Aku diam melamun duduk di meja nomor tujuh.
Sekarang aku berada di sebuah restoran untuk makan siang. Aku masih belum
menemukan kado untuk putraku. Menjadi single
perent ternyata cukup rumit juga. Seandainya aku bisa merubah masa lalu…
Tiba-tiba kurasakan bahwa pengawalku
menyentuh tanganku yang berada di atas meja. Dia tenyata memperhatikanku dari
tadi melamun tanpa sebab. Kedua alisnya bertaut tanda penasaran. Kulihat
dirinya dengan tanpa ekspresi dan saat itu juga ia menarik tangannya kembali.
“Ada apa?” tanyanya akhirnya.
Aku diam sebentar. “Masa lalu,” kataku
pelan lalu aku menyeruput minumanku. Aku merasa bodoh karena menjawabnya dengan
jujur.
Kulihat dirinya kembali dan syukurlah dia
tidak memperhatikan diriku lagi. Aku sedikit lega aku bisa bergalau sendirian
tanpa ada orang lain lagi.
“Hei,” dia memanggilku. “jangan diingat
lagi.” Terusnya. Aku lupa bahwa dia mengetahui itu—memang tahu.
“Aku selalu mengingatnya jika aku mengingat
anak-anakku.” Jawabku. Tiba-tiba aku merasa ingin mencurahkan isi hatiku
padanya.
“Lalu?” tanyanya sedikit ketus.
Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.
Aku mengubah pemikiranku tadi. Dia tidak pantas untuk tempat curahan hatiku.
Percuma saja, suatu saat pasti aku akan sakit hati karena dirinya yang ketus
itu.
Salad ayamku akhirnya tiba juga. Aku sudah
menunggu cukup lama dengan kegalauanku selama ini. Benar juga katanya, masa
lalu yang suram jika diingat akan terus membawa duka. Lebih baik aku tidak
memikirkan itu lagi untuk ke depannya. Benar-benar menyakitkan.
Selesai makan siang, aku jalan-jalan
kembali mencari-cari sesuatu yang bagus untuk putraku. Anakku yang paling muda
ini sudah kuliah walaupun umurnya masih tujuh belas tahun. Dia sangat pintar
sehingga dia mengahabiskan masa-masa SMP dan SMA hanya empat tahun. Aku senang
jika aku memiliki anak seperti dirinya. bukan hanya pintar, tetapi kemandirian
dan sikap kedewasaannyalah yang membuatnya pantas menjadi kepala keluarga
sebenarnya. Sebenarnya aku juga sedikit iri karena aku juga masih sedikit
kekanak-kanakan. Selain itu, dia juga mau-maunya meladeni sikap
kekanak-kanakanku ini.
Kucoba ke toko pakaian, tidak ada yang
cocok dengan selera. Toko sepatu, hasilnya juga sama. Lalu aku mencoba ke toko
gadget. Kurasa dia akan menyukainya. Tapi saat aku mengingat sesuatu tentang
kesukaannya, aku langsung tersadar. Kado yang pantas adalah kado yang tidak
pernah dia terima sebelumnya. Benar juga, aku belum pernah menguji bakat
lainnya darinya yang tak pernah dikeluarkan. Kurasa itu akan bagus.
Kutarik pakaian pengawalku dan kubisikan
permintaanku kepadanya. Dalam urusan seperti ini, dia pasti lebih mengetahuinya
dari pada aku. Awalnya dia menolak dengan berbagai alasan, tapi aku sedikit
merengek kepadanya karena ini sangatlah penting—untuk anak kesayanganku. Akhirmya
dia menyerah juga, dan dia akan menelpon orangnya untuk mengantarkan barang
yang kuinginkan secepatnya. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih
kepadanya. Entah perasaanku saja atau memang benar, dia sedikit tertarik jika
aku tersenyum bahagia seperti tadi. Bodoh sekali, aku tidak peduli soal itu.
Setelah berjam-jam berbelanja, akhinrya aku
mengajaknya pulang karena tidak ada kepentingan lagi di luar rumah. Selain itu,
aku juga masih sedikit trauma tentang orang aneh berkerudung itu. Penampilannya
yang mirip malaikat pencabut nyawa itu sedikit membuatku takut karena aku
percaya akan takayul hantu. Tidak hanya itu, aku juga takut kalau orang itu
dikirim oleh seseorang untuk membunuhku. Sebenarnya aku bisa jaga diri dan aku
juga bukan orang biasa. Bisa dibilang aku sedikit berbeda tapi perbedaan diriku
ini tidak terlalu menonjol dan sempurna bagi orang-orang yang benar-benar
berbeda.
Aku sampai di rumah pukul empat sore.
Kebetulan masih ada waktu sebelum jam sembilan malam. Segera aku meletakan
semua barang-barang belanjaanku di ruang tamu dan menyuruh seorang pelayan
untuk membawanya ke dapur kecuali barang-barang khusus kado untuk anak-anakku
yang ku bawa masuk ke dalam kamarku. Lalu aku mandi dan membungkusi kado-kado
itu. Tapi masih ada yang kurang. Sesuatu yang sangat spesial yang ingin aku
berikan kepada anakku terutama putraku. Bukan hanya benda yang kupesan lewat
pengawalku itu saja, melainkan milikku sendiri yang lama sekali tidak
kugunakan. Benda itu sebenarnya berada di rumahku sebelumnya dan aku sudah
menyuruh orangku untuk mengantarkannya ke rumah keluargaku. Sekitar jam enam
nanti paketku sudah sampai di rumah.
Sekitar setengah enam sore, aku mulai
memasak. Pengawal setiaku melihatku memasak di dapur sambil bermain pisau.
Dilemparnya pisau itu dari tangan kanannya ke tangan kirinya lalu sebaliknya.
Kulihat dirinya seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga
baginya. Wajahnya murung dan aku penasaran mengapa dirinya seperti itu. Aku
tidak bisa tenang memasak jika melihatnya seperti itu, akhirnya kuminta pisau
itu darinya dengan mengulurkan tanganku menunjuk pisau itu. Dia melemparkan
pisau itu kepadaku dan kebetulan yang kutangkap tepat pada pegangan pisau. Jika
tidak, tangaku pasti sudah terpotong oleh pisau itu. Dan lagi-lagi aku akan
melihat ekspresi dari laki-laki itu.
Selesai meracik bumbu, aku keluar dari
dapur untuk mengambil paketku. Pengawalku sedang bermain bola basket di taman
belakang yang kebetulan berada di belakang dapur yang dipisahkan oleh dinding
kaca dan beranda belakang. Taman itu masih berada di dalam ruangan besar
sehingga salju tidak mengotori taman itu. Ini membuatku tenang karena aku bisa
melihatnya melakukan aktivitas yang disukainya. Setidaknya aku juga selalu
memberikannya kebebasan yang baru kali ini dia gunakan. Aku tidak mau menyusahkan
orang lain.
Saat aku menerima paketku, ternyata ada
dua. Yang satunya bentuknya sangat panjang dan sedikit berat. Benda ini
dibungkus dengan kertas dan plastik jadinya aku tidak tahu pasti apa ini. Aku
penasaran apa benda ini sebenarnya.
“Bendanya sudah datang?” tanya pengawalku
tiba-tiba berada di belakangku. Aku membalikan badanku.
Jadi ini benda yang kupesan tadi. Tak
kusangka secepat ini dalam beberapa jam. Kurasa pemaketkan barang tidak secepat
ini apalagi antar negara.
“Ini bendanya? Kok cepat?” tanyaku
penasaran.
Dia mengambil benda panjang itu karena
melihatku kesusahan membawa barang-barang berat.
“Kau bilang secepatnya.” Katanya.
“Bisa esok ataupun lusa, tidak harus hari
ini.”
“Sudah terlanjur. Lalu, kau ingin meletakan
ini dimana?”
Aku mengambil benda yang dibawanya itu dan
membawanya ke kamarku. Aku tidak mau dia mengungkap semuanya yang kurancang
dengan diam-diam ini. Terlebih paketku yang sebenarnya. Kututup pintu kamarku
dan kumasukan barang-barang itu ke dalam lemari pakaianku. Aku menyadari
kendalaku sekarang, aku memerlukan sebuah lemari lagi untuk barang-barang baru
yang cocok dengan benda ini. Kemudian, aku menutup pintu lemari dan tiba-tiba
aku terkejut karena pengawalku berada di dalam kamarku—di depan pintu. Pintunya
masih tertutup rapat.
“Ada apa?” tanyaku. Aku mengenal dirinya
yang suka menyelinap masuk tanpa permisi. Mirip hantu.
“Benda-benda itu akan kau berikan kepada
Kevin?” tanyanya.
“Dia anakku dan dia pantas mendapatkannya.”
Kataku ketus.
Dia mendekatiku sampai sangat dekat
denganku. Tidak ada satu meter diantara kami. Wajah kami benar-benar dekat.
“Kau berlebihan membawanya masuk ke dunia
surammu.” Katanya pelan kepadaku tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kau tidak berhak mengaturku, Calvin.”
Balasku.
Ada tiga hal yang kubenci darinya. Satu,
dia bersikap sok sopan serta resmi kepadaku. Kedua, dia juga terkadang suka
mengaturku entah secara halus atau tidak. Ketiga, dia juga bersikap romantis
kepadaku. Kini, saking wajah kami berdekatan, kami seperti hendak berciuman.
Jantungku berdetak lebih cepat dan semakin cepat. Aku pernah mengalami ini
sebelumnya dimasa mudaku dahulu. Dimana waktu itu aku benar-benar mencintai
seseorang dan akhinrya aku kehilangan dirinya. Lagi-lagi aku merasakan sakit
hati itu. Aku tidak ingin terulang untuk kedua kalinya lagi. Cukup sekali aku
harus merasakan penderitaan menyakitan ini.
Aku menarik wajahku disaat bibir kami
benar-benar sudah bersentuhan. Hanya menempel sedikit kemudian aku menariknya.
Aku melewatinya seperti tidak ada yang terjadi. Kurasa dirinya juga mulai sadar
apa yang hendak diperbuatnya. Aku, mulai tidak peduli dan mencoba untuk lebih
hati-hati darinya. Laki-laki itu juga masih single
sampai sekarang ini. Juga masih tampan dan muda. Tidak ada yang menyangka bahwa
umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, begitupun aku yang melihatnya tiga bulan
yang lalu setelah kami lama tak jumpa.
Aku berjalan ke dapur untuk melanjutkan
memasak. Disamping itu, aku juga mengawasi orang itu dari pandangan jauhku. Aku
bisa mendeteksi sekitarku dalam jarang sekitar seratus meter. Sebenarnya bisa
diperluas jarak deteksinya, tapi aku jarang berlatih untuk itu. Tugasku bukan
itu, tugasku adalah menjaga dan membahagiakan anak-anakku. Tak lebih dari itu.
Menjadi orang yang berbeda memanglah
dirasakan aneh sekali karena perbedaan kekuatan diantara orang yang berbeda
dengan orang biasa. Aku sebenarnya terlahir sebagai manusia lemah dan tak
berdaya. Yang bisa kulakukan adalah menangis setiap harinya karena takut dan
sakit hati. Ketakutanku dahulu benar-benar membuatku tidak berdaya sehingga
bisa membuatku takut untuk keluar rumah. Suata saat atau lebih tepatnya suatu
kejadian, aku meminta kakakku untuk merubahku. Bukan berarti merubahku menjadi
mahluk lain yang aneh. Awalnya aku melihat betapa tangguhnya kakakku walaupun
ia sedang sedih atau sakit hati. Wajahnya dengan sempurna dapat menutupi itu
semuanya. Selain itu, aku juga melihat dari orang-orang yang berbeda lainnya,
dan mereka benar-benar kuat. Hati mereka sangat tangguh dalam mengahadapi
apapun. Oleh sebab itu aku ingin merubah semua hidupku. Aku berubah di umurku sekitar sembilan belas
tahun. Setelah itu, hal buruk terjadi. Resiko dari apa yang kulakukan adalah
hilangnya semua memori otakku. Aku tidak mengenal diriku sendiri dan semua
keluargaku, termasuk dirinya yang telah menyakitiku. Sepanjang hari, kakakku
terus mencoba untuk mengembalikan ingatanku karena baginya adalah hal yang
terbaik tapi tidak bagiku. Dalam beberapa bulan aku bisa pulih dari amnesia
totalku. Aku ingat segalanya dari awal hingga alasan mengapa aku berubah. Yang mengetahuinya
adalah kakakku yang sangat peka. Dia melihat perubahanku dalam beberapa hari. Sikap
baruku yang kutanam setelah aku amesia total itupun masih aku lakukan. Hingga saat
ini, semua keluargaku tidak ada yang tahu bahwa aku sudah ingat segalanya
kecuali kakak. Aku tidak ingin semua orang tahu bahwa aku ingat segalanya. Itu sangat
memperburuk keadaan.
Sesampai di dapur, aku mulai melanjutkan
memasak. Walaupun masih ada pikiran tentang ciuman kecilku dengan Calvin, aku
berusaha terus agar itu tidak mengangguku memasak. Ini tidak lucu jika
masakanku terasa manis karena aku tertukar memasukan gula bukan garam. Aku selesai
memasak mulai dari makanan pembuka sampai makanan penutup pukul setengah
delapan malam. Akhinrya aku selesai juga memasak yang menghabisan berjam-jam
ini karena ini akan menjadi malam spesial.
Aku meletakan semua hidangan ke atas meja
di dalam dapur. Aku meminta beberapa pelayan untuk mengantarkannya pada saat
yang tepat. Kemudian aku duduk-duduk santai di ruang tamu menunggu anak-anakku
yang belum pulang.
Anak pertamaku, Vania, memiliki kegiatan basket
yang harus diikuti jam enam sore. Dia langsung pergi setelah pulang sekolah. Dan
dia pulang pukul tujuh malam, mungkin sebentar lagi dia pulang. Sedangkan anak
keduaku, Kevin, dia sedang perjalan pulang dari Inggris. Aku benar-benar
merindukan dirinya karena lama tak berjumpa. Dia berkuliah di Oxford University
dan mendapat beasiswa yang besar. Aku membanggakan dirinya dan terus mendukungnya
apapun tujuan hidupnya yang tidak kuketahui. Dia berkata kepadaku bahwa ini
sebuah kejutan untukku dan aku yakin sekali bahwa masa depannya akan bagus
karena dirinya selalu berhati-hati dalam memilih keputusan.
Kedua anakku ini kembar, yang keluar dahulu
yaitu Vania kemudian Kevin. Vania memiliki wajah yang mirip denganku tapi
bermata biru indah, postur tubuhnya yang tinggi dan juga memiki body yang mirip
dengan gitar spanyol. Kulitnya sudah kencang karena dirinya sering berolah raga
dan tak lupa aku iri jika aku masih seumuran dirinya. Aku tidak memiliki tubuh
dan wajah secantik dirinya waktu itu.
Sedangkan Kevin, menurutku wajahnya sedikit
ketimuran. Kulitnya berwarna putih kecokelatan dan mata berwarna cokelat
seperti diriku. Rambutnya yang hitam lurus dan pendek. Tubuhnya tinggi
melampaui tinggi tubuhku dan tubuh kakakknya. Dia mirip pemimpin keluarga
ketimbang diriku.
Semua anak-anakku adalah salah satu orang
berbeda tapi jauh lebih sempuran berbedanya ketimbang aku apalagi kakakku. Salah
satu faktornya adalah karena mereka dilahirkan, bukan seperti kakakku dan aku
yang dibuat dengan sebuah serum sehingga kami berbeda. Kata kakak, kekuatan
mereka bisa lebih kuat dari kakakku. Mereka bisa dibilang masalah dunia jika
berada di tangan yang salah. Ini adalah tugasku untuk menjaga dan melindungi
mereka. Aku sangat mencintai mereka dan aku harus membuat mereka tahu bahwa ada
dua hal di dunia ini—baik dan buruk. Aku ingin mereka tahu jalan yang mereka pilih
dengan hati nurani mereka. Itulah tugas dan misiku mengapa aku hidup setelah
rasa sakit hatiku karena ayah mereka… bukan! Dia tidak mengakui mereka sebagai
anak-anaknya dan tidak pantas dibilang seperti itu. Laki-laki berengsek itu,
benar-benar menyakitkan!
Air mata menetes lagi entah untuk beberapa
kalinya setelah aku mengingat masa suramku lalu. Apakah aku pantas beduka
sekarang? Hari ini adalah hari berbahagia karena bertambah umur anak-anakku. Senyuman
mereka, kebahagiaan mereka, dan hidup mereka adalah tujuanku. Sudah lama aku
terus berjuang untuk melupakan masa lalu, tapi seperti yang kukatakan, “aku
mengingat masa laluku disaat aku mengingat anak-anakku.” Karena dia! Dia! Dia adalah
ayah mereka! Ya Tuhan, aku menangis lagi karena ini. Air mataku makin deras
mengalir keluar dari kedua mataku. Aku tidak dapat berhenti. Oh, tidak! Aku tidak
dapat berhenti! Aku tidak dapat berhenti menangis. Rasa sakit ini benar-benar
menyakitkan sampai sekarang aku bisa merasakannya seperti pada waktu itu.
Cinta
hanyalah ilusi begitupun aku. Jangan harap kau akan menemukanku setelah ini.
Dan anak yang kau kandung itu bukan anakku, aku tidak akan pernah mengakui dia
sampai kau menangis-nangis di depanku. Aku bukan ayah dari anakmu!
Kata-kata itu masih kuingat sampai sekarang
dan sangat jelas di dalam memoriku. Aku berdiri di sana memegangi perutku yang
sedikit buncit sambil menerima kata-kata itu. Hatiku hancur dan sakit. Air mata
terus menetes dari kedua mataku berbulan-bulan. Rasa sakit ini seperti hidup
permanen di dalam hatiku. Aku tidak tahu kapan ini akan menghilang.
Bangkit berdiri, lalu aku berlari masuk ke
kamarku. Akan memalukan jika anak-anakku melihat ini. Aku tidak ingin
mengacaukan semua rencana yang kubuat ini. Tanpa sadar, aku menabrak Calvin.
Kepalaku terbenam di dadanya dan aku menangis di sana. Aku memerlukan sesuatu yang
dapat menghilangkan sakit hatiku. Kedua anakku tidak cukup untuk
menghilangkannya. Mereka hanya memudarkannya tapi juga menyisakan sakit yang
amat sakit. Aku benar-benar sakit hati.
Kedua tangan Calvin memelukku sambil
membelai rambutku yang panjang untuk menenangkanku. Dia mengerti perasaanku dan
aku sempat tidak yakin akan itu. Aku memerlukan dirinya untuk menghilangkan
rasa sakitku, tapi aku ragu dan takut. Takut rasa sakit yang akan kurasakan
kelak jauh menyakitkan. Aku harus menolak cinta baru.
Kulepaskan pelukan dirinya lalu berlari ke
kamar. Kukunci kamar dan biarkan aku menyendiri untuk menenangkan diri. Aku bisa
menenangkan diri jika aku sendirian. Karena aku selalu hidup di tengah-tengah
kesendirianku yang suram.
Komentar
Posting Komentar