Suara hantaman
antara garpu dan piring terdengar disaat makan siangnya. Ia sendirian kali ini
karena semuanya sedang sibuk bekerja. Orang-orang terdekatnya semuanya sangat
sibuk termasuk dirinya yang sebenarnya juga sedang sibuk. Tapi, hari ini ia mendapat
hari libur karena Hari Minggu. Seharusnya ini adalah hari bersenang-senangnya
sebagai melepaskan kepenatannya dari bekerja. Lagi-lagi ia memukul piring
dengan garpu saladnya, selembar selada menjadi robek karenanya. Dengan semua
kebosanannya akan kesendirian dirinya, ia membuat keributan di sebuah café
milik Denico. Biarlah, pikirnya. Lagipula pemiliknya sedang tidak ada di sana.
Dia sedang pergi sangat jauh dari tempat itu, jika diperkirakan dia akan pulang
besok.
Sunyi.
Itu katanya di
dalam hati.
Sepi. Tidak
berguna.
Ia sudah tidak
tahan lagi dengan semua keadaan ini. Sebelum lama sekali ia selalu terbiasa
akan kesendirian ini tapi sekarang kutukan itu lenyap di hidupnya—bukan
sekarang tapi satu setengah tahun yang lalu. Kutukan yang membuatnya selalu
sendirian di sebuah dunia yang suram dan menakutkan serta kejam. Ia meletakan
garpunya diatas meja samping piringnya. Kemudian berdiri dan berjalan menuju
ruang kerjanya. Tidak lama kemudian ia ingin memukulkan kepalanya ke tembok
karena ia lupa bahwa ia sedang libur. Laporan apa yang harus ia laporkan
sedangkan dirinya sudah menyelesaikannya kemarin dengan sangat lengkap dan
detail. Maka, harus apakah dirinya? Ia pusing dengan kesendiriannya di tempat
itu. Langkahnya pelan dan juga sedikit diseret karena bosan. Inginnya ia
melakukan aktivitas yang menyenangkan asalkan tidak sendirian. Sayangnya dia
sedang pergi dan pulang besok. Ia melepaskan nafasnya perlahan untuk
membantunya lebih bersabar menunggu hari esok. Setiap langkah tanpa arahnya
ternyata membawanya ke sebuah tempat yang tidak lain adalah ruang kerja
sendiri. Di depan pintu itu, ia berdiri sambil memandangi pintu itu dengan
waktu yang sedikit lama. Libur. Libur. Libur. Ia terus mengingatkan diri
sendiri. Lalu, digenggamnya gagang pintu itu setelah ia memutuskan untuk masuk.
Digesernya pintu itu dan ia mulai masuk ke dalam ruangan kerjanya.
Ruangannya
bersih, besar, dan terlihat sangat nyaman jika digunakan untuk bekerja. Suasana
putih cerah dan bersih itu menambah aksen indahnya ruangan itu. Bunga-bunga
hias yang hidup menambah hidup ruangan itu. Didalamnya terdapat tiga meja utama
untuk bekerja. Satu meja di sudut dekat jendela kaca itu adalah meja milik
rekan kerjanya yang sedang pergi. Di sisi lain dengan pintu adalah meja rekan
kerjanya yang lain, dan sebuah meja di dekat meja yang pertama adalah mejanya
sendiri. Sebuah komputer yang mati berdiri di setiap meja yang ada. Ia berjalan
lalu duduk di mejanya sambil memandangi keluar jendela yang langsung
menampilkan pemandangan padang rumput yang luas dan hutan yang lebat. Andaikan
jendela ini terbuka, ia pasti dapat merasakan angin yang meniup masuk ke
ruangan itu dan sebenarnya ia sedikit merasakan kondisinya karena beberapa AC
yang ada. Baginya, lebih segar jika yang dirasakan adalah AC alami dari alam.
Dari kejauhan,
dilihatnya sebuah benda hitam yang mendekat. Benda itu kecil dan lama-kelamaan
mejadi lebih besar dan berbentuk. Itu adalah sebuah mobil hitam sport bermerk
Lamborgini yang sedang berlari menuju tempat ini. Ini membuatnya makin mengeluh.
Yang dia harapkan adalah dia pulang hari ini, bukan orang lain. Melihat mobil
itu sekali lagi, ia menjadi teringat kemarin sore. Waktu itu orang yang ia
maksud itu belum pergi jadi waktu itu ia menikati hari-hari tanpa
kesendiriannya itu. Mereka memandangi matahari yang sudah bersiap-siap
tenggelam itu memancarkan cahaya jingga yang indah. Mereka berdua duduk sambil
menikmati suasana senja yang indah dan romantis. Hari memang semakin gelap dan
dingin, tapi karena ada orang itu semuanya berubah menjadi kehangatan dan
kenyamanan. Di dalam sebuah pelukan yang membuatnya lupa akan semua ketakutan
yang ia punya akan kegelapan. Tapi, keasikan mereka terganggu oleh sesuatu yang
penting. Dia meninggalkan dirinya dua hari untuk melakukan kumpulan keluarga
besar yang selalu terjadi satu kali tiap bulannya. Ia tidak rela jika dia pergi
walaupun hanya dua hari. Dunia benar-benar sepi tanpa dirinya. Sekarang, ia
menikmati kesendiriannya itu dengan kejenuhan yang ada di dirinya sekarang.
Mobil hitam
itu menghilang setelah masuk ke dalam garasi ruang bawah tanah beberapa menit
yang lalu. Matanya yang masih menatap dengan jenuh itu memperhatikan mobil itu
sampai tidak terlihat lagi untuk memastikan bahwa dia berada di situ. Itu hanya
imajinasinya. Yang ada hanya kesunyiannya. Lagi-lagi ia melepaskan nafasnya
untuk lebih bersabar menunggu waktu. Hanya tinggal satu hari lagi tapi terasa
seperti satu tahun dan setiap detik hampir mirip satu jam. Kesendiriannya
membuat bumi berputar secara perlahan. Sangat perlahan sehingga membuatnya
harus meliwati tiap detiknya dengan bernafas lebih dari seribu kali.
Andaikan ia
bisa mempercepat waktu dengan mudah seperti memutar jarum-jarum jam dinding. Ia
bisa, tapi hanya dalam bayangannya saja. Didalam pikirannya kini ia berada di
sebuah tempat yang penuh dengan arloji dari yang sekecil buku jarinya sampai
sebesar rumah raksasa. Ini adalah dimensi waktu yang dapat ia percepat dengan
memutar jarum pendek arloji itu sebanyak dua kali. Maka ia melangkah ke arloji
kecil di dekatnya. Bentuk kecilnya tidak menunjukan betapa beratnya jarum
pendek itu diputar sampai-sampai setitik tetesan keringat muncul di keningnya. Cairan
itu menetesi arloji kecil itu dan disaat itu juga jarum panjang menunjukan detik
baru berdetak satu detik. Ia mencoba lagi untuk memutar jarum yang paling
kecil. Hasilnya masih nihil sampai-sampainya tubuhnya penuh dengan air
keringatnya. Tiba-tiba ia melihat bahwa jarum panjang penunjuk detik itu
berdetak satu kali lagi setelah sekian lamanya ia mencoba untuk mempercepat
waktu. Jarum itu berdetak sangatlah lama. Apakah ada yang salah dengan dunia
ini? Dunia ini berjalan sangatlah lambat. Inginnya hari itu berjalan seperti jam
yang sangat cepat dan berlalu. Andaikan satu tahun itu adalah satu bulan. Betapa
cepatnya dunia itu sehingga segalanya cepat berlalu.
Jangan!
Ia memutup
kedua matanya dan menarik semua pemahamannya tentang jalan dunia. Ia berpikir
bahwa ia juga tidak ingin menginginkan dunia berjalan sangat cepat karena ia
tidak ingin semuanya berlalu begitu saja. Semua kenangan memiliki proses
masing-masing yang harus dapat ia jalani sebelumnya dan kenangan itulah yang
membawanya berada di sini. Kenangan pahit seperti obat, ataupun manis seperti
gula. Semuanya itu adalah kenangan-kenangan miliknya yang sudah ia alami. Dan ia
juga tidak ingin semuanya berlalu begitu saja. Baginya, kenangan adalah
hidupnya yang lalu. Banyak orang melupakan masa lalu karena bagi mereka memang
sudah berlalu. Tapi tidak baginya. Ia beranggapan bahwa masa lalunya itu adalah
sejarah hidupnya yang harus ia lestarikan sendiri. Seperti pelajaran Sejarah
tentang Perjuangan Bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, sejarah tentang
kerajaan kuno di Indonesia, sejarah masyarakat Indonesia prasejarah, dan
lain-lain. Banyak sejarah tentang dunia termasuk dirinya. Yang dapat
melestarikannya sejarah tentang dirinya adalah dirinya sendiri. Bukan hanya
itu, baginya pula bahwa masa lalu adalah pembelajaran yang sangat berharga. Jika
ia sebelumnya tidak mengetahui apa itu pertemanan, saat ia bertemu dengan orang
itu,ia menjadi mengerti apa makna pertemanan dan mengubah jalan hidupnya bahwa
dunia itu tidak sesunyi yang ia bayangkan. Banyak orang disekitarnya sekarang
dan mereka dapat saling bekerja sama. Ada canda, tawa, serta duka diantara
mereka dan semuanya itu dilewati oleh mereka secara bersama.
Ia tersenyum
dengan mata tertutup. Pemikirannya kini menurutnya benar. Bahwa ia tidak ingin
semuanya berjalan begitu cepat termasuk tidak begitu lambat. Ia ingin hal yang
normal-normal saja layaknya dunia sekarang. Dipukulnya kepalanya karena betapa
berlebihan dirinya menanggapi soal waktu hari ini. Lalu ia buka kedua matanya,
cahaya matahari sore menyinari dirinya dibalik sebuah jendela kaca yang lebar. Tidak
disangka bahwa hari sudah sore. Keasikannya membuatnya lupa akan waktu yang
ternyata berjalan dengan cepat—tidak juga. Setidaknya, kurang dua puluh empat
jam ia tidak akan sendirian lagi.
Komentar
Posting Komentar