Hari ini salju sudah turun. Halaman rumah
juga sudah dipenuhi oleh putihnya salju, ditambah hawa dingin yang sudah
menyerbu dihari sebelumnya. Penghangat ruanganpun kuhidupkan di sebuah ruangan keluarga
yang sepi. Di dalamnya hanya terdapat aku yang sedang duduk sendirian sambil
membaca sebuah buku resep. Ditangan kananku terdapat sebuah pulpen tinta hitam
yang akan kugunakan untuk menulis. Lalu setelah aku menemukan sesuatu yang
menarik dalam buku resep, aku mencatatnya pada sebuah buku catatan resep yang
kuno pada tahun ini. Kini kecanggihan teknologilah yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Tentu saja pulpen tinta dan buku catatan sudah tidak ada
yang menjual.
Lagi-lagi aku menekankan pulpen diatas buku
catatanku. Tulisanku masih rapi seperti masa remajaku dahulu. Jujur, aku sangat
menyukai tulisanku sendiri sampai sekarang ini.
Pintu ruang keluarga terbuka. Seorang
lelaki muncul di baliknya lalu berjalan mendekatiku. Lelaki itu berdiri di sisi
sofa.
“Ada apa?” tanyaku sedikit ketus karena
merasa terganggu.
“Saya mencari anda kemana-mana.” Jawab
lelaki itu.
Aku meletakan pulpen di atas meja, lalu aku
menatap laki-laki itu. “Berhentilah berbasa-basi.” Kataku masih ketus. Aku mengambil
buku catatanku lalu bangkit berdiri. Aku mengembalikan semua buku-buku yang
kupakai tadi ke rak buku.
Tiba-tiba kudengar bahwa jam dinding di
ruang keluarga berbunyi. Sekarang pukul sebelas tepat dan aku mulai sadar bahwa
aku lupa berbelanja untuk makan malam. Segera aku berlari mengambil kunci
mobilku yang biasanya kugantungkan di gantungan kunci yang berada di samping
pintu ruang keluarga. Tapi, aku kalah cepat. Lelaki itu mengambil kunci itu
terlebih dahulu.
“Apa-apaan kau?” tanyaku kesal.
“Sebaiknya anda mengambil mantel jika ingin
pergi.” Katanya.
Aku menatapnya dengan kesal. “Jangan sok
sopan dan resmi. Kau tahu sendiri bahwa tugasmu itu tidak penting.” Kataku
tidak mau kalah kesalnya.
Tanpa emosi dia menatapku. Aku mulai benci
ini. “Itulah mengapa aku bekerja. Tugasku adalah melindungimu.”
Jika tidak tahu gaya bahasanya, pasti sudah
dikira dia adalah orang yang sangat romantis. Tugasnya adalah melindungiku. So sweet! Tapi, tidak juga. Itu adalah
misinya sekarang untuk melindungiku selamanya. Well, ini karena aku adalah pewaris tunggal dari keluarga Bryant
yang memiliki perusahaan besar. Orang tua dan kakakku meninggal dunia tiga
bulan yang lalu karena kecelakaan saat mengudara. Kedua mayat orang tuaku
ditemukan tapi mayat kakakku tidak. Aku benar-benar sedih waktu itu. Merekalah
yang kumiliki selain anak-anakku. Selain itu, mereka selalu memberikan semangat
hidup padaku karena masa laluku yang suram. Bisa kusalahkan karena cinta
pertama yang buruk. Awalnya aku memang bodoh mempercayai tentang cinta sejati, tapi
itu semua benar-benar bohong. Sehingga aku harus menderita sendirian untuk
mengahadapi segalanya yang ada. Terlebih aku adalah wanita kotor yang
mengandung anak tanpa menikah. Kedua anakku tidak akan mendapatkan warisan
sebelum aku menikah dengan ayah kandung mereka. Jika itu terjadi, tidak akan
ada seorang pengawal yang akan mengawalku. Selain itu, aku juga tidak akan
menikah dengan ayah mereka. Perasaan sakitnya masih membekas sampai sekarang,
mungkin sampai matipun aku masih merasakan sakitnya.
Selain itu, aku juga mewarisi sebuah
organisasi rahasia internasional. Lagi-lagi aku harus menjadi agen utama dalam
kasus ini. Padahal aku sudah pernah menolak untuk menjadi agen organisasi
setelah aku menyadari bahwa aku hamil. Aku ingin mengurus anak-anakku saja dan
bekerja dengan susah payahku sehingga aku bisa mengatai diriku berguna.
Setidaknya aku sudah cukup bahagia bersama dengan anak-anakku.
Aku akhirnya menyerah untuk terus melawan
pengawal sialan itu. Sudah kuberikan kebebasan dirinya untuk melakukan apa saja
sesukanya, ia tetap saja melakukan pekerjaannya dengan mengikutiku kemana saja.
Sialnya, aku tidak bisa bersembunyi darinya. Dalam hitungan menit dia dapat
menemukanku yang bersembunyi. Memang susah memiliki orang seperti dia.
Kemudian, aku mengambil mantel dan tasku di
kamarku. Kulihat dirinya sudah pergi menuju garasi mobil. Pikiran jailku mulai
muncul untuk kabur lewat jendela kamar, tapi sayangnya kamarku berada di lantai
tiga. Sama saja aku cari mati. Tapi, terdapat dua pintu utama yang menjadi
jalan keluar dari rumah. Satu pintu depan dan yang satunya berada di belakang.
Pintu belakang terhubung langsung dengan taman dan garasi mobil, kalau pintu
depan langsung menghubungkan dengan beranda rumah dan juga halaman depan rumah.
Aku yakin dia sudah sampai di depan rumah sekarang. Tidak ada jalan untuk
kabur. Tapi, aku juga tidak mau kabur hari ini karena salju turun. Hawa dingin
selalu membuatku lumpuh sehingga aku tak dapat berbuat apa-apa. Itulah yang
kubenci saat salju turun.
Beberapa menit bersiap diri, aku mulai
keluar rumah. Benar, dia sudah berada di depan rumah. Maka dengan segera aku
berlari masuk ke mobil tapi dia sudah keluar membawakan payung untukku. Diriku
dipayungi olehnya dan salju yang seharusnya jatuh diatas rambutku kini tidak mengotori
rambutku. Dalam keadaan ini pun dia menggunakan kekuatannya untuk berlari dan
memberikan payung agar salju tidak mengotoriku. Kuakui, kerjanya bagus tapi
berlebihan. Aku tak suka diperlakukan romantis oleh orang ini.
Kemudian, dia menuntunku masuk ke dalam
mobil. Suasana di dalam mobil memang benar-benar hangat daripada di luar. Udara
dingin itu hampir membuatku membeku, untungnya dia cepat datang. Jujur, suasana
menjadi hangat saat dia di dekatku, dan juga nyaman. Tapi, saat perjalan
terjadi kebisuan diantara kami berdua. Aku tidak tahu mengapa dia cukup pendiam
akhir-akhir ini. Aku juga merasa aneh jika suasana menjadi sunyi saat di
dekatnya. Kukenal dirinya itu orangnya banyak bicara.
“Perempatan depan, kau belok kiri. Lalu
berhentilah sebentar di depan toko roti.” Kataku. Seperti biasa dia
melakukannya dengan patuh.
Sesampainya di depan toko roti, dia
memarkirkan mobilnya di lapangan parkir yang kecil, mungkin cukup tiga mobil.
Lalu dengan cepat dia keluar mengambilkan payung untukku lagi sebelum aku
selesai melepaskan sabuk pengaman. Pintu dibukanya dan udara dingin membuat
kakiku langsung tidak mau bergerak. Ini demi anakku, maka aku bisa
menggerakannya walaupun masih ada rasa malasnya. Dengan setia dia memayungkan
diriku dan mengantarkanku masuk ke dalam toko roti. Hawa dingin tak ada lagi
setelah aku masuk ke dalam toko. Kulihat dirinya berdiri di luar sambil menutup
payung yang basah. Aku mengabaikan dirinya dan memilih-milih bahan-bahan roti
yang akan kubeli. Setelah itu kubayar semuanya. Lalu aku keluar toko dengan
dirinya masih dengan setia memayungi diriku. Dari dulu aku memang tidak suka
diperlakukan seperti tuan putri walaupun aku tahu bahwa aku tidak keturunan
bangsawan.
Kemudian, aku menyuruhnya untuk
mengantarkanku ke mall yang jaraknya tidak ada lima puluh meter dari toko roti.
Aku mulai malas lagi untuk melangkahkan kakiku saat hawa dingin seperti ini.
Aku masih menyukai jalan kaki jika suasana mendukung. Jika menggunakan mobil,
tidak ada dua menit aku sudah sampai di mall itu. Dia harus memarkirkan mobilku
ke parkir bawah tanah atau di lantai-lantai atas yang tersedia. Kurasa
pantasnya berada di lantai bawah tanah karena lebih dekat dari supermarket.
Tapi ternyata dia malah memarkirkannya di lantai empat. Aku menolak untuk
protes kepadanya. Tidak penting membuang tenaga untuk protes.
Di parkir mobil, hawanya sedikit dingin
karena udara dingin masih bisa masuk walaupun sedikit. Maka aku berjalan cepat
agar sampai di dalam mall yang hangat. Yang membuatku suka saat di dalam
ruangan adalah suasana di dalamnya selalu membuatku nyaman. Aku tahu bahwa hari
ini salju turun, tapi saat aku berada di mall misalnya, aku bisa langsung lupa
bahwa hari ini musim dingin. Benar-benar aneh diriku ini.
Di lantai empat, banyak toko sepatu dan
kebetulan ada promo dari sepatu limited edition dari salah satu merk sepatu
terkenal. Anak perempuanku benar-benar menginginkan itu. Segera aku bergabung
pada gerombolan ibu-ibu yang hendak menawar sepatu itu. Sepatu itu bagiku
simpel tapi modelnya juga bagus. Kualitasnya? Jangan ditanya lagi. Sepatu ini
berhigh heels pendek dan cocok juga untuk anak sekolah. Ini model terbaru yang
keluar. Sepertinya ini akan diadakan lelang karena saking banyaknya pembeli.
Memang boleh? Aku penasaran soal itu.
“Baik ibu-ibu semuanya. Saya mendapatkan
izin untuk melelang sepatu ini.” Kata seorang laki-laki berdiri di tengah
kerumunan sambil mengangkat sepatu itu.
Ini sedikit lucu karena sepatu bisa
dilelang.
“Mulai dari harga asli sepatu ini yang
dipotong sepuluh persen, menjadi tiga juta lima ratus ribu dollar.” Katanya
lagi.
Sepatu seperti itu benar-benar harganya
mengerikan. Aku memang memiliki uang cukup untuk membelinya tapi aku tidak suka
pemborosan karena harganya terlalu tinggi. Aku bisa meminta seorang desain
sepatu untuk membuatkan sepatu untuk anakku tapi ini sudah terlambat. Hari ini
ulang tahun putriku dan aku harus mendapatkannya. Dengan segera aku mengangkat
tanganku untuk memberikan harga lebih pada sepatu itu. Tapi, aku dipilih paling
akhir dan harganya sudah hampir enam juta dollar.
“Anda?” kata lelaki pelelang itu sambil
menunjuk kepadaku.
“Maaf, harga terakhir tadi berapa?” tanyaku
sedikit berteriak. Suaraku benar-benar kalah dengan kerumunan.
“Lima juga sembilan ratus ribu dollar,
Ma’am.” Jawabnya.
“Saya, enam juta dollar.” Kataku langsung.
Lebih baik menawarkan harga tidak terlalu jauh.
“Baik, ibu itu melelang sepatu ini enam
juta dollar. Ada yang lebih?”
Masih saja yang menunjukan jari diantara
banyak ibu-ibu yang ada di sini. Aku mulai kesal karena kesempatanku
mendapatkan sepatu itu dengan harga yang lebih murah gagal. Harga makin
melonjak dan menjadi benar-benar mahal sekali. Aku diam sampai ada yang
terakhir tetap mengajukan tangannya melelang sepatu itu. Akhirnya masa-masa
yang tunggu akhirnya tiba. Aku mulai mengangkat tanganku tapi seseorang
menahannya. Dia adalah pengawalku yang ternyata memperhatikanku berpikir dalam
permainan uang. Tiba-tiba dirinya yang mengajukan jari.
“Tiga puluh juta dollar.” Katanya berteriak
dan seluruh orang yang berada di kerumunan mendengarkannya. Aku benar-benar
terkejut karena harga yang dilelangnya dua kali lipat dari harga sebelumnya.
Dia keterlaluan melelang sepatu seharga sebesar itu. Tentunya kerumunan menjadi
sunyi.
“Baik, tiga puluh juta dollar. Ada yang
berani lebih?” kata laki-laki pelelang senang karena dia sangat untung.
Kukira tidak aka nada lagi yang akan
melelangnya lebih dari tiga puluh juta dollar, tapi seorang ibu yang berpakaian
feminim mengangkat tangannya dan melelangnya lebih tinggi.
“Tiga puluh juta seratus ribu dollar.”
Katanya.
Lagi-lagi pengawalku mengangkat tangannya.
“Tiga puluh satu juta dollar.” Dia benar-benar ingin menghabiskan uangku.
Akhirnya, tidak ada yang berani melelang
lagi. Harga segitu sudah sangatlah besar apalagi hanya sepatu itu saja. Jika
harga sebesar itu untuk membeli mobil, baru itu sangatlah murah bagiku. Ini
sepatu bukan mobil!
Pengawal bodoh itu maju untuk mengambil
sepatu itu sambil mengeluarkan dompetnya. Ini membuatku malu karena ternyata
dia membelinya untuk dirinya sendiri tapi, untuk siapa? Dia belum menikah
walaupun umurnya tiga tahun lebih tua dariku yang sudah berumur tiga puluh
sembilan. Setelah itu, kerumunan mulai bubar. Tinggal aku saja yang menetap
menunggu dirinya berjalan membawa kotak sepatu itu lalu memberikan kepadaku.
“Lain kali lebih pintar dalam melelang
barang.” Katanya mengejekku.
Aku mulai menyukai ini karena akhirnya
dirinya tidak sok sopan kepadaku.
“Kau membelikanku ini?” tanyaku.
“Ambil saja. Sudah lama aku tidak membuang
uangku.” Katanya sedikit sombong.
“Kau sekarang sombong.” Kataku.
Dia menatapku linglung. “Benarkah?”
tanyanya polos.
Aku diam tidak menjawab lalu aku berjalan
ke supermarket. Kusimpulkan hari ini bahwa seseorang membelikanku sepatu
seharga tiga puluh satu juta dollar. Padahal sepatu itu akan kuberikan kepada
anakku. Selain itu, jarang juga anakku menerima kado dari orang lain. Lain kali
akan kubelikan kado untuknya yang lebih spesial dari ini.
Sampai di depan supermarket, aku tiba-tiba
ingin ke toilet. Aku meminta ijin dahulu bahwa aku ingin ke toilet sambil
menitipkan box sepatu kepadanya. Lalu
aku sendirian ke toilet. Entah perasaanku saja atau memang kenyataannya.
Suasananya menjadi sunyi saat aku ke toilet. Sesampainya di toilet wanita, di
dalamnya pun juga sepi. Jarang orang menggunakan toilet ini padahal hawa sedang
dingin. Untungnya aku tidak perlu antre untuk itu.
Selesai itu, aku keluar toilet dan udara
dingin menyerbuku. Aku tidak suka ini. Kulihat ke sekelilingku, tidak ada orang
lain di sekitarku. Semuanya kosong dan hanya aku. Saat aku membalikan tubuhku,
kulihat sosok berdiri di depanku. Sosok itu memakai jubah hitam mirip malaikat
pencabut nyawa. Wajahnya tidak terlihat olehku karena kerudung jubah itu
menutupinya. Aku mundur beberapa langkah dan dia mengikutiku. Entah apa
tujuannya tapi perasaanku tidak enak soal ini. Kucoba untuk terus mundur tapi
aku terpeleset dan akhirnya terjatuh.
Dia semakin dekat denganku dan mengulurkan
tangan kanannya tepat di leherku. Apa dia hendak mencekikku dengan tangannya
yang tertutup sarung tangan itu? tidak mungkin! Pasti ada keamanan yang melihat
ini dan menyerbu orang aneh ini. Semakin mendekatnya orang itu, semakin aku
dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Aku membeku dan kedua mataku
terbuka dengan lebar-lebarnya. Benarkah ini terjadi padaku? Aku melihat orang
itu. Dan aku merasa shock. Tiba-tiba orang itu bangkit berdiri dan matanya yang
tajam dapat kulihat. Mata itu berwarna hijau yang indah. Lalu pergi dengan
berlari menjauh dariku. Beberapa detik kemudian, pengawalku datang berlari
kepadaku. Dia tahu apa yang terjadi padaku. Maka dengan cepat ia berlutut di
depanku. Dipegangnya kedua pipiku untuk menyakinkanku yang masih shock ini.
“Al, tatap aku.” Katanya yang kudengar di
dalam bayangan pandanganku. Aku tahu ini dia dan aku tak bisa menghilangkan
bayangan di mataku. “Al, kau di sini kan?” katanya lagi.
Kuarahkan kedua mataku kepadanya. Dia terlihat
buram, tapi lama-kelamaan tidak juga. Pandanganku membaik setelah aku
memandangnya. Wajahnya benar-benar khawatir terdahapku. Entah sejak kapan aku
melihat wajah itu, sepertinya aku merindukan wajah khawatir yang mirip seperti
itu. Benar juga, sudah sangat lama. Sebuah senyuman dan kebahagiaanku dahulu. Tapi
jika dilihat sekarang, itu adalah sebuah masa lalu yang menyakitkan. Kebahagiaanku
tidak selama itu. Semuanya hanyalah ilusi. Cinta hanyalah sebuah ilusi, seperti
katanya kepadaku.
Mataku akhirnya dapat melihat dengan baik
sekarang. Aku bisa melihat pengawalku dengan wajah khawatir dirinya. Rasanya
sikap prefesionalnya lenyap seketika. Aku mengenal dirinya yang tidak suka
bersikap sok resmi itu. Kelihatannya dia tertekan.
“Kau di sini, Al?” tanyanya untuk
meyakinkanku.
Aku memejamkan kedua mataku sambil
menganggukan kepalaku beberapa kali. Dan setelah aku membuka kedua mataku,
wajahnya tampak lega dan kekhawatirannya benar-benar hilang.
“Apa orang itu menyentuhmu? Aku tak bisa
mendapatkan gambaran jelasnya.” Katanya sedikit bernada khawatir dan penasaran.
“Tidak. Dia hanya lewat saja.” Kataku lalu
berbohong.
Kedua matanya tiba-tiba tajam menatapku dan
aku sudah mulai tidak menyukai ini. Kemudian dia bangkit berdiri dan membantuku
untuk berdiri. Kukira dia akan menegurku kalau aku berbohong kepadanya tapi
ternyata tidak. Dia menyuruhku untuk segera berbelanja dan pergi dari tempat
ini. Aku berpikir bahwa dia benar-benar masih tidak tenang karena orang tadi—orang
berjubah hitam. Begitupun aku juga tak bisa tenang karena ini benar-benar
mengejutkan.
Aku memakan waktu sekitar tiga puluh menit
untuk berbelanja. pengawalku membantuku memilih-milih makanan yang cocok untuk
makan malam nanti. Aku benci itu karena dia bersikap seperti suamiku saja. Aku ini
masih single dan aku tidak akan pernah pergi ke pelaminan pernikahan yang tidak
pernah kuharapkan sejak kata-kata menyakitkan itu muncul di pendengaranku. “Cinta
hanyalah ilusi begitupun aku. Jangan harap kau akan menemukanku setelah ini. Dan
anak yang kau kandung itu bukan anakku, aku tidak akan pernah mengakui dia
sampai kau menangis-nangis di depanku. Aku bukan ayah dari anakmu!” Ini benar-benar
menyakitkan hatiku sampai sekarang ini. Siapa tahu tentang takdir? Aku percaya
akan satu hal masih kupercaya hingga saat ini, bahwa masa depanku tidak akan
sesuram itu, semua manusia selalu bahagia di dunia ini.
Komentar
Posting Komentar