Menunggu
sekitar tiga jam, hujan mulai berhenti dengan derasnya lalu hanya titik-titik
hujan kecil, sekitar beberapa detik kemudian hujan telah berhenti tapi langit
masih mendung sekali.
“Kita
kemana setelah ini?”, tanya Alicia kepada Calvin yang duduk asik bermain tablet
Alicia.
“Jangan
pulang ke rumah dahulu. Tunggu sampai ada yang menghubungiku untuk pulang.
Inginnya aku ke Jakarta, tapi aku yakin kita pasti di hadang di perjalanan.”,
jawab Calvin sambil mengelus-elus rambut Alicia yang masih sedikit basah.
“Ini
masih sore, jangan buang-buang waktu, ayo…”
“Ingatkah
kau kalau rekeningmu habis dan kartuku di blokir? Kau ingin bayar pakai apa ke
sana.”, kata Calvin tenang. Ia masih mengelus-elus rambut Alicia.
“Masih
ada satu kartu, kan?”
“Yang
satu itu, well, memang masih ada.
Tapi entahlah. Pokoknya enggak.”
“Oh
ayolah Calvin.”
“Mengapa
kau yang merengek?”, tanya Calvin yang tiba-tiba kebingungan. Ia meletakan
tablet itu.
“Aku
bosan.”, jawab Alicia sambil mengambil tabletnya. Ia mengotak-atiknya. “Ya
Tuhan.”, kata Alicia tibat-tiba. Ia terkejut.
“Ada
apa Alicia?”, tanya Calvin. Ia mendekat kepada Alicia yang masih terkejut.
“Tanggal
tiga, aku seharusnya masuk sekolah hari ini.”, jawab Alicia.
“Bukannya
kau sering membolos?”
“It-itu
gara-gara kau.”, jawab Alicia tiba-tiba ketus.
Calvin
tersenyum. “Ingatkah kau sedang bekerja? Kau denganku, berduaan”–Calvin
mengacungkan kedua tangannya–“dan sadarkah kau apa pekerjaanmu?” Ia menaikan
sebelah alisnya dengan jail.
“Lebih
baik memang aku menolak kontrak itu.”, gumam Alicia pelan.
Calvin
masih tersenyum melihat Alicia yang menutup wajahnya dengan tabletnya. Ia berpura-pura
bermain dengannya.
Suara
nada dering terdengar dari tablet Alicia.
“Pesan,
Calvin.”, katanya terkejut. “Dari mamamu.”
Calvin
meloncat duduk di samping Alicia.
Di manakah kau
sekarang, Alicia? Apakah Calvin ikut denganmu? Dia sulit dihubungi seperti
biasa dan aku benar-benar khawatir dengannya. Jika memang dia bersamamu, tolong
bawa dia pulang sekarang. Rumahnya sudah aman sekarang. Dan misal dia tidak
bersamamu, kau harus tetap datang. Ada sesuatu hal yang ingin kukatakan
kepadamu. Ini penting.
Thank’s
Lisa Riicon
“Kau
yang membalas.”, kata Alicia setelah membaca pesan itu sambil memberikan
tabletnya kepada Calvin.
Dengan
tangan bergetar ia menerimanya. Ia menekan tanda reply.
Aku bersama
Alicia, Ma. Tenang saja. Aku mengetahui rumahku tak aman sebelum sampai di
rumah. Aku dan Alicia lari dan pergi jauh dari rumah. Kami mencari tempat ramai
seperti kota-kota misalnya Pontianak. Tapi kami tidak di sana. Kami perjalanan
pulang.
Love,
Calvin
Note : tarik
nafas dalam-dalam dan tenanglah. Aku akan tiba di rumah tanpa gores luka pun.
Calvin
menekan tanda send dan pesan itu
terkirim. Ia mengembalikannya kepada Alicia.
“Sepertinya
kau takut?”, tanya Alicia yang melihat tangan Calvin tadi yang bergetar.
Calvin
membalasnya dengan senyuman masam. “Tidak juga.”, katanya mencoba tenang tapi
nadanya masih terasa bergetar seikit. “Aku hanya khawatir.”, terusnya. Nada bergetarnya
sangat terdengar.
“Kau
baik-baik saja?”, tanya Alicia yang setengah khawatir. Pikirnya Calvin
basa-basi.
“Yeah.
Aku baik-baik saja sekarang. Hanya khawatir. Tenanglah…”
“Ayo
pulang.”, ajak Alicia sambil bangkit berdiri.
Calvin
mengangguk lemas.
Alicia
melompat dari belakang ke kursi pengemudi lalu memasang kunci jipnya. Calvin sudah
duduk di sampingnya dengan wajah sangat khawatir. Entah apa yang dipikirnya,
Alicia hanya memutar bola matanya karena Calvin tidak mau berbicara. Ia menghidupkan
mesin jipnya lalu menginjak pedal gas dan pergi dari pom bensin.
Jalanan
masih becek dan basah, jip Alicia selalu menyipratkan air hujan kemana-mana
saat melepati jalan yang bergelombang rendah dan banyak air bergenang di
atasnya. Tentunya ia mendapat teguran dari banyak orang yang merasakan guyuran
air hujannya. Alicia hanya dapat meminta maaf lewat kontak matanya. Ia mencari
jalan yang sepi dan sedikit alternative agar sampai di rumah Calvin tanpa
halangan apapun. Misalnya macet dadakan di jalan raya seperti kemarin sore.
“Berhenti!”,
kata Calvin tiba-tiba kepadanya saat ia hendak membelokan jipnya ke arah jalan
yang sepi dan sedikit alternatif.
“Ada
apa?”, tanyanya kebingungan.
“Tidak.”
Calvin berkonsentrasi. “Tidak ada apa-apa. Ini salahku. Aku seperti meliaht
kucing di sana.”, katanya beralasan. Alicia tahu bahwa Calvin omong kosong
belaka.
Alicia
membelok jipnya ke kanan mengikuti jalan kecil yang menyusuri hutan yang sunyi.
Ia melirik ke Calvin yang sudah duduk lebih rileks. Tapi ia masih
mempertanyakan mengapa Calvin begitu khawatir tadi? Tadi dia masih terlihat
gugup dan ketakutan akan hal sesuatu yang tidak ia mengerti.
Tiba-tiba
ban jip depannya bocor langsung kempes dengan cepat. Alicia berhenti dan
mematikan mesin jipnya. Ia turun untuk mengecek jipnya.
“Ada
apa?”, tanya Calvin was-was.
“Ban
kempes dan anehnya cepat sekali. Seperti tertusuk pedangmu, Calvin. Tapi tidak
mungkin di tempat ini.”, jawab Alicia sedikit khawatir.
Calvin
turun dan ikut mengecek ban bocor itu.
“Lubangnya
terlihat seperti sebuah peluru yang mengempeskannya.” , kata Calvin sambil
lalu.
“Mengapa
di tempat ini, Calvin?”
“Entah.”,
jawab Calvin sambil mengangkat kedua bahunya.
Alicia
mengamati sekelilingnya dengan perasaan ngeri. Ia takut bahwa ia diikuti sampai
sejauh ini. Ia kembali naik jipnya untuk mengambil tas hitamnya.
Calvin
dengan santai berjalan mondar-mandir di depan jip Alicia seperti menunggu
sesuatu. Bala bantuan? Atau lain? Tidak mungkin bala bantuan mengetahui
posisinya sekarang.
“Menunduk,
Alicia!”, kata Calvin cepat.
Secara
refleks Alicia menundukan kepala dan tubuhnya hingga tidak terlihat. Sebuah peluru
melesat di atas kepalanya dan mengiris beberapa helai rambutnya.
Calvin
berlari menghampirinya dan mengambil pedang-pedangnya. Ia menggantungkan
pedang-pedang itu di belakang punggungnya. Kemudian dia menyentuh pundak Alicia
untuk memberikan ketenangan untuknya. Ia membantunya untuk turun dari jip.
“Dengar
Alicia. Waktunya beraksi.”, kata Calvin ringan dan tenang.
Alicia
menganggukan kepalanya dengan semangat. Ia membuka tas hitamnya dan mengambil
dua buah pistol hitam beserta amonya.
Ia menyimpan beberapa amo di dalam kantong hotpansnya dan menggantungkan kedua
pistol di keduah pahanya. Ia melepaskan jaket kulitnya karena sok merasa gerah.
Kemudian ia mengikat lengan-lengan jaket itu di pinggulnya hingga menutupi
hotpansnya. Sekarang, ia terlihat hanya memakai kaos putihnya yang ketat.
“Aku
siap, Calvin.”, katanya ringan.
Calvin
mengkibaskan pedangnya di depan mata Alicia dan sedetik kemudian sebuah suara
nyaring terdengar. Suara nyaring itu sama seperti kemarin malam yang di
dengarnya dan membuatnya kesal karena terus bergema di telinganya.
Tidak
ada lima menit kemudian, Calvin mendorong tubuh Alicia dan membawanya di
pinggir hutan. Serangan bertubi-tubi dari senapan hampir mengenai mereka.
“Mereka
masih di dalam hutan. Asalkan mereka keluar.”, gumam Calvin yang berdiri di
depan Alicia.
Alicia
menyingkirkan tubuh Calvin lalu menodongkan pistolnya di seberang hutan dan
menekan pelurunya. Ia melihat seseorang di dalam hutan yang membuatnya curiga. Setengah
detik kemudian, terdengar suara ledakan kecil. Seperti suara senapan yang
meledak. Calvin terkejut mendengarnya.
“Yah,
bakatmu memang luar biasa, Alicia.”, kata Calvin kagum.
“Seperti
biasa kau meremehkanku.”, balas Alicia kesal. “Mereka menggunakan sniper,
Calvin. Itu curang apalagi di dalam hutan seperti itu.”, kata Alicia sedikit
merengek kepada Calvin.
“Memang
kau membawanya?”, tanya Calvin.
“Tidak.
Ada di rumahmu. Aku tidak mau repot-repot membawanya pulang ke rumah.”, jawab
Alicia polos.
Calvin
mengelus-elus kepala Alicia seperti mengelus-elus kepala kucing. Lagi-lagi
Calvin mengayunkan pedangnya dengan santai dan suara nyaring itu terdengar
lagi. Tangan lainnya masih membelai rambut Alicia.
“Serius.”,
kata Alicia memperingatkan.
“Santai
saja.”, balas Calvin lalu tersenyum.
Suara
nyaring lagi terdengar di pedang Calvin tanpa ia mengayunkannya.
Alicia
memutar bola matanya lalu menodongkan pistolnya lagi ke arah hutan seberang
lagi lalu menekan pelatuk dua kali. Kali ini pelurunya meleset dan menggores
pohon-pohon.
“Aku
tanggung jawab atas kau, Calvin.”, kata Alicia sambil menekan dada Calvin dua
kali dengan telunjuknya.
“Jangan
repot-repot. Kau tanggung jawabku sekarang.”, balas Calvin lalu tersenyum
Diseberang
hutan, terdapat sekitar sepuluh orang yang melihat Calvin dan Alicia dengan
bosannya karena mereka berdua tidak mau masuk-masuk ke dalam hutan untuk
menyerang balik atau kabur. Mereka berdua malah mengobrol satu sama lain yang
tidak mereka mengerti sama sekali.
“Siapa
kau?”, tanya Alicia kesal.
“P-A-C-A-R”,
eja Calvin bangga.
“Whatever.”, gumam Alicia pelan sambil
memutar bola matanya.
“Kita
kabur saja, okey.”, tawar Calvin.
“Kau
bilang tadi kita akan beraksi tapi terserah padamu. Aku juga bosan melawan
orang yang tidak kukenal. Aku ingin menembak kepalamu.”. jawab Alicia sambil
memutar kedua bola matanya. Ia melangkah ke arah kemana yang hendak ia tuju
tadi.
“Tunggu.”,
kata Calvin sambil menarik lengan Alicia kembali hingga jatuh dalam pelukannya.
Dan seketika sebuah peluru hampir saja
mengenai kepala Alicia. “Lari, okey.”, terusnya tenang.
“Tidak
ada adegan romantis di sini.”, kata Alicia sambil melepaskan pelukannya.
“Perlu
dihitung?”
“Perlu.”
“Okey,
satu…”
Alicia
langsung berlari menuju jipnya dan bersembunyi di balik jipnya. Calvin yang
sudah menerima pistol Alicia segera ia tembakan kearah hutan seberang. Sekitar tiga
ledakan senapan terdengar lagi secara bersamaan. Kemudian, ia berlari menuju
Alicia yang menunduk di samping jipnya, ia melompat saat dia hanya berjarak
satu meter. Lompatannya cukup tinggi hingga dapat melompati jip rekannya. Ia melemparkan
pistol itu kembali kepada pemiliknya saat melompatinya. Kemudian Calvin berlari
masuk ke dalam hutan.
Ia
berlari dengan senyuman merekah di bibirnya. Langkahnya sangat cepat hingga
mengagetkan semua lawan-lawanya. Ia menebas seseorang yang bersembunyi di balik
pohon besar terdekat, tepat di perutnya hingga terbelah menjadi dua. Ia tidak
melihatnya tapi mengetahuinya. Darahnya terciprat dan menghiasi sekitar pohon
besar itu. Calvin segera menyingkir sebelum terkena cipratan darah itu kecuali
pedangnya yang sekarang berhiasi cairan merah kental. Sisa dari semuanya
berlari melarikan diri. Ia mengikuti dua orang yang berlari keluar hutan. Hampir
saja sebuah peluru mengiris pipi kanannya saat ia berlari, kepalanya dapat
menyingkir dari peluru itu dengan cepat.
Ia
melompat saat hampir mendekati pinggiran hutan. Tanpa melihat sekitarnya, ia
menodongkan pedang ia tepat ke arah sebuah leher terdekat di sebelah kanannya
setelah ia sampai di permukaan. Pedang itu hampir mengiris leher seorang yang
memakai jaket kulit.
“Sori
Calvin. Aku tidak dibayar untuk membunuh, jadinya aku tidak melakukannya.”,
kata Alicia yang berada di sebelah kirinya.
Calvin
membalasnya dengan senyuman.
Alicia
yang berdiri di sampingnya yang sudah tertangkap oleh lawannya sendiri. Kedua tangannya
diikat dengan tali yang sangat kuat. Kedua pistolnya berada di tangan lawannya
yang diarahkan ke kepalanya.
Sedetik
kemudian, Calvin memutar tubuhnya ke kanan. Ia melakukan tipuan hendak menebas
leher di sebelah kanannya itu tapi ia menyikut perutnya sambil melemparkan
pedang kearah berlawanan; Calvin mendorong tubuh orang itu hingga membentur jip
Alicia dengan kuat.
Pedang
yang melesat kearah Alicia hampir mengiris telinga kirinya. Hanya jaraknya
kurang dari setengah centimeter saja, telinganya sudah berdarah-darah. Tapi
pedang itu melesat memotong telinga orang yang menodongkan pistol ke kepala
Alicia. Mata Alicia membelalak karena pedang Calvin yang melesat itu – hampir saja
menusuk kepalanya. Pistol itu jatuh diatas kaki Alicia sedangkan pedang Calvin
terus menembus kebelakang dan hampir menusuk kepala orang dibelakang Alicia –
dia lebih dahulu berjongkok untuk menghindarinya karena menyadarinya.
Ini
sulit dipercaya oleh Alicia karena ini sedikit tidak nyata. Pergerakan Calvin memang
cepat dan lemparannya begitu kuat dan tepat. Ini membuatnya terkejut dan tidak
percaya apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Semuanya tampak tidak
mungkin dapat dilakukan kecuali memang sudah ahli atau hanya sebuah kebetulan
semata. Alicia makin ngeri memikirkannya apalagi pedang Calvin dilemparkan lagi
kearahnya. Cepat-cepat ia memejamkan matanya.
Satu
menit ia menutup matanya. Dan setelah sepuluh detik kemudian ia membuka matanya
dan mendapati kedua tangannya sudah bebas dari tali-tali yang mengikatnya. Ia menatap
sekitarnya dengan cepat dan tidak mendapati apa-apa. Hanya Calvin yang berdiri
di belakangnya. Laki-laki itu menundukan kepalanya.
“Cavin?”,
tanyanya sambil menyentuh pundak Calvin.
“Jangan
sentuh aku dulu, Alicia.”, balas laki-laki itu. Nadanya mencoba halus tapi
terdengar kasar.
Alicia
segera menarik tangannya kembali dan memeluknya dengan erat.
“Kau
membunuh mereka semua?”, tanyanya kemudian.
“Ya.
Tolong jangan takut kepadaku.”, jawab Calvin cepat-cepat.
“Tidak.
Aku tidak takut. Aku sudah janji.”, balas Alicia yang terdengar tenang dan
ringan.
“Terima
kasih.”
Tiga
detik kemudian, Calvin membalikan tubuhnya dengan cepat lalu menarik tubuh
Alicia hingga berada di belakang punggungnya. Ia menangkis lima buah peluru
yang ditembakan kepadanya. Dia mengayunkan pedang itu dengan luwes tapi
sebenarnya kuat hingga peluru-peluru itu dikembalikan kepada penembaknya. Tiga diantaranya
mengenai wajah penembak dan dua sisanya menembus logam di jip Alicia dan
menembus tangki bensinnya. Dengan cepat ia mendorong tubuh Alicia hingga berada
jauh dari lokasi yang sebentar lagi akan terjadi ledakan besar. Sekitar berjarak
lima puluh meter, itu jarak lumayan aman untuknya.
Tanpa
sadar dirinya, kondisinya tadi begitu bergairah, tenaganya begitu cepat bertambah
dan memenuhi tubuhnya. Hampir saja tubuhnya tadi tidak terkendali dan hampir
saja menyertakan Alicia dalam sasarannya. Untung ia sempat sadarkan dirinya dan
hanya meninggalkan bekas goresan kecil di lengan kiri Alicia. Yang membuatnya
bingung adalah mengapa Alicia tidak merasakan luka di lengannya. Dan sedetik
kemudian, ledakan terjadi lumayan besar.
Api
berkorbar dengan besarnya hingga menyentuh hutan di dekatnya. Api-api itu
menjilat hutan-hutan didekatnya hingga menyala-nyala terang. Angin membawanya
bertambah besar dan semakin menyebar dengan cepat membakar hutan. Cahaya jingga
dan merah yang dipadukan dengan terang menghabisi dan membakar siapa yang
mendekatinya. Tidak aneh jika ini membuat Alicia langsung merinding ketakutan.
“Kau
takut, huh?”, tanya Calvin datar kepada Alicia yang menegang.
“Tidak.”,
jawab Alicia. Suaranya sangat terdengar bergetar.
“Jangan
bohong. Kau benar-benar takut.”, kata Calvin, suaranya terdengar sedikit lebih
garang. “Lupakan saja.”, terusnya pahit.
Kedua
lutut Alicia tiba-tiba tidak kuat menopang tubuhnya. Ia berlutut dalam keadaan
tegang dan bergetar ketakutan. Ia lagi-lagi shock saat bersama Calvin. Ia ingin
mencoba melawan ketakutannya tapi pandangannya sudah seutuhnya tertutup dengan
ketakutannya.
“Oh
Alicia.”, kata Calvin lagi, suaranya terdengar lebih lembut dan rasa penyesalan
yang besar. Ia memandangi kekasihnya yang shock dan ikut berlutut. “Aku disini.”,
terusnya sambil memeluk Alicia erat-erat dan berharap ini dapat dengan mudah
menenangkan dirinya.
“Tidak…”
Suara Alicia terdengar bergetar dan pelan hampir tak bersuara.
“Aku
disini. Tenanglah, okey. Aku disini.”, kata Calvin tenang dan khawatir.
“Aku
takut…”
“Aku
disini, Alicia. Tenanglah. Jangan takut, aku disini.”
“Tidak…
aku… sendiri – tidak… ada Calvin.” Suara Alicia makin tidak jelas. Pandangannya
masih tertutup oleh kegelapan ketakutannya.
“Aku
disini, Alicia. Aku disini. Di sampingmu, di sisimu, selamanya yang kau mau. Aku
tidak kemana-mana.”
Kata-kata
itu menyadarkan dirinya. Suara itu membawanya keluar dari ketakutannya.
Semuanya
buram, tidak terlihat dengan jelas. Cahaya jingga dan merah yang terang di
depannya. Merembet hampir membakarnya hidup-hidup. Sadarkah dirinya bahwa apa
yang dia lihat telah membuatnya buta akan ketakutannya sendiri.
“Calvin…”,
katanya memanggil Calvin. Suaranya masih terdengar bergetar dan samar-samar.
“Aku
disini. Aku memelukmu sekarang. Jangan takut, okey. Aku tidak akan
melepaskannya sampai kau sendiri yang melepaskannya.”, jawab Calvin yang masih
khawatir.
“Apinya
mendekat.”, kata Alicia pelan.
“Tidak
sampai kemari. Tenanglah… sebentar lagi ada yang akan mengurusnya nanti.”, kata
Calvin tenang agar memancing Alicia semakin tenang.
Semenit
kemudian terdengar suara helicopter dan banyak mobil berdatangan ketempat
lokasi. Salah satu mobil sedan hitam membawa Calvin dan Alicia masuk ke
dalamnya. Calvin terus mencoba untuk menenangkan Alicia yang masih shock.
“Ada
apa dengannya?”, tanya seorang wanita lembut.
“Shock,
Ma. Dia melihatku tadi. Aku menyesal.”, jawab Calvin sedih.
“Tenangkan
dirinya, Calvin. Kami akan membawamu kembali ke rumah dan memebereskan
kebakaran hutan yang kau sebabkan itu. Semoga tidak luas yang terbakar.”, kata
wanita itu lembut dan tenang.
Calvin
memeluk Alicia lagi untuk menenangkan gadis itu yang sedikit menegang. Ia mengecup
kening Alicia lalu memeluknya lagi hingga kehangatan terasa dikulit Alicia yang
kebas; mobil sedan itu mulai pergi dari tempat itu segera.
Komentar
Posting Komentar