada takoyaki.” Dia menambahkan sendiri.
“Baiklah,
seafood dari Jepang itu enak.” Kataku akhirnya.
Calvin tersenyum
sepintas kepadaku lalu “Itadakimasu!” dia menepuk kedua tangannya sambil
memejamkan kedua matanya. Kemudian dia membukanya dan menunjukan senyuman
indahnya. Oh ayolah, aku sedang tidak ingin ada adegan romantis di sini.
“Tabete...”
katanya tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya seperti mempersilahkanku, makan?
“Bahasa
Inggris, please.” Kataku.
“Makan.” Nadanya
memerintah.
Aku mengambil
sepasang sumpit yang sudah disediakan di samping mangkuk kecil. Ini pertama kalinya
aku makan benar-benar dengan budaya Jepang.
“Kau
sudah ahli berbahasa Jepang, huh?” tanyaku sambil menjimpit daging salmon di
tengah-tengah meja.
“Kau
sudah mempertanyakan itu tiga kali.” Katanya. Dia tidak menyentuh makanannya.
“Aku
tidak ingat.”
Calvin mulai
mengambil sumpitnya lalu makan. Dia tahu mengapa aku langsung ketus kepadanya.
Aku menggigit
daging lembut dari salmon. Sausnya langsung mencair di lidahku dan rasanya
sangat enak. Ini membuatku ketagihan dan terus mengambil daging ikan lalu aku
campur dengan nasi. Memang melenceng dari aslinya, tapi aku lebih suka seperti
ini. Perutku lebih senang seperti ini.
Tanpa sadar,
aku merasa semuanya bergoyang-goyang tidak jelas. Calvin yang berada di depanku
tidak memperhatikanku dan asyik makan. Kepalanya, lehernya, tangannya, dan
tubuhnya bergoyang-goyang. Dia sedang tidak menari, bukan? Atau jangan-jangan...
Dengan kesal
aku menyampar semua yang ada di atas meja makan sampai jatuh di atas lantai kayu.
Aku tidak peduli sampai mengenai laki-laki brengsek itu. Intinya aku sangat
kesal dengan dia! Aku memukul meja tapi dia dengan cepat memblokir tanganku dan
ditarik ke belakang.
“Kau bisa
menghancurkan mejanya. Jangan merusak benda orang lain.”
“Sialan,
kau bajingan!” Teriakku.
Dia melepaskan
tanganku dan kuambil kesempatan ini. Aku berputar menatapnya yang berwajah
datar kepadaku. Suaranya bisa lembut seperti kapas dengan wajah seperti itu,
dia bisa melakukannya? Seharusnya memang aku sudah curiga dengan apa yang dia
lakukan kepadaku.
Aku tarik
kerah kaosnya. “Kau bajingan jangan racuni aku dengan anggur busukmu sudah kubilang
aku tidak minum...” aku kehabisan nafas.
“Ini
salahku, Al.” Dia membelai kepalaku.
“Hentikan
itu!” aku menyingkirkan tangannya. “Kau yang membunuh anakku, tidak pantas
menyentuhku! Apalagi kau adalah ayahnya sendiri! Kau tidak pantas berada di
dunia ini sebagai manusia lagi!” bentakku.
“Kau
ingin aku mati?” tanyanya.
“Iya—jangan!!
Kau mati, tapi jangan! Jangan! Jangan...” entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku
ingin dia pergi tapi aku tak sanggup lagi menerima kesendirianku. Dunia terlalu
kejam terhadapku.
Lelah,
aku sudah lelah dengan ini semuanya. Aku benamkan wajahku ke dadanya. Entah apa
yang terjadi selanjutnya, kusadari aku terbangun dan merasakan kedua mataku
perih. Kuharap bukan hal buruk yang telah terjadi tadi malam.
Komentar
Posting Komentar