Langit hari ini cukup mendung.
Awan-awan kelabu sudah mulai menutupi langit yang tadinya masih berwarna nila
dan tak ada bayangan putih seperti bulu domba menutupinya. Tapi kali ini aku
yakin sebentar lagi hujan deras. Sangat deras. Atau mungkin badai.
Aku duduk di atas pasir halus yang
berwarna kuning di pinggiran Pantai Kuta, Bali, Indonesia. Angin yang berhembus
dari selatang membawakan hawa akan terjadinya badai atau hujan deras. Aku
menatap awan yang sudah kelabu gelap dan menggumpal di langit yang tadinya
cerah. Nafasku yang tenang dan detak jantungku yang teratur mulai sedikit lebih
cepat. Keringatku kering tersapu angin yang berhembus dari Australia itu. Aku
menghirup udaranya yang dingin lalu menghembuskannya perlahan lewat mulutku
kemudian ku tutup rapat-rapat. Takut serangga masuk ke dalam mulutku.
Kunikmati angin dingin itu menyentuh
kulit putihku. Aku melihat ombak yang menggiring banyak pasir dan air dari
Samudra Hindia yang luas. Ombak menari-nari di pantai, membasahi banyak
orang-orang yang menantang mereka. Kebanyakan dari orang-orang itu adalah
pelajar SMP atau pelajar SMA yang berlibur ke Pulau Dewata ini.
Mataku terpesona akan keindahan alam
ini. Aku sangat menyukai pantai karena banyak wanita-wanita yang seksi memakai
bikini mereka berjalan kian kemari tanpa malu. Tapi bukan itu adalah alasan
kedua. Alasan pertama adalah aku menyukai ombak, air laut, angin laut, dan juga
suasana pantai yang menyenangkan. Bagiku, semua ini adalah indah dan sempurna.
Dan hidupku sesempurna pantai ini.
Aku baru saja menikah dan aku sedang
berbulan madu dengan istriku tercinta. Ia adalah wanita yang baik, tidak salah
aku menikahinya. Aku meliriknya yang sedang asik bermain bola voli dengan turis
lain yang kebanyakan dari Eropa walaupun angin semakin lama semakin kencang
meniup bola itu ke utara. Ia sadar aku meliriknya sambil tersenyum kecil dan
tidak berbentuk, dan menatapku sambil tersenyum lembut dan manis sekali. Aku
seakan dibawa angin pergi.
Ia memberikan telapak tangannya kepada
grupnya dan mereka membalas telapak tangannya. Aku yakin mereka baru saja
menang. Istriku tersenyum kepada mereka dan mengucapkan beberapa kata yang
tidak kudengar, yang kudengar hanya suara deburan ombak dan teriakan kegembiraan
pelajar-pelajar yang bermain air. Ia berjalan kearahku sedikit berlari di atas
pasir pantai. Rambut hitam pangjangnya digelung ke belakang kepalanya, poni
rambutnya bergoyang ke kanan, ke kiri, ke depan, dan kebelakang tak beraturan
saat ia berlari ke arahnya. Wajahnya, bahagia. Seperti diriku sekarang.
Tubuhnya indah. Lekukan di tubuhnya
terlihat jelas saat ini. Ia memakai baju renang berwarna hitam gelap yang
menutupi dadanya yang melambung-lambung saat berlari dan menutupi pinggangnya
kebawah tapi betisnya telihat. Kulitnya putih bersih dan tidak ada bekas
apapun. Ia terus berlari kepadaku walaupun ia tahu kalau aku memikirkan dirinya
yang indah.
Ia menimpaku sambil memelukku. Aku
hampir saja jatuh ke belakang tapi tangan kiriku kuat menyangga tubuhku dan
tubuhnya. Kurasakan kulitnya basah dan sedikit berkeringat.
“Bagaimana pertandingannya?”, tanyaku
kepadanya setelah kami berciuman sebentar.
“Menang.”, katanya senang sambil
membenarkan posisi duduknya di sampingku. Aku merangkulnya. “Huh…” Ia sedikit mengeluh
akan sesuatu. “Aku ingin makan.”
“Kau sudah lapar?”, tanyaku setengah
terkejut karena kami baru saja makan tiga jam yang lalu.
Ia menganggukan kepalanya tapi
pandangannya menatap lautan. “Mungkin aku ngidam.”, jawabnya polos.
“Jangan katakana hal bodoh.”, kataku
pelan.
Ia menatapku dengan sedikit kesal.
“Jika aku hamil, apakah itu hal bodoh?”, tanyanya setengah garang.
“Tidak.”, jawabku langsung. “Aku
masih… Well, masih ingin kita berdua
saja. Belum ingin ada orang ketiga.”, terusku dan memikirkan kembali ucapanku
apakah itu tepat atau tidak.
Kegarangannya memudar seketika lalu ia
bersandar pada bahuku. “Kau inginnya kapan?”, tanyanya kepadaku. Aku meringis.
“Tidak perlu tergesa-gesa. Lewatkan
masa mudamu dahulu.” Aku salah ngomong lagi. Aku belum terbiasa dengan
statusku.
“Masa mudaku?”, katanya kebingungan.
Ia menatapku sambil tersenyum pahit mengejek. “Baiklah kalau itu maumu. Aku
ingin bersenang-senang dengan kakak saja.”, terusnya sambil bangkit berdiri.
Aku menarik tangan kanannya hingga ia
jatuh ke pangkuanku seperti bayi.
“Tidak tidak.”, kataku melarangnya.
“Ini adalah momen kita berdua.”, kataku serius.
Ia tersenyum kepadaku. Lembut dan
manis seperti biasanya. Aku mengangkat tubuhnya hingga duduk di depanku. Kami
memandangi lautan bersama. Aku memeluknya dari belakang.
“Kita harus mengambil gambar,
Calvin.”, katanya kepadaku sedikit manja.
“Pakai dan siapa yang akan
mengambilkannya?”, tanyaku.
“Entah. Mengapa kau tidak membawa
kamera?”
“Aku meninggalkannya di rumah,
Alicia.”
“Ambil dong di rumah.”
“Aku tidak ingin meninggalkanmu
sedetikpun.”
“Tadi kau meninggalkanku mencari
bintang laut.”
Aku terkikik. “Memang. Tapi kau tahu
bahwa aku langsung berhenti mencari bintang itu tapi malah mencarimu yang
menghilang.” Aku mencium pipinya.
“Aku kan main voli.”, rengeknya.
“Dan tidak mengajakku?”
“Aku tidak tahu kau menungguku… hei!
Hentikan itu, saying.” Alicia menjerit karena aku menggelitiknya dengan
jari-jariku. Ia tidak kuat hingga mengeluarkan air matanya. “Hentikan…”
Suaranya bergetar.
Aku menahan jari-jariku lalu memeluk
pinggangnya dan menyeretnya duduk di depanku lagi dengan benar karena ia
merosot ke atas pasir-pasir. Aku meletakan daguku di atas bahu istriku dan ia
merasa geli secara reflek. Ia menyenggol keras daguku disaat gigiku tidak tertutup
rapat sehingga lidahku tergigit oleh mereka.
“Ugh.” Suaraku pelan di telinga
Alicia.
“Ada apa?”, tanyanya terkejut. Ia
membalikan tubuhnya menatapku yang menutup mulutku dengan tanganku.
“Tidak ada apa-apa.” Suaraku tidak
jelas di dengar aku akui itu karena aku juga tidak mendengarnya dengan jelas.
Tanganku masih menutupi mulutku dan lidahku masih sakit, aku harap tidak
berdarah.
“Ada apa dengan mulutmu, sayang?”,
tanyanya lagi. Aku meliriknya sambil tersenyum masam dan aku yakin ia tidak
mengetahui kalau aku sedang tersenyum kepadanya.
Ditengah-tengah kesakitanku dan
ditengah-tengah kebingungan Alicia terhadapku, seorang gadis berumur sekitar
lima belas tahun menghampiri kami berdua dengan membawa sebuah kamera. Ia
ragu-ragu sebentar lalu memberanikan diri untuk berbicara kepada kami.
“Excuse
me, sir, ma’am.”, katanya gugup.
Aku sedikit sebal mendengarnya karena
kau dipanggil ‘sir’. Aku masih muda
dan umurku belum tiga puluh tahun. Alicia dapat melihat kekesalanku dipanggil
seperti itu.
“Yeah.”,
jawab Alicia lembut.
“Could
I take pictures with you?”, Tanya gadis itu sedikit tergagap.
“Oh, tentu.”, jawab Alicia lembut lalu
tersenyum. Gadis itu ternganga karena terkejut. “Kau mau, Calvin?”, tanya
Alicia kepadaku dengan Bahasa Indonesia. Aku menganggukan kepalaku karena aku masih
merasakan sakit di lidahku. Sudah ku duga ini pasti berdarah.
Gadis itu membeku di tempat karena
malu. Yang sebelumnya kami dikira turis asing ternyata orang Indonesia. Padahal
kami dulu pernah tinggal di sini tapi tepatnya di Pulau Kalimantan. Aku tinggal
di sana dari aku lahir sampai aku mendapatkan pekerjaan memegang saham pusat di
Eropa. Dan rumahku sekarang di Eropa bersama Alicia.
“Kalian dapat berbicara Bahasa
Indonesia?”, tanya gadis itu malu-malu.
“Tentu.”, jawab Alicia langsung.
“Waktu kecil aku tinggal di Denpasar.”
Gadis itu menganggukan kepalanya
mengerti dengan malu-malu. “Jadi, bisakah kita mulai?”, tanyanya malu-malu.
“Sekarang boleh. Tapi aku tidak mau
berfoto jika aku mengenakan pakaian ini.”, kata Alicia lembut.
Ingin sekali aku berkata bahwa ‘kau
cantik mengenakan itu dan tak perlulah kau malu-malu’ tapi bagaimana bisa. Aku
tidak ingin memuntahkan darah disaat seperti ini.
“Bisakah kau menunggu sebentar…”
Alicia bingung memanggil gadis itu.
“Ina.”, kata gadis itu menyebutkan
namanya.
“Iya Ina, nama yang bagus. Bisakah kau
menungguku sebentar, Ina?”
“Terima kasih. Tentu.”
Alicia tersenyum sambil mengambil tas
kecil yang menggantung di pinggangku. Ia berlari munuju ke para pedagang yang
menjual kain pantai. Aku menatap gadis itu sambil tersenyum masam tapi tanganku
masih menutupi mulutku. Aku seperti anak kecil.
Gadis itu kebingungan melihatku
seperti ini. Aku yakin banyak pertanyaan muncul di benaknya tentangku. Aku
tidak ingin melepaskan tanganku karena takut darah sudah terlihat di bibirku.
Alicia tiba dan langsung duduk di
sampingku. “Maaf lama.”, katanya sopan. Ia mengembalikan tas kecilku lagi ke
pinggangku lalu menatapku kebingungan. “Kau kenapa, Calvin?”, tanyanya
kepadaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Ia menatap Ina dan ia hanya
mengangkat kedua bahunya. Ia menarik kedua tanganku dan akhirnya terlepas
sudah. “Ada apa?”, tanyanya lagi.
“Aku tidak apa-apa. Apa aku berdarah?”
“Tidak. Lidahmu tergigit?”
Aku menganggukan kepalaku. Syukur
lidahku tidak berdarah atau memang sudahsembuh. Ini sulit diprediksi.
“Mengapa kau tidak member tahuku
tadi?”
“Lidahku sakit dan aku tidak bisa
berkata apa-apa.”, jawabku lalu aku melirik ke arah Ina yang dari tadi berdiri
membeku di sampingku. Alicia mengelus-elus pipiku.
“Ayo.”, ajak Alicia kepada Ina.
Ia terbuyar akan lamunan kecilnya lalu
tersenyum kecil. “Aku panggil teman-temanku dulu.”, katanya lalu membalikan
tubuhnya. Ia memberikan aba-aba kepada teman-temannya yang sedang bermain ombak
menunggu dirinya.
Sekitar lima anak perempuan yang
berlari menghampiri kami, rata-rata mereka umurnya sama dengan Ina. Yang
berbadan paling tinggi memiliki rambut pendek seperti laki-laki dan lurus. Ia
mengenakan kaos tipis berwarna ungu dengan motif bunga kamboja warna-warni,
celana colornya yang menutupi sampai lututnya pun sejenis dengan kaosnya. Yang
memiliki rambut paling panjang yang ia ikat serempangan di atas bahu kanannya
dan bertubuh ideal itu berlari di samping gadis yang bertubuh tinggi itu, ia
mengenakan baju terusan celana pendek berwarna merah muda dengan motif bunga
kamboja kecil-kecil dan ramai. Yang memakai jilbab putih bersih tapi sedikit
basah akibat tadi main air itu berlari di tengah-tengah. Tubuhnya kurus seperti
Alicia dahulu. Dan di sampingnya, terdapat gadis yang bagiku mereka manis
seumurannya. Jika waktu aku masih SMA jika melihat dia mungkin tidak bisa
memejamkan mata. Ia memiliki lesung pipi yang cukup dalam, dan aku sempat
memiliki tipe cewek yang memiliki lesung tapi sayangnya Alicia tidak
memilikinya. Sisanya, tubuhnya tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Tubuhnya
datar tapi tidak kurus seperti kapur. Aku tersenyum masam kepada mereka hanya
saja Alicia yang tersenyum lembut khas miliknya.
“Aku sudah berkata kepada mereka bahwa
mereka bersedia.”, kata Ina kepada teman-temannya. Mereka menatapku dan Alicia.
Anehnya mata mereka berbinar-binar kepadaku. Aneh.
Kami berdelapan mengambil foto secara
bergantian. Dan yang terakhir adalah aku yang mengambil gambarnya. Ternyata
menenangkan jika aku tidak ikut berfoto seperti itu. Anak-anak sekolah itu
mengamatiku seperti artis idola mereka padahal aku tidak seterkenal penyanyi
atau actor. Akhirnya selesai juga. Aku mengembalikan kamera itu kepada Ina dan
mereka mengucapkan terima kasih kepadaku dan tentunya kepada Alicia juga. Ia
tersenyum senang melihat mereka berenam yang sudah berjalan menjauh dan berebut
melihat gambaran mereka yang baru saja kuambil itu. Aku menghela nafas.
“Kau tidak apa-apa, sayang?”, tanya
Alicia kepadaku.
“Aku baik-baik saja.”, jawabku sambil
mengangguk pelan.
“Pulang atau makan siang?”, tanya
Alicia sambil berdiri. Ia mengikat kain pantai itu di pinggulnya.
“Pulang sebentar. Lalu jalan-jalan
lagi. Kau mau ke GWK?”
Alicia berpikir sambil meletakan jari
telunjuk kanannya di depan mulut. Aku tahu ia membuang-buang waktu dengan
berpikir.
“Aku ingin ke pantai lagi.”
“Mendung.”
“Nanti di GWK juga bakalan kehujanan.”
“Lalu?”
“Makan.”
Aku mengehela nafasku. Alicia memang
benar-benar membesarkan perutnya padahal kami sudah membuat kesepakatan bodoh
sebelum menikah. Dan aku tidak mau membahasnya lagi.
“Kita mau makan kemana dengan pakaian
renang seperti ini?”, tanyaku.
“Kita ganti baju dahulu, sayangku.”,
katanya lalu mengecup bibirku.
“Mandi dahulu?”, kataku sedikit dengan
nada nakal.
Ia tertawa mendengarnya. “Baiklah. Kau
ingin mandi dimana?”
“Terserah. Kau yang mengerti tempat ini.”
Ia tersenyum kepadaku. Lalu ia
membawaku untuk mengembil tas di mobil lalu mandi di tempat yang sudah
disediakan. Selesai itu, ia menarikku lagi seperti aku ini adalah troli. Ia membawaku
masuk ke mobil.
“Ikuti arahku saja.”, katanya penuh
semangat. Aku tersenyum mendengarnya.
Di perjalanan ternyata ia banyak
bicara. Bukan hanya menunjukan arah tetapi ia juga berbicara tentang berbagai
macam hal. Dia seperti pemandu wisata yang masih ingat tentang wilayah ini. Aku
pun asik mendengarnya.
Tempatnya adalah restoran berbintang
lima. Aneh sekali ia mengajakku ke tempat itu. Aku meliriknya dan ia tersenyum
lembut kepadaku.
“Kau tunggu sebentar di sini, okey? Aku
segera kembali.”, katanya lalu berlari keluar.
Entah apa yang ia rencanakan tetapi
sepertinya ia akan mengejutkanku. Alicia masuk ke dalam restoran itu dan hanya
menunggunya beberapa menit saja ia sudah keluar dengan membawa kantong plastic besar.
Aku yakin dia sudah memesan makanan itu terlebih dahulu. Pintu terbuka dan ia
duduk di sampingku. Kulirik apa yang ia bawa tapi ia menyembunyikannya dan
menyambar bibirku.
“Kau menyetir ya, sayang.”, katanya
setelah menyiumku.
“Roger
that.”
Ia asik sendiri dengan bawaannya dan
terus berpikir apakah ada yang kurang atau tidak. Ia menyuruhku untuk menyetir
bukan untuk membantunya berpikir. Aku yakin ia akan membentakku jika aku
ikut-ikutan dengannya. Cukup lama dalam perjalanan dan aku yakin aku berada di
bagian utara Pulau Bali. Ia mengajakku ke pantai yang sepi di pinggir tebing
dan jalanan aspal. Jalan itu sering digunakan oleh para pelajar setelah study
tour mereka untuk perjalanan pulang. Aku pun pernah melewatinya. Ombaknya kecil
dan pinggir pantai terdapat batu-batu besar. Alicia menarikku untuk duduk
diatas batu itu. Ia bersandar pada bahuku dan aku merangkulnya. Ia menceritakan
bahwa ini adalah tempat faforitnya dulu waktu kecil. Ia sering ke sini dengan
sepeda ontelnya dahulu (dan sampai sekarang masih ada di gudang rumah neneknya.
Sepeda tua itu masih bisa digunakan lagi).
“Nenek sering mencariku kemana-mana
seprerti ke rumah teman atau sekolah. Padahal aku di sini duduk sendiri
menikmati pantai ini.”, katanya lembut.
“Kau memang selalu saja menghilang
tanpa jejak.”, kataku sambil meliriknya.
Ia tertawa kecil. “Aku senang jika kau
menemaniku berada di sini. Sunyi tapi asik. Kau hanya ditemani oleh suara air
laut yang terkadang terdengar. Selain itu banyak bus yang selalu lewat di jalan
ini. Dan ngomong-ngomong mobilmu menghalangi jalan.”
“Siapa yang menyuruhku parkir di
tempat ini?” Aku membalasnya.
Ia lagi-lagi tersenyum.
“Aku hanya memerlukan waktu sebentar
di sini.”, katanya sambil menutup matanya dan menikmati angin laut yang terus
meniup wajahnya. Rambutnya yang sebagian sudah kering menari-nari di belakang
kepalanya.
“Aku akan menunggumu sampai puas.”,
kataku pelan kepadanya. Aku meletakan pipi kananku di atas kepalanya.
“Kau serius dengan ini? Aku tidak
ingin berlama-lama di tempat ini karena sebentar lagi kita pasti ditegur orang
karena menghalangi jalan.”, katanya lalu tertawa kecil.
Aku tersenyum. “Bilang saja mobil kita
mogok dan kita menunggu seseorang yang akan membantu kita.”, jawabku. Aku tertular
menikmati tempat ini. Ternyata nyaman.
Ia sekali lagi tertawa. “Hei hei,
suami penipu. Kau ingin dipenjara?” Ia menarik kepalanya lalu menatapku senang.
“Ayo kita pergi. Kita ke danau saja.”
Ia lagi-lagi menarikku masuk ke dalam
mobil. Dan perjalanan kami selanjutnya adalah Danau Bedugul. Menanjak tanjakan
yang sering disebut Tanjakan Cinta itu. Aku sering tertawa mendengarnya waktu
sekolah dasar dahulu. Dan ini lebih asik kalau ada orang lain yang menyetir
mobil ini. Aku ingin berpelukan dengan Alicia seperti Teletubies. Kami hanya
memerlukan waktu sekitar satu jam sampai di danau. Di sana memang mendung dan
kabut menutupi sebagian danau. Alicia mengecup pipiku lalu mengajaku keluar
dari mobil. Angin dingin menyapu kulitku dan Alicia merinding kedinginan. Ia tidak
memakai jaket.
“Jaket yang hitam.”, kata Alicia
sambil berjalan mendekati danau. Aku mengambil jaket hitam yang berada di
belakang mobil. Aku sedikit kesal karena mendapatkan jaket sweter yang tipis.
Aku berjalan mendekatinya yang berdiri
di pinggir danau. Banyak perahu bebek yang tidak digunakan terparkir di pinggir
danau. Aku membantu mengenakan Alicia dengan jaket hitam yang kubawakan tadi.
“Maaf, aku hanya mendapatkan ini.”,
kataku pelan. Angin menerbangkan rambut Alicia tidak jauh dari kepalanya dan ia
tersenyum.
“Aku sengaja membawa yang ini. Aku ingin
kau selalu di sampingku.”, katanya sambil bersandar pada dadaku. Aku merangkulnya.
“Hangat.”, katanya pelan dan lembut.
Entah apa yang ia lihat tapi aku
melihat danau itu yang tertutup kabut yang cukup tebal. Anginnya dingin
berhembus membekukan kulit kami tapi kami merasakan kehangatan satu sama lain. Tubuh
Alicia memang bergetar kedinginan tapi lama-lama tubuhnya kembali tenang. Ia tidak
kedinginan lagi saat aku memeluk dirinya. Ia juga memelukku sangat erat, erat
sekali hingga aku merasakan kehangatan pula dibalik kaos tebalku.
Kepala Alicia menengadah ke atas dan
menatapku dari mata cokelatnya yang manis. Aku juga menatapnya sambil tersenyum
kecil kepadanya. Kami mendekatkan wajah kami satu sama lain dan kami berciuman.
Aku mencoba untuk memberikan ciuman yang pernah ia bilang mesra seperti saat
pernikahan dua hari yang lalu. Pernikahan yang awalnya kupikir adalah hal yang
akan membawaku ke dalam kebahagiaan. Dengan adanya Alicia di sampingku, hidupku
pasti bahagia. Semua kekacauan telah berakhir dan tidak ada lagi yang harus
mengorbankan nyawa mereka untukku. Mereka semuanya aman dan dapat hidup bahagia
seperti. Mereka semua, termasuk istriku akan hidup bahagia selamanya.
Tapi keputusanku ternyata salah. Dan itu
membuat semuanya menderita.
Komentar
Posting Komentar