Zack Bryant adalah sepupuku yang seumuran
denganku. Dia memiliki seorang istri keturunan asli dari kebangsaan Inggris
tapi tinggalnya tidak di Inggris. Bagiku mereka berdua sangat cocok dengan
kepribadian mereka masing-masing. Kekuarang Zack diisi dengan kelebihan
istrinya dan kelemahan istrinya diisi kelebihan Zack. Aku kenal betul siapa
istrinya, dia adalah teman masa aku SMA dahulu. Dirinya juga bekerja pada
keluarga Riicon tetapi akhirnya mengundurkan diri untuk mewujudkan mimpinya.
Dan suatu saat, cinta bertemu cinta maka jadilah jodoh diantara mereka berdua.
Kehidupan mereka benar-benar bahagia dan aku juga menginginkan kehidupan
bahagia seperti mereka.
Disaat pernikahan suci mereka, aku datang
dengan membawa dua buah hatiku yang masih bayi. Kalau tidak salah umur mereka
sekitar lima bulan. Aku dibantu oleh kakakku untuk mengurus anak-anakku saat
mengikuti pesta pernikahan Zack. Janji-janji pernikahan mereka yang kudengar
menghanyutkan hatiku. Setelah janji-janji itu disebutkan oleh pasangan
pengantin, sebuah ciuman kasih sayang mereka tunjukan kepada semua orang yang
ada, termasuk aku. Air mataku menetes dan setiap tetesan itu memiliki makna:
aku terharu, dan aku sedih.
Tidak mungkin di hari berbahagia itu aku
menampakan kesedihanku. Kesedihan ini biarlah di dalam hatiku dan wajahku harus
menutupinya. Aku tersenyum selembut mungkin agar seperti terlihat bahwa aku
terharu. Tidak ada orang tahu bahwa aku merasakan sedih di pernikahan Zack dan
istrinya, termasuk kakakku sendiri.
Aku menanyakan beberapa hal pada diriku
sendiri saat mengunjungi pernikahan mereka, tapi tidak ada jawaban pasti.
Andaikan aku tahu dari setiap pertanyaan-pertanyaanku itu, pasti aku menemukan
alasannya mengapa aku merasa sangat sedih. Intinya adalah aku tidak bisa
merasakan pernikahanku sendiri. Semuanya adalah mimpi buruk jika aku menikah.
Tiba-tiba kurasakan bahwa air mataku
menetes. Segera aku mengusapnya lalu melihat kembali foto pernikahan dari Zack
dan istrinya. Foto itu ditempelkan di dinding ruang keluarga tepat di depan
pintu. Jadi saat pintu di buka, pandanganmu akan tertuju pada foto pernikahan
yang berukuran besar ini. Bingkai dari foto ini diukir menggunakan kayu jati
yang di cat emas. Dibawah bingkai itu bertuliskan nama Zack dan istrinya,
Angelica.
Di sekitar foto pernikahan sepupuku,
terdapat foto-foto lain yang ditempelkan di dinding da nada juga yang di
letakan di atas meja. Foto-foto yang berada di dinding itu antara lain foto
pernikahannya, foto kelahiran anak pertama mereka, dan kebersamaan keluarga
kecil mereka.
Kurasakan seseorang mendekatiku. Untungnya
aku sudah mengusap air mataku hingga kering sehingga orang yang datang kepadaku
itu tidak akan mengetahui kalau aku baru saja menangis.
“Mrs. Bryant.” Panggilnya. Aku sangat
mengenal suara itu.
“Alicia.” Kataku sambil meliriknya tajam.
Sudah berapa kali aku memperingatkan dirinya untuk memanggil nama depanku,
menyebalkan.
“Sarapan sudah siap.” Katanya yang masih
berdiri di pintu yang terbuka itu.
“Aku tahu,” balasku sambil mendekatinya.
“tidak perlu kau panggil aku ke sini.” Terusku ketus. Aku melewatinya seperti
aku melewati hantu yang tak terlihat. Sepertinya aku tidak memperdulikan
dirinya, atau aku marah padanya.
Sekarang bukan waktunya untuk itu, lebih
baik aku menyusul anak-anakku sarapan pagi di rumah sepupuku ini. Jadi, sarapan
akan terasa lebih ramai karena diisi dengan dua keluarga sekaligus. Apalagi
pesta natal yang akan diselenggarakan, pasti seru dan menyenangkan.
“Good morning.” Sapaku kepada seluruh orang
yang sudah duduk di meja makan. Semuanya memandangku dan tersenyum kepadaku.
“Selamat pagi, Mom.” Balas Vania dan Kevin
secara bersamaan.
Aku berdiri diantara mereka sambil
merangkul mereka. “Vania, pagi ini kau sakit perut?” tanyaku kepadanya karena
saat dirinya datang bulan sering sakit perut di pagi hari.
“Tidak, Mom.” Jawabnya.
“Bagaimana denganmu, Kevin?” tanyaku ke
putraku.
“Aku tidak mungkin mengalami datang bulan,
Mom.” Katanya.
“Maksudku bagaimana pagimu?”
“Seperti biasanya.” Ia tersenyum kecil
kepadaku.
Aku menciumi kedua anakku setelah aku
mendapatkan kabar tentang pagi mereka. Lalu aku duduk di depan Vania. Disaat
itu juga, Calvin tiba dan duduk di sampingku. Aku penasaran apa yang
dilakukannya di ruang keluarga itu beberapa menit setelah aku meninggalkan
tempat itu. Itu tidak penting untuk dipikirkan sekarang, lebih baiknya aku menikmati
masa-masa natalku di tempat ini.
Kata Zack, ada empat keluarga kecil yang
diundangnya dalam pesta natal ini: Ricko Bryant, Claire Riicon, Fred Bryant,
dan aku. Ricko Bryant adalah yang paling tertua di sini, umurnya tigaa tahun
lebih tua dariku. Dan dirinya yang akan memimpin pesta kali ini. Biasanya pesta
keluarga ini dipimpin oleh papaku yang selalu merayakannya hari-hari besar.
Kakak selalu menjadi musisi yang mengiringi pesta sepanjang pesta berlangsung
dengan bermodal piano miliknya. Tempatnya juga selalu di rumah yang ditempati
Zack sekarang. Sebelumnya rumah ini adalah rumah orang tuaku sedangkan yang ada
di New York atau yang kutempati sekarang adalah rumah kakakku.
Disaat orang tuaku masih hidup, pesta yang
dirayakan sangatlah meriah walaupun sederhana. Masakan yang disiapkan adalah
masakan dari mama dan kakakku yang jago sekali memasak. Semuanya terasa
sempurna saat pesta berlangsung apalagi alunan music yang dimainkan oleh Mike.
Alunan melodinya benar-benar indah di dalam pendengaranku sehingga aku lebih
memilih duduk memperhatikan dirinya bermain piano dari pada ikut berdansa
dengan laki-laki yang mengajakku. Ini membuatku sadar tentang pesta natal tahun
ini, dan menambah semangatku dalam pesta keluarga ini.
Aku meletakan pisau dan garpuku disisi
piring makan yang baru saja kugunakan. Dengan senyuman aku menatap Zack yang
duduk di kepala meja. Aku tahu ini membuatnya terkejut karena aku tiba-tiba
menatapnya dengan wajah berseri-seri, sampai-sampai dia tersedak.
“Aku ingin menggantikan posisi Michael
dalam pesta natal besok lusa.” Kataku lebih mirip menyuruh daripada meminta.
Setelah dirinya meminum segelas air putih
dan tidak merasakan makanan tersangkut di tenggorokannya, ia mulai berkata,
“Dalam urusan memasak aku memang meminta para ibu-ibu yang melakukannya.”
“Bukan memasak, Zack. Tapi…” aku memainkan
jari-jariku seakan aku bermain piano.
“Oh, musiknya ya,” katanya mulai mengerti.
“memang tidak ada yang bisa melakukan permainan piano sebagus Mike kecuali
orang yang professional dalam bidang ini. Tapi—“
“Aku ingin bagian itu, Zack.” Potongku.
Nada-nadaku terdengar memaksa.
“Baiklah, Nyonya Piano.” Katanya akhirnya.
Aku tersenyum kepadanya sebagai ucapan
terima kasih. Karena aku selesai dengan sarapan pagi ini, aku bangkit berdiri.
“Aku memiliki urusan sebentar pagi ini, maka maaf aku harus meninggalkan meja
makan ini terlebih dahulu.” Kataku.
“Urusan apa, Mom?” tanya Kevin seperti
biasa, berhati-hati.
“Urusan orang tuamu.” Jawabku. Disini aku
tidak mau mencampurkan pekerjaan karena aku tahu pasti ini akan keberlanjutan
perdebatan kecil di meja makan.
Setelah semua orang di meja makan
mempersilahkanku untuk pergi, aku berjalan sambil menarik pengawal setiaku. Memang
semuanya juga langsung terkejut melihatku menarik Calvin dengan semua kekuatanku.
Aku memiliki urusan dengannya.
Aku membawanya ke sebuah ruangan, ruangan
kerja lebih tepatnya. Ruangan kerja ini dulunya adalah milik papaku dan
sekarang aku tidak tahu dijadikan tempat apa ini. Aku duduk di kursi papa dan
menyuruh Calvin duduk di depanku. Ini seperti bahwa aku bos besarnya, memang
benar. Aku menyilangkan kakiku sebagai kenyamananku dalam duduk di depannya.
“Tepat setelah misa malam natal yang
dimulai pukul lima sore,” aku mulai angkat bicara kepadanya. “ada paket barang
yang ingin kau ambilkan untukku Calvin. Sekitar ada delapan belas barang yang
berbeda di dalam paket itu. Karena kau selalu bersikap seperti orang misterius,”—aku
sedikit mengoreksi kata-kataku yang misterius—“aku ingin kau mengambilnya
setelah selesai misa malam natal di dekat gereja yang jaraknya sekitar enam
kilometer dari tempat ini.”
“Apa isi paket itu?” tanyanya.
“Aku belum memperbolehkanku bertanya,
Calvin.” Kataku memperingatkannya. “Karena aku ingin kau mengambilnya setelah
misa, maka aku dan anak-anakku pasti akan ada di situ. Kau masuk sendirian ke
tempat itu dan kau ambil paketnya.” Aku selesai berbicara.
“Bisakah aku bertanya beberapa hal kepada Anda?”
tanyanya.
Aku mempersilahkannya dengan anggukan
kecilku.
“Apa isi paket itu?”
“Barang.” Jawabku singkat.
“Tolong katakan lebih rincinya lagi.”
“Aku menjawab pertanyaan bukan permintaan.”
Kataku.
Dia menghela nafasnya. “Anda lebih tepatnya
berada di mana?” tanyanya lagi.
“Di mobil. Kau pasti tidak akan
melepaskanku kemanapun walaupun aku hanya ke gereja bersama anak-anakku,
bukan?”
“Mengapa Anda di mobil?”
“Menunggumu.”
“Lalu mengapa saya yang mengambilnya?”
Aku mengganti posisi dudukku. “Karena aku
tidak kuat menganggkat delapan belas barang sekaligus. Bayangkan bendanya lebih
dari lima belas kilogram, Calvin. Aku sudah pendek dan aku tidak mau bertambah
pendek.” Aku menunjuk ketinggianku yang rata-rata.
“Baiklah jika itu maumu.” Katanya seolah
aku ini selalu merepotkannya. Jika benar aku merasa bersalah dan jika tidak
benar aku tidak suka caranya berbicara seperti itu. Aku membayangkan perteman
kami yang sudah sangat lama sekali. Aku lebih sering merepotkan dirinya.
“Sekarang, aku ingin kau melakukan sesuatu
kepadaku.” Aku memintanya walaupun nada bicaraku seperti memerintahkannya.
“Apa lagi?” tanyanya dengan bosan.
Ada satu hal yang sedang kubingungkan
sekarang. Dari sisi mana aku melihat Calvin? Jika dari sisi pertemanan, itu hal
yang biasa bagiku. Aku sangat mengenal bagaimana dirinya yang bersikap seperti
anak kecil: ceroboh dan bermalas-malasan. Tapi, jika aku melihatnya dari sisi
lain sepertinya itu sedikit menyakitkan. Nada malas itu rasanya bisa berartikan
sebuah jawaban yang tidak pasti. Bisa dijawab dengan iya dan tidak. Aku tidak
tahu apa jawabannya itu, tapi apa jadinya jika itu untuk diriku. Calvin selalu
melakukan apa saja untuk diriku, itulah yang kusimpan sampai sekarang ini.
Pertama-tama aku mengambil langkahku
mendekatinya. Aku memberikan kesan misterius kepadanya. Tentu saja wajah
penasaran dan kecurigaan muncul di wajahnya. Lalu, kudekatkan bibirku ke
telinga kanannya dan aku membisikan permintaanku kepadanya dengan nada yang
pelan dan tenang. Setelah itu aku berdiri dengan tegak, menatapnya sambil
tersenyum yang kubuat manis sekali.
“Kau berlebihan!” Protesnya kepadaku. Ada
nada tidak suka yang kudengar.
“Jangan seperti itu. Aku hanya ingin itu.” Balasku.
Dia memutar bola matanya. “Terserah. Aku
hanya tidak mau adanya gosip aneh yang akan menyebar nanti.” Katanya masih
dengan tidak suka.
Aku tersenyum sedikit menggodanya. “Itu
berarti Calvin Riicon menerima permintaanku,”
“Iya iya. Ada lagi?” tanyanya bosan.
Sepertinya dirinya ingin pergi dari ruangan ini, begitupun aku.
Aku menggelengkan kepalaku sebagai
jawabanku. Tapi, aku memintanya lagi untuk menemani anak-anakku karena aku
harus membantu Angelica membereskan bekas makanan sarapan pagi baru saja. Ia
menurut dan langsung pergi. Aku menyusul Angelica yang ternyata benar sedang
membawa piring-piring kotor ke mesin pencuci piring.
Aku menyapanya tidak terlalu keras dan
tidak ada niat untuk membuatnya terkejut, tapi dirinya terkejut atas sapaanku
sehingga piring-piring yang dibawanya jatuh. Aku segera mengambil piring-piring
itu dengan berjongkok dan telapak tanganku kurebahkan ke atas sebagai bantalan
piring-piring itu. Sayangnya, satu piring luput dari tanganku.
“Maaf, Angel.” Kataku meminta maaf sambil
bangkit berdiri.
“Tidak apa-apa, aku juga yang salah karena
menjatuhkannya.” Katanya lalu mengambil serbet untuk memunguti pecahan piring.
Aku meletakan piring-piring kotor ke mesin
pencuci piring yang sudah dihidupkan. Lalu aku membantu Angelica memunguti
pecahan piring itu.
Bisa dibilang Angelica mirip denganku dalam
urusan rumah tangga. Hidup kami sama-sama enak dengan banyak pembantu rumah
tangga di rumah kami. Tapi kami memilih untuk mengurusi rumah semampunya
terutama keluarga kami. Dia lebih rajin mengurusi rumah daripadaku, tentu saja.
Dirinya hanya ibu rumah tangga sedangkan aku wanita karier yang bekerja tiap
harinya hampir dua puluh empat jam. Itulah yang kusesalkan sebagai wanita
karier. Tidak seperti pekerjaanku sebelumnya yang banyak memiliki waktu luang.
Inilah hidup, maka harus dijalani.
Angelica memasukan pecahan piring ke sebuah
tempat dan aku mengikutinya. Lalu ia menyuruh seorang pelayannya untuk
membuangnya sedangkan dirinya melanjutkan pekerjaan rumahnya.
“Bagaimana hari-harimu selama ini, Alicia?”
tanyanya sambil menunggu mesin pencuci piringnya selesai. Dirinya bersandar
pada konter.
“Buruk,” jawabku “aku tidak suka
hari-hariku yang dihantui oleh pekerjaan yang mengerikan seperti itu.”
Dia tersenyum kecil. “Yeah, aku juga
mengeluh soal pekerjaan suamiku. Dia selalu lupa makan dan istirahat.
Sampai-sampai aku harus menguncinya di kamar agar dirinya mau berisitirahat
sebentar.” Katanya.
“Jika Zack sampai segitunya bagaimana
denganku? Papaku terlalu banyak meninggalkan berkas-berkas pekerjaan yang belum
selesai untuk laporan lima bulan yang lalu, padahal laporan itu penting untuk
laporan tahunan. Pusing pokoknya.”
“Semuanya juga pusing, Alicia. Oh, ya. Kata
Zack, Ricko akan membantu perusahaan keluarga. Fred juga akan membantu.”
“Ricko dan Fred?” tanyaku tidak percaya.
Ricko adalah seorang dutalis besar yang
sukses di berbagai negara, kini dirinya menjadi duta besar di Jepang bersama
istrinya yang kebetulan berasal dari negara sakura itu. Sedangkan Fred memiliki
usaha restoran makanan prancis yang sudah dibangunnya sejak dirinya kuliah
memasak. Aku ingat perjuangannya agar dapat sepandai Mike dalam memasak.
Angelica menganggukan kepalanya dengan
yakin. “Pekerjaan ini tidak mungkin kau kerjakan sendiri dengan suamiku,
Alicia. Kau butuh orang lain, siapa lagi kalau bukan keluarga besarmu? Rencana
mereka semua akan tinggal disini.”
“Mengapa tidak di New York saja? Aku bosan
harus berduaan dengan laki-laki penguntit itu.” Kataku, mengeluh.
Bayangkan saja dirimu diikuti oleh
seseorang setiap harinya dan kemana saja. Kau bekerja diikuti, kau belanja
diikuti, kau tour diikuti, dan
sebagainya. Hari-hari biasaku selalu diikuti oleh Calvin kemanapun itu. Sampai
aku harus rapat di China satu bulan yang lalu pun dirinya juga mengikutinya.
Jika dirinya berguna dalam pekerjaanku, mungkin aku akan merasa lebih ringan.
Tapi dirinya menambah beban di kepalaku.
“Kau beruntung diikuti laki-laki tampan.”
Katanya sedikit berbisik.
Aku bingung apa maksudnya.
Dia mengerti mengapa tiba-tiba aku
kebingungan. “Calvin masih terlihat begitu muda tapi dewasa. Pasti teman-teman
masa SMA-nya tidak percaya bahwa dirinya masih berwajah mirip setelah
kelulusan. Kau tahu, setelah kau pindah sekolah banyak cewek-cewek langsung menyatakan
cinta mereka kepadanya lewat cara apapun. Ada yang lewat surat, ada yang
langsung menyatakan di depannya, ada yang lewat temannya, pokoknya macam-macam.
Setelah kejadian itu, Calvin memutuskan untuk membolos satu minggu agar tidak
diganggu dengan fans mudanya.” Angelica terkikik geli mengingat masa SMA-nya
tanpa diriku. “Lalu ada adik kelas yang sangat cantik sekali. Dia murid baru di
sekolah dan masuk jurusan bahasa kelas dua. Dia tidak dapat berbahasa Indonesia
dan Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Dirinya berkulit putih mulus dan bermata
violet yang indah. Dirinya sangat pemalu yang membuat semua orang menjadi gemas
dengannya. Sepertinya Calvin terpikat dengannya. Tapi diantara mereka tidak ada
yang menyatakan ketertarikan mereka. Banyak yang menyetujui kalau mereka akan
jadian tapi ternyata Calvin dengan tegas berkata tidak.”
Akhirnya Angelica selesai dengan ceritanya.
Mendengar itu membuatku sedikit cemburu dan menyesali aku pindah sekolah waktu
itu.
“Kau tahu, Alicia. Rumor dia pernah berpacaran
dengan gadis itu. Oh, aku lupa memberitahumu siapa nama gadis itu. Namanya
Primrose Regian. Tapi setelah banyak orang memojoknya untuk jadian mereka
memutuskan untuk putus. Pokoknya dia cewek paling cantik disekolah waktu itu.”
Ternyata dirinya belum selesai juga. Maka,
aku menunggunya untuk terus melanjutkannya. Tidak penting membicarakan gadis
kecil bernama Primrose Regian itu. Lagipula itu aku tidak memiliki permasalah
dengannya. Kenal saja tidak.
Suasana sepi diantara kedua ibu ini.
Angelica sudah selesai dengan ceritanya dan kini dia mengambil piring-piring
yang sudah bersih setelah mesin berbunyi “ting”. Aku membantunya membawanya ke
lemari piring lalu tiba-tiba dirinya bertanya:
“Kau tidak tertarik dengan apa yang
kuceritakan tadi, Alicia?”
Aku menutup pintu lemari piring yang besar
itu. “Tidak juga. Masa lalu tidak harus dibalas.” Balasku sedikit terdengar
kedataran nadaku.
“Atau kau cemburu?” tebaknya.
Jika sekarang wajahku memerah, itu
benar-benar memalukan. Karena tidak mungkin aku cemburu hanya karena cerita
bahwa Calvin berpacaran dengan seorang gadis yang sangat cantik.
“Tidak mungkin. Itu masa lalu, Angelica.”
Jawabku cepat-cepat sebelum wajahku merona.
“Ya sudah, lagipula cinta pertamamu sudah
berlalu.” Katanya, mendukungku melupakan masa lalu.
Dari semua anggota keluarga Bryant, hanya
Angelica saja yang tidak mengetahui bahwa aku mengalami lupa ingatan. Selain
itu, tidak ada yang tahu juga kalau aku dahulu pernah berteman dengannya
kecuali Mike. Dahulu, Michael pernah menyamar sebagai seorang siswa di sekolah
menengah akhirku, Recon Highschool, yang bernama Vincent. Vincent adalah orang
yang penyakitan dan lemah, dirinya sering tidak masuk dengan alasan dirinya
ceck up di rumah sakit, atau di rawat di rumah sakit. Awalnya aku tidak percaya
bahwa ternyata dirinya adalah kakakku yang delapan tahun lebih tua dariku. Dan,
alasan membolosnya sekolah adalah bekerja membantu papaku yang kerepotkan dalam
perusahaan keluarga.
“Oh ya, aku ingat sesuatu,” Tiba-tiba
Angelica teringat sesuatu. Aku menatapnya setelah melamun sebentar. Ia
menepuk-nepuk dahinya beberapa kali menggunakan telapak tangan kanannya.
“tidak, iya, tidak, iya, tidak, iya, tidak…” sepertinya dirinya sedang
mempertimbangkan sesuatu. Dia memang tidak berubah sejak dahulu, selalu kebingunga
jika mendapat ada pilihan. Setelah mengatakan iya dan tidak sebanyak melebihi
seratus kali (aku menghitungnya karena bosan) akhirnya keputusan pun jadi. Ia
menatapku dengan wajah polosnya.
“Nanti malam, kita tentukan tema pesta
natal lusa. Maksudku setelah makan malam. Aku, kamu, Sasha, dan Claire akan
rapat nanti malam.” Ajaknya.
“Bagaimana dengan istri Fred? Siapa ya
namanya? Aku lupa…” yang aku ingat bahwa nama istri Fred berbau Yunani.
“Namanya Titania,” Kata Angel
mengingatkanku. “dia wanita yang keras.” Terusnya menambah aksen tidak suka.
“Keras?”
“Iya. Walaupun dirinya lebih menampilkan
ketidakadaan emosinya, sebenarnya dirinya orangnya keras. Maksudku didikannya
militer sejak dia masih kecil.” Jawabnya.
“Lalu, kau belum menjawab pertanyaan kapan Fred
dan keluarga kecilnya kemari.” Protesku.
“Mereka hanya bisa datang besok. Sepupu
Titania melahirkan pagi tadi, jam satu atau setengah dua pagi.”
Aku menepuk pundaknya dengan ringan. “Jika
kau jawab sedari tadi, pasti sudah selesai.” Aku berkata kepadanya, lalu aku
meninggalkan dapur. Dengan langkah bosan aku melewati ruang makan keluarga dan
beberapa koridor panjang. Sambil berjalan aku berpikir, apakah penyakit Calvin
itu bisa menular? Tapi akhir-akhir ini dirinya tidak kambuh seperti biasanya.
Sekarang gantian Angelica yang kumat. Setahuku dirinya tidak seperti itu.
Akhirnya aku sampai ke tempat tujuan. Zack
menungguku di ruang kerjanya. Aku duduk di sofa yang empuk sekali sehingga
dapat membuat pantatku masuk lebih dalam ke sofa. Aku jamin lama-kelamaan duduk
disini, tubuhku pasti sudah ditelan dengan sofa ini.
“Tak perlu terburu-buru.” Kata Zack sambil
mengacak-acak di atas mejanya.
Aku mengintipnya di balik kursi seberang
yang menutupiku. Zack masih dengan kebingungan mencari sesuatu yang berada di atas
mejanya. Dengan penasaran aku bangkit berdiri dan mendekatinya. Saat itu juga,
Zack langsung membacakan isi dari laptopnya yang sedari tadi berada di atas
meja.
“Rapat tahunan dengan Riicon. Permasalahan
tiap tahunnya.” Dia memutar lapotnya kearahku. Aku membacanya. “Mike selalu
bisa mempertahankan Riicon berada di bawah kita, jadi ini tantangan baru
untukmu.” Katanya selagi aku sedang membaca surat resmi rapat yang diadakan di
Kalimantan.
Aku terus memandang layar tanpa berkedip.
Kalimantan adalah sebuah pulau terbesar di negara asalku, Indonesia. Karena
melihat tulisan itu, aku teringat dengan segala sesuatu yang pernah aku alami
di pulau itu. Pulau itu menyimpan kenangan tersendiri untuk kisah-kisah masa
mudaku. Aku menjadi ingat aku bersekolah di sana dengan seorang lelaki yang
bodoh. Di tempat itu juga aku bisa merasakan cinta untuk pertama kalinya
setelah aku menyadari bahwa aku ini tidak sendirian di dunia ini. Semua yang
terjadi di sana membuatku berdiri disini sekarang. Mengapa aku bisa bertemu dengan
keluarga besarku, mengapa aku bisa hidup di negara besar Amerika sekarang,
tentu saja itu karena semua yang telah terjadi kepadaku di pulau itu. Jika
tidak, semuanya ini tidak akan kurasakan. Well,
lebih tepatnya karena dia.
He
had given me more than love, he had given me everything that I want. Bisakah aku berkata bahwa dia
mencintaiku? Karena semua sebab-sebab itu? Iya, aku yakin benar. Tetapi itu
dahulu, bukan sekarang dan ke depannya.
Kucoba untuk menegarkan hatiku sekarang.
Aku sudah berusaha keras untuk menahan gejolak rasa sakit yang akan
menyerangku. Kutatap Zack yang sudah menunggu jawabanku.
“Aku bisa urus ini sendirian.” Kataku
dengan suara yang sedikit bergetar.
Setelah mendengarku, kulihat matanya yang
sedikit curiga kepadaku. Aku tetap diam menunggu apa yang akan dikatakannya.
Selain itu, aku juga tidak ingin memulai permasalahan.
“Kau
yakin?” tanyanya masih dengan curiga denganku.
“Aku bisa mengurusnya, Zack. Asalkan bagian
dalam masih dalam keadaan stabil.” Jawabku asal semoga dia tidak mengungkit
masalah mengapa aku tiba-tiba sedih.
Maksud dari bagian dalam adalah bagian
dalam perusahaan. Di perusahaan keluargaku ini dibagi menjadi dua bagian: luar
dan dalam. Zack menurus bagian dalam yang sampai saat ini masih berjalan dengan
stabil. Sedangkan aku mengurus keduanya—bagian dalam dan luar. Tapi aku lebih
sering mengurus bagian luar karena aku lebih sering menangani masalah seperti
masalah yang baru saja kudapat.
Di bagian dalam perusahaan adalah bagian
yang rahasia. Tidak ada perusahaan yang tahu soal ini kecuali perusahaan saham
milik Riicon. Bagian dalam ini juga mengurus organisasi rahasia, pembuatan
berbagai senjata, uji coba dalam bidang medis, sampai uji coba teknologi. Dari
perusahaan dalam mengeluarkan beberapa merk atau barang jadi yang tidak begitu
berguna bagi perusahaan tapi baru di masyarakat luas. Ini bisa dibilang
teknologi di dalam perusahaan lebih canggih daripada masyakat luas pada
umumnya. Kami sudah memiliki keamanan yang level S yang tidak ada satu pencuri
pun dapat melewatinya. Berbeda dengan keamanan di bank-bank dunia, nyatanya
masih ada bank yang dirampok ataupun dibom nuklir. Keamanan jika tidak
ditingkatkan sesuai kemajuan teknologi, itu akan sama saja karena teknologi hacker cepat berkembang.
Soal hacker
yang sudah kami pandang itu adalah kelas C, sampai saat ini tidak ada satupun hacker yang dapat menyelobos masuk ke
bagian dalam perusahaan. Kami memberikannya kelas C karena bisa melewati
pertahanan luar yang tingkat keamaannya masih sama dengan bank-bank di dunia.
“Kalau begitu, kau harus mempekerjakan
Calvin Riicon dalam urusan ini.” Kata Zack yang sudah tidak menggunakan nada
penasaran. Syukurlah.
“I’m sorry?” tanyaku meminta pengulangan.
“Kau harus mempekerjakan dirinya dalam
kasus ini. Dia akan sangat membantu.” Katanya pasti dan sangat yakin. Kedua
matanya menatapku dengan harapan kecil bahwa aku akan melakukannya.
“Aku perlu alasan.” Kataku.
Zack bangkit berdiri lalu mengajakku ke
sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruang kerjanya. Masuk ke dalam ruangan itu
harus memiliki ID agen dan masih harus melewati beberapa keamanan yang ada.
Setelah lolos dari para keamanan itu, Zack membawaku ke sebuah labolatorium.
Dia duduk di sebuah kursi yang dapat berputar.
“ID Zack Bryant, number 280897,”—dia
meletakan setiap jarinya pada sebuah lingkaran yang berada keyboard komputer yang belum muncul.—“password *******.”
Sebuah papan yang kumaksudkan keyboard komputer yang belum muncul itu
akhirnya keluar setiap digit angka, huruf, dan fungsi-fungi lainnya. Zack
menekan-nekan papan itu sambil melihat layar besar di depannya. Lalu keluarlah
sosok dari layar besar itu, maksudku gambar tiga dimensi dari seseorang yang
sangat kukenal. Di samping gambar itu terdapat data-data:
Calvin Riicon
Identitas pribadi
Identitas umum
Status
Skill
Riwayat
Zack memilih identitas umumnya maka muncul
halaman baru yaitu biodata umum yang boleh dilihat orang lain atau bisa
dibilang data-data pada KTP. Tapi disini ditulis jelas pendidikan yang dijalani
Calvin.
“Kau lihat dia lulusan dalam bidang ekonomi
akutansi, kedokteran, dan bisnis. Aku bilang dia akan berguna untukmu.” Kata
Zack.
Aku masih terkejut melihat hasil prestasi
Calvin yang luar biasa itu. Aku saja kuliah hanya sampai S1 saja, sedangkan
dirinya sudah akhir dari perguruan tinggi kecuali jurusan kedokterannya yang
sampai S2 saja. Sepintar itukah dirinya? Tapi anehnya dirinya masih kelihatan
seperti orang bodoh.
“Bisa kupertimbangkan.” Kataku dengan nada
kepemimpinanku.
Zack memutar kursinya menjadi menatapku.
“Sebelum mengawalmu, dia bekerja sebagai manager di saham pusat keluarganya.
Saat dipegang dirinya, perusahaan itu langsung meraih keuntungan yang cukup
tinggi sehingga nilai saham menjadi meloncat. Tapi, setelah dia mengawalmu,
nilai jual saham merosot menjadi normal kembali.” Katanya.
“Aku mempercayai apa yang kau katakan dan kau
coba yakinkan kepadaku. Tapi, kau seharusnya bercerita dahulu dimana kita.” Aku
memperhatikan sekitar yang kosong.
Zack menengok ke jam tangannya yang
tersembunyi di balik kaos lengan panjangnya. “Sudah jam makan siang, Alicia.
Pantas sepi.” Katanya.
“Kita dimana?” tanyaku masih menuntut.
“Pusat dari perusahaan dalam. Di sini
adalah bagian labolatorium yang menguji tentang obat-obatan, lalu yang
bertuliskan A1 itu adalah gudang senjata, A2 adalah kantin para pekerja, A3
adalah uji elektronik. Lalu, A0 adalah aula besar. Mike sering berlatih di
sana. A4 untuk urusan persenjataan baru, A5 untuk uji coba reaksi kimia—“ dan
bla bla bla bla, terusku di dalam hati. “yang terakhir itu adalah jalan
keluarnya.” Singkat kata dia mengakhiri kata-katanya.
Lalu kami meninggalkan tempat itu dan
sesegera mungkin ke ruang makan keluarga untuk makan siang bersama.
***
Zack tinggal di sebuah pabrik dari
perusahaan. Dulunya itu adalah tempat tinggal papaku, sedangkan rumah yang kutempati
di New York adalah milik Mike. Di pabrik besar ini, disediakan khusus untuk
rumah besar dan mewah bagi yang menjaga perusahaan bagian dalam. Para
pekerjanya juga tinggal di pabrik itu di tempat yang sudah disediakan. Bangunan
besar ini juga sebagian ada yang berada di bawah tanah. Di lantai paling dasar
dari bangunan ini terdapat sebuah bom atom yang dapat menghancurkan bangungan
itu sendiri. Itu untuk mencegah orang-orang mendapatkan informasi, jika kami
mengalami kebobolan atau bangunan itu di serang sekelompok teroris maka bom
akan diluncurkan.
Pada jam kerja setelah jam makan siang, aku
kembali ke pusat dari bagian dalam perusahaan. Ada sesuatu yang ingin kuketahui
dari setiap sisi pusat itu. Untungnya ada seorang pegawai yang mau menemaniku
untuk mengetahui ini itu. Seperti pemandu wisata, dia dapat menceritakannya
sampai detail.
Kami memulai dari A1 atau gudang senjata.
Disana banyak sekali jenis senapan tempur, robot tempur, dan macam-macam untuk
keperluan perang. Lalu kami ke kantin pegawai. Tempat itu sangat bersih sekali
dan nyaman untuk digunakan makan bersama. Selain itu modelnya sama dengan
kantin di sekolah-sekolah tapi tempatnya lebih mewah dengan aksen warna
putihnya yang mengkilap. Kemudian A3, ada seorang professor sedang menguji
barang ciptaannya yaitu penangkal gravitasi sehingga orang dapat terbang bebas.
Seorang yang menjadi kelinci percobaannya sekarang sudah melayang-layang di
udara. Beberapa orang terus memperhatikan perkembangannya yang dicatat oleh
komputer. Tiba-tiba professor itu memintaku untuk mencobanya. Aku menolaknya
dengan halus dan ingin ke tempat lain sesegera mungkin. Aku saja takut naik
pesawat apalagi di suruh terbang tanpa alat bantu kecuali lingkaran kecil itu.
Kemudian, pemanduku mengajakku melihat aula
besar yang katanya Zack tempat itu adalah tempat dimana kakakku berlatih. Dan
benar adanya. Aula itu sangat besar dan berbentuk lingkaran. Entah berapa
diameternya, intinya aula ini sangat luas. Aku penasaran untuk apa aula ini
dengan luasnya hampir mirip dengan lapangan sepak bola itu.
“Aula ini untuk mengumpulkan pegawai jika
terdapat pengumuman penting. Seperti misalnya adalah pemberitahuan bahwa, maaf,
orang tua dan kakak Anda meninggal. Seluruh staf yang ada langsung mengadakan
rapat langsung untuk menentukan masa depan perusahaan. Sebagian hasil rapat
tersebut juga dari pengmungutan suara dari para pegawai yang ada.” Kata Mr.
Oliver kepadaku.
“Jadi itu pilihan semua anggota bahwa
Calvin harus mengawalku?” tanyaku.
“Benar sekali, Madame. Tidak ada harapan
lain selain itu. Mr. Calvin Riicon adalah satu-satunya agen utama sekarang,
maka kami mengusulkan untuk mengawal Anda.” Jawabnya.
Aku memandang lapangan sepak bola tanpa
rumput dan tempat duduk penonton itu. “Katanya Michael dulu sering berlatih
disini. Apa itu benar?”
“Mr. Michael Bryant memang sering berlatih
di sini bersama Mr. Calvin Riicon. Mereka berdua terlihat akrab tapi terasa
canggung satu sama lain.”
Aku mengoreksi apa yang dikatakannya.
Selama kakakku masih hidup, sebenarnya keakraban antara Calvin dan Mike tidak
terjalin dengan baik. Kata kakak mereka tidak saling cocok satu sama lain dalam
menjalin keakraban. Itulah sebabnya
mereka jika diakrabkan secara paksa di dalam batin mereka, sehingga terasa
sangat canggung.
Mr. Richard Oliver kemudian membawaku ke
sebuah labolatorium. Ternyata tidak sembarang orang yang masuk ke dalamnya.
Maksudnya hanya orang-orang khusus yang dapat masuk ke dalamnya. Mr. Oliver
saja tidak diperkenankan untuk masuk sebatas dinding kaca anti pecah itu. Jadi
kami berdiri di luar ruangan itu sambil mengamati apa yang sedang diuji coba.
“Di ruangan itu,” Mr. Oliver mulai angkat
bicara “adalah ruangan khusus untuk uji coba beberapa serum.” Aku mendengar
beberapa nada yang canggung. Kurasa dirinya ingin mengatakan sesuatu hal yang lebih
sopan kepadaku.
“Maksudmu, senjata rahasia perang itu?”
tanyaku.
“Bisa dibilang begitu, Mrs. Bryant.”
Bahasanya kaku.
Aku melihat kembali ke dalam labolatorium.
Disana para pekerja di sana melakukan eksperimen pada sebuah hewan sebagai
kelinci percobaan. Di sisi lain, tiga orang mengamati perkembangannya lewat
komputer. Lalu, ada seseorang yang hanya duduk menonton tanpa ada pekerjaan
lain. Aku tidak tahu siapa orang yang duduk di kursi putar itu. Aku hanya
melihat pucuk kepalanya saja, lagipula kursi itu juga membelakangiku.
“Kurasa sekarang masih jam kerja.” Kataku
sedikit meledek.
Tampak senyum aneh dari Mr. Oliver.
“Sepertinya pemandu Anda yang asli sudah menunggu anda.” Katanya.
“Maksudnya?” tanyaku tapi Mr. Oliver sudah
terlebih dahulu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Aku menengok ke arah orang yang duduk
santai itu. Saat yang sama, kursi diputar dan aku dapat melihat seseorang yang
sangat kukenal duduk di sana. Ekspresinya tampak dia sangat pintar dan juga
sedikit kesal. Dia kesal denganku dan aku dianggapnya bodoh.
Tiba-tiba dirinya menghilang dalam kejapan
mataku dan berdiri di sampingku. “Percuma saja lari dariku.” Katanya kepadaku,
meledek.
Rasanya aku ingin pergi dari sini
secepatnya. Tidak enak memiliki pengawal yang dapat melihatmu dengan jauh.
Pasti dia akan dapat menemukanmu yang sedang bersembunyi. Padahal aku sudah
diam-diam pergi ke tempat ini.
“Sakit perutmu sudah sembuh?” tanyaku sok
perhatian dengannya. Sebenarnya aku mengambil kesempatan dimana dirinya sedang
ke belakang karena sakit perut.
Dia menatapku bosan. “Jangan sok peduli
begitu, kau juga yang meracuni makananku tadi.” Katanya.
Aku tersenyum tanpa ada dosa. Yeah, aku
memasukan sesuatu ke dalam makanannya sehingga dirinya sakit perut ingin
membuang kotorannya. Sepertinya dia terlalu pintar untuk dibohongi.
“Racunnya tidak begitu berpengaruh
kepadaku, aku hanya sakit perut sebentar dan langsung sembuh saat aku sampai di
toilet. Lagi pula, Mrs. Bryant—“
“Alicia.” Kataku kesal.
“Anda jangan seperti anak kecil yang ingin
main kejar-kejaran.”
Dia meledekku atau mengataiku? Intinya dia
membuatku kesal.
“Ayo, kau ingin masuk bukan?” katanya
tiba-tiba mengganti arah pembicaraan.
“Masuk ke dalam ruangan itu?” tanyaku
sambil menunjuk ke lab itu.
“Bukannya kau sedang melakukan tour di
sini? Kau boleh masuk kok.”
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk. Dia
benar-benar professional dalam berbagai bidang. Dia bisa berperilaku seperti
seorang pemandu wisata yang sedang menerangkan ini itu yang sedang dilihat. Dia
juga pintar menarik perhatianku pada sebuah serum yang membuat aku seperti ini.
Selain itu, dia memberikanku detail bagaimana cara membuat serum tersebut dan
juga efek-efek samping jika serum itu tidak cocok di suatu tubuh. Sampai saat
ini, serum itulah yang paling berhasil dan juga paling aman untuk manusia. Kata
Calvin, serum itu telah membuat sepuluh orang tidak mengalami cacat fisik
ataupun nonfisik dan kemampuan dari sepuluh orang itu berkembang dalam satu
bidang. Katanya lagi, sepuluh orang itu adalah orang-orang yang beruntung dari
seratus kelinci percobaan. Sepertinya Calvin harus melarat apa yang
dikatakannya terutama kata ‘aman’ itu sendiri.
Setelah di lab itu, dia membawaku keluar
dan berkumpul dengan anggota keluargaku yang lain. Semuanya sedang asik di
ruang keluarga terutama para pemuda yang sedang bermain sebuah permainan dunia
maya. Janie Bryant, anak satu-satunya Zack dan Angelica, suka sekali hal-hal
yang berbau teknologi komputer apalagi soal game
di dunia maya. Di zaman sekarang sudah tercipta dunia virtual game. Katanya itu lebih asik daripada
menggunakan joy stick ataupun mause yang sering digunakan karena para
pemainnya dapat menggerakan seluruh tubuh mereka. Jujur saja, aku tidak begitu
mengerti soal itu semua.
Ada satu hal yang menjadi perhatianku
sekarang ini. Anakku, Kevin, sepertinya tampak tertarik dengan ponakanku itu.
Begitupun juga Janie yang juga tampak tertarik dengan putraku. Umur gadis itu
sekitar satu tahun lebih muda dari Kevin dan dia baru menginjak kelas dua SMA
tahun ini. Bisa kulihat dari keakraban mereka dan pembicaraan mereka yang
diam-diam kudengarkan saat aku duduk di dekat mereka. Ternyata Janie
menceritakan pengalaman lucunya bersama orang tuanya saat perkemahan musim
panasnya. Kukira awalnya ia menceritakan tentang game.
Tiba-tiba Angelica bertukar tempat duduk
dengan Calvin dan sekarang duduk di sebelahku. Dia tersenyum kepadaku karena
aku tahu apa maksudnya. Katanya,
“Sepertinya anakmu tertarik dengan anakku.
Dari tadi pagi mereka sudah begitu akrab seperti ini.”
Aku menatap putraku yang asik mendengarkan
itu. “Kurasa anakmu juga tertarik dengan anakku.” Balasku.
“Mungkin.” Jawab Angelica. “Tapi, Janie
memang orangnya seperti itu. Dia suka sekali menjalin hubungan yang akrab
dengan orang lain entah dia kenal ataupun tidak. Dia juga orangnya suka
bercerita hal-hal yang baginya sangat menarik untuk diceritakan. Jadi, aku
tidak tahu pasti.”
Aku menyentuh pundak Angelica lalu
meremasnya sedikit. “Aku gemas.” Kataku.
“Ada yang salah?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Maaf,” aku mengganti
bahasaku. “aku takut kalau anakku diberi harapan palsu olehnya.” dengan
bahasaku yang lain ini, mungkin beberapa orang saja yang tahu.
Angelica menatapku tampat heran. “Kurasa
tidak akan,” balasnya menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang
kugunakan. “dia orangnya mengerti tentang perasaan orang lain.”
“Kau yakin? Aku tidak ingin anakku
mengalami sakit hati karena cinta.”
“Aku yakin,”
“Apa yang kalian bicarakan, ibu-ibu?” tanya
Zack yang ternyata mendengar percakapanku dengan Angelica. Wajahnya benar-benar
penuh curiga.
“Tidak ada yang spesial untuk kau dengar, Honey.” Jawab Angelica lalu tersenyum.
“Dasar ibu-ibu.” Gerutu Zack.
Aku melihat Zack yang wajahnya tampak
bosan. Di musim dingin ini memang tidak banyak aktivitas penuh apalagi saat
mengambil hari cuti. Ini memang enaknya mengambil masa-masa dengan keluarga
tapi akan lebih seru jika diisi dengan kegiatan daripada berkumpul saja di
ruang keluarga seperti ini. Bagiku ini juga membosankan.
Pandanganku berubah ke arah Calvin. Jika
Zack menguping dengan bingungnya, pasti Calvin mendengar dan mengerti bahasa
yang kugunakan bersama Angelica. Itulah tidak enaknya didekat Calvin yang serba
tahu itu.
“Angelica.”
Panggilku kepada teman lamaku.
Dia menengok. “Ya?”
“Kau punya sesuatu yang menyenangkan? Aku
bosan dan suamimu juga.” Kataku sedikit berbisik.
“Aku terbiasa menemani anakku bermain.
Bagaimana kalau menonton TV.” Usulnya.
“Aku bosan menonton televisi karena tidak
ada siaran yang bagus. Aku ingin hal yang menyenangkan.”
Dia tersenyum teringat sesuatu yang geli. “Jika
kita masih muda, kita bisa main perang salju.”
“Tidak, aku tidak mau mengeluarkan
keringat.”—padahal permainan itu tidak membuatku berkeringat—“aku ingin sesuatu
yang menyenangkan di dalam ruangan ini. Kecuali permainan.”
Angelica cemberut. “Yang menyenangkan itu
adalah permainan, Alicia. Jika bukan permainan apalagi.”
“Membaca buku,” jawabku yang teringat
dengan novel yang kubaca saat terbang ke tempat ini kemarin.
“Itu namanya asik sendiri. Bagaimana kau
ikut saja denganku?” Dia menarik tanganku dan aku ikut bangkit berdiri
dengannya. “Urusan ibu-ibu.” Katanya kepada suaminya yang hendak bertanya.
Angelica menarikku dengan kuat sehingga
setiap langkahku seperti diseret olehnya. Dia membawaku ke dapur dan aku
dimintanya untuk membantunya. Musim dingin ini rasanya seperti musim panas,
katanya. Maka aku mengerti apa maksudnya. Dia membuka lemari dingin yang sangat
besar atau lebih tepatnya seperti ruangan kulkas seperti di restoran besar. Di
dalamnya banyak sekali makanan untuk musim dingin seperti daging-daging beku,
susu beku, roti beku, dan lain-lain. Kulihat Angelica meminta bantuan pelayan
yang bekerja di dapur untuk mencarikan bahan-bahan yang hendak kami buat.
Anehnya dia tidak meminta bantuanku.
“Aku bisa membantu mencarikan apa yang kau
cari.” Kataku mengusulkan diri. Aku tidak ingin berdiri sendirian di luar
ruangan kulkas itu.
Dia setuju dan sebenarnya sangat setuju.
Dia memukul kepalanya dengan ringan karena dirinya lupa bahwa aku sangat
berguna dalam hal ini. Maka dia memberitahuku apa saja yang akan kuambil di
dalam dan memberikanku sebuah keranjang. Kemudian aku masuk dan mencari
bahan-bahan itu.
Kebanyakan bahan-bahan itu adalah
buah-buahan tropis yang segar. Lalu aku keluar dengan banyak membawa buah-buah
itu. Angelica mengambilnya dan memaskan buah-buah itu agar tidak beku dengan
alat pemanas khusus untuk menormalkan suhu suatu barang. Dia menekan pada
subjek yang ada yaitu buah. Maka buah itu akan dalam keadaan normal nantinya
dalam beberapa detik. Kemudian dia mengeluarkannya dan memasukannya lagi ke
dalam keranjang. Aku mengambil dua pisau besar untuk mengupas semua buah-buahan
itu. Kecepatan tanganku memang luar biasa cepat sehingga aku bisa mengupas
lebih dari delapan puluh persen buah yang ada. Angelica hanya tersenyum karena
merasa diuntungkan karena adanya diriku.
Aku mendapat bagian untuk memotong
buah-buah itu menjadi kotak-kotak kecil, sedangkan Angelica menyiapkan sirup
dan susu. Dalam beberapa menit aku sudah selesai dengan buah-buahan itu dan
kumasukan ke dalam mangkok besar. Kemudian Angelica menuangkan susu kental dan
sirup berwarna hijau ke dalamnya. Selain itu dia juga sudah memasukan banyak
jeli yang dipotong kotak kecil-kecil. Lalu aku menuangkan air putih dan
Angelica mengaduknya agar semuanya tercampur.
Setelah itu aku mengambil beberapa gelas
yang sudah terisi oleh es batu. Angelica menuangkan sup buah yang ada di
mangkok besar itu ke dalam setiap gelas sampai penuh. Setelah semua gelas
terisi, aku membawanya ke ruang keluarga dan Angelica membawakan mangkok besar
itu.
Kubuka pintu keluarga yang tertutup itu
dengan kakiku. Ternyata tendanganku terlalu kuat sehingga pintu tersebut
menatap dinding dengan keras mengakibatkan suara yang keras dan menggema. Semua
perhatian menjadi ke arahku dan Angelica.
“Es untuk semuanya.” Kataku sebagai
pembukaan.
“Apa itu Mom?” tanya Vania yang penasaran.
Dia bangkit berdiri dan melihat apa yang sedang kuletakan di atas meja.
“Bisa dikatakan ini adalah Fruit Soup, ini adalah minuman unik asal
negaraku dahulu.” Kataku.
“Terdengar asing tapi sepertinya ini enak.”
Kata Kevin yang sudah berdiri di samping kakaknya. “Kalau boleh tahu, Mom lahir
dimana?” tanya Kevin.
“Kau tahu Negara Indonesia? Mom sejak kecil
disana sampai umur tujuh belas tahun. Lalu aku pindah ke Amerika untuk sekolah
di sana dan akhirnya menetap juga di sana.” Jawabku.
“Kau bisa ingat semuanya di masa kecilmu,
Alicia?” tanya Zack curiga.
“Hanya beberapa.” Dustaku. “Aku ingat bahwa
aku tinggal bersama nenek dahulu. Dan seterusnya Mike yang menceritakannya
dahulu, sejujurnya aku masih bingung mengapa aku pindah sekolah. Kakak tidak
memberitahuku soal itu.” Aku mengambil dua gelas dan kuberikan kepada
anak-anakku.
“Hanya separo kenangan saja yang kau
ingat?” Zack masih bertanya dengan curiga.
Aku mengambil dua gelas lagi. Kuberikan satunya
kepada Calvin dan sisanya untukku sendiri. “Itu masa lalu.” Kataku. “Tidak
perlu terlalu diingat-ingat. Setidaknya aku senang karena aku masih mengingat
nenekku dulu.” Terusku.
Zack akhirnya percaya dan kuyakini bahwa
dia masih curiga. Aku masih bisa menutupinya darinya dan ada seribu alasan yang
akan kuberikan kepadanya jika terus bertanya semacam pertanyaan tadi. Keadaanku
yang amnesia ini harus tetap berjalan apa adanya dan aku tidak mau semua orang
tahu bahwa aku mengingat segalanya termasuk alasan mengapa aku pindah sekolah
waktu itu.
Aku melihat Angelica yang tampak heran apa
yang dimaksudkan oleh suaminya tadi. Memang seharusnya dirinya kuberitahu apa
yang sebenarnya terjadi padaku. Aku tidak ingin dirinya berkata bahwa aku ini
tidak amnesia. Dia memang bahaya yang sedikit serius bagiku.
Setelah semuanya menghabiskan es yang ada
di gelas dan di mangkuk, aku mengajak Angelica untuk mengembalikan semuanya
benda-benda kotor itu. Dia setuju. Kami kembali ke dapur untuk mencuci cucian
kami.
“Jangan beritahu siapa-siapa bahwa aku
sebenarnya tidak amnesia.” Kataku kepadanya setelah kami membereskan semua
mangkuk dan gelas yang sudah bersih.
Dia mengeringkan tangannya dengan serbet.
“Aku merasa aneh dengan itu. Ada apa denganmu sebenarnya, Alicia?” tanyanya.
Tatapannya mengandung bahwa dia menuntut kebenaran. Maka kuceritakan cerita itu
semuanya kepadanya.
Yang kusenangi dari Angelica adalah dirinya
cepat memahami perasaan seseorang. Aku tidak perlu bercerita panjang lebar
untuknya tapi dirinya sudah akan mengerti. Lalu dia memagang kedua pundakku.
“Kau sabar ya,” katanya. “ada harapan kecil
untukmu.” Terusnya memberikanku semangat.
Saat ini aku memang masih bisa tersenyum
dengan sesukaku. Hatiku sedang tidak berduka sekarang. Semua beban yang terus
menghantuiku kini sirna karena aku sudah melihat jalanku yang Calvin bukakan
untukku saat di pesawat kemarin. Dia laki-laki yang baik sekali. Kuberikan
sebuah senyuman yang sudah lama sekali tidak kukeluarkan kepada Angelica. Dia
juga membalasku dengan senyuman khasnya. Lalu kami kembali ke ruang keluarga
untuk berkumpul dengan keluarga kami masing-masing.
Komentar
Posting Komentar