here you go.. Fade bab 6 consider it done (sok barat) well, now I go 200 pages for Fade...!!! doain yak... lancar-lancar aja... happy reading
Bab 7
Tiga hari kemudian...
Jam telah
menunjukan pukul 08.00 am. Itu adalah waktunya untuk gadis itu, Alicia untuk
berangkat sekolah. Ia sudah kurang lebih seminggu tidak masuk sekolah dan itu
adalah rekornya tidak masuk sekolah. Misi yang ia jalani paling lama kira-kira
empat hari selesai, sedangkan ini ia harus beristirahat serta mempersiapkan
segalanya sekolahnya dan terus sampai ia selesai dengan studinya.
Seperti biasa
ia mempersiapkan seluruhnya dengan sendirian. Orang tuanya memiliki perkerjaan
yang memang benar-benar berat. Dan juga akan pulang setahun sekali atau dua
tahun sekali karena untuk melindungi dirinya. Menjadi anak seorang agen memang
sangat beresiko apalagi ia adalah seorang agen berbeda dari orang tuanya.
Untung kedua agen ini saling kenal dan saling menyalurkan bantuan satu sama
lain, itu membuatnya sedikit tenang ketika ia disuruh memilih salah satu agen.
Pilihannya saat ini adalah melanjutkan sekolah bukan memilih salah satu agen
rahasia besar. Walaupun setelah ia selesai dengan studinya, keputusan tepat
harus ia nyatakan.
Ia meminum
secangkir teh hangat yang barusan ia buat. Ia lalu meletakan cangkir itu di
tempat cucian piring dan mencucinya. Ia segera memakai sepatu hitam sekolahnya
dan juga sudah sedikit kusam. Mengambil tas yang terletak di atas meja
belajarnya lalu berangkat melalui pintu belakang. Ia menjadi teringat dengan
mobil jip hitamnya yang ia parkirkan di garasi belakang rumahnya. Sejak
kejadian ia dirampok oleh banyak perampok, ia kehilangan jip kesayangannya yang
ia beli sendiri dari hasil kerjanya sebagai agen rahasia.
Ia
menghembuskan nafas kesabarannya lalu mengunci pintu belakang dan memasukan
kunci itu ke dalas tas gendong berwarna putih. Mulai waktu itu ia mengurangi
penampilannya yang selalu hitam menjadi warna yang cerah dan sedikit kegadisan.
Selain kehendaknya, ia juga terpaksa harus sedikit feminim dalam penampilannya
oleh mamanya yang telah mengantarkannya pulang dan menemaninya di rumah tidak
sampai satu hari.
Seragam
berwarna putih bersih dan jaket berwarna merah muda polos ia gunakan serta rok
abu-abunya, rambutnya tidak ia apa-apakan hanya ia jepit di sisi kiri
rambutnya. Ia sudah siap untuk belajar dan bersekolah. Ia siap untuk
melanjutkan studinya dan sudah siap untuk menerima sedikit omelan dari guru
BKnya karena ia sering tidak berangkat karena alasan yang kadang-kadang tidak
masuk akal.
Melihat jam
tangannya yang sudah menunjukan 06.35 am. Ia segera melangkahkan kakinya dan
berangkat ke sekolah seperti biasanya yang ia rasakan, kesendirian. Terkadang
ia juga sedikit cemburu dengan teman-temannya yang selalu berangkat bersekolah
bersama sedangkan dirinya sendiri selalu sendirian seperti anak hilang.
Walaupun begitu, ia juga sudah sedikit senang saat ia bertemu dengan laki-laki
bernama Calvin. Ia telah menjadi rekannya hampir dua tahun dan selalu
bersamanya dalam menjalankan misi atau hari liburannya. Ya mengapa ia merasa
betah bekerja dari pada bersekolah karena ia tidak kesepian dan mendapatkan
kebersamaan bersama rekannya.
Jam sudah
menunjukan pukul 06.55 am. Ia sudah sampai di sekolahnya dan ia mulai memasuki
kelasnya. Kelas 2B adalah kelasnya. Saat ia memasuki kelasnya, teman-teman satu
kelasnya terkejut akan kehadirannya. “Alicia?”, kata mereka semua terkejut
secara bersamaan. Dan memang itu membuat Alicia bingung. Semuanya menggerubungi
Alicia dan mulai bertanya-tanya yang membuat dirinya semakin bingung,
“Alicia kau
tidak apa-apa?”
“Alicia aku
dengar kamu dirampok lima belasan orang sehingga kamu masuk rumah sakit?”
“Alicia kamu
sudah sembuh? Beneran kamu tidak apa-apa?”
Memang membuat
Alicia sedikit tidak nyaman akibat pertanyaan mereka semua. Mungkin
pengizinannya saat ia tidak masuk baru saja dikirim dua hari yang lalu. Ia
hanya dapat menggerutu di dalam hatinya dan mulai tersenyum kecil kepada
teman-temannya yang menggerubunginya.
“Aku tidak
apa-apa. Pasti pengizinannya melebih-lebihkan kondisiku, tetapi aku tidak
apa-apa sekarang.”, jawab Alicia pelan.
“Oohh...”,
kata teman-temannya bersamaan. Benar-benar membingungkan dan membuatnya semakin
tidak nyaman.
Ia mulai
menghidar dari penggerubungan itu lalu duduk di bangkunya yang berada di
tengah. Di samping kirinya adalah bangku milik temannya yang sedikit dekat
dengannya, namanya adalah Angelica. Dia seperti seorang putri tapi hanya saja
dia membenci sebutan seorang putri padanya. Memiliki kulit putih, wajah manis
dan cantik, serta memiliki rambut yang sedikit pirang karena garis keturunannya
yang berdarah eropa. Murah senyum dan senang bergaul dengan siapapun, itulah ia
mengapa mendapatkan banyak teman. Tetapi ia sebenarnya ingin bergaul dan
menjadi teman dekat Alicia yang penyendiri itu tetapi ia gagal melakukan itu
karena Alicia juga jarang masuk.
Ia mulai duduk
di samping Alicia dan mengajaknya untuk mengobrol.
“Selamat pagi,
Alicia. Apa kabar?”
“Selamat pagi
juga. Kabarku luar biasa hari ini.”, jawab Alicia lalu tersenyum.
“Jadi, bisakah
kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu sehingga kau tidak
masuk sekolah selama seminggu?”
“Oh. Boleh
kok.”, jawab Alicia. Lalu ia menerangkan kepada temannya ini sebuah kejadian
palsu yang ia karang menjadi sebuah cerita yang masuk akal.
“Jadi begitu.
Kau memang benar-benar diserang sekelompok perampok lalu kau masuk rumah sakit
dan pulang tiga hari yang lalu. Mengapa kau tidak mengirimiku e-mail? Bukannya dulu sudahku beri
alamat e-mailku?”
“Oh, itu.
ehm... karena itu...”, Alicia mulai tergagap-gagap mencari alasan yang tepat.
Bel sekolah
mulai berbunyi menandakan sudah waktunya kegiatan belajar mengajar dimulai.
Belum sempat mencari alasan yang tepat, Angelica mulai tersenyum padanya lalu
berkata,
“Sudah tidak
apa-apa, aku mengerti, kok.”
“Eh? Apa
maksudnya ini?”, tanya Alicia pada dirinya sendiri. Mengapa tiba-tiba Angelica
berkata begitu yang memang membuatnya bingung.
Angelica
tersenyum pada temannya itu lalu mengeluarkan sebuah tablet dari dalam tas
kecilnya. Ia lalu mengota-atiknya dan mulai bertanya pada Alicia,
“Apa alamat e-mailmu, Alicia?”
“Eh? Alamat e-mailku? Sebentar.”, kata Alicia lalu
mengeluarkan tabletnya dari tasnya. Ia mencari alamat e-mail yang ia buat bukan berdasarkan agen rahasiannya, ia mencari
yang sering ia gunakan untuk mengirim tugas komputer di sekolah, karena sudah
lama ia tidak mengaktifkannya makanya ia lupa alamatnya sendiri.
Dikesibukan
mencari alamat e-mail lamanya yang sempat
ia simpan di draf, tiba-tiba seorang
guru datang. Ia berpakaian berjas hitam dan rapi. Di samping itu, terdapat anak
laki-laki yang memungkinkan kalau dia adalah anak baru, tapi bukan baginya. Dia
memiliki tubuh yang tingginya hampir sama dengan guru di sampingnya, yang
membedakannya adalah seragam yang mereka kenakan. Dengan cepat Alicia mematikan
tablet itu lalu menyimpannya di dalam tasnya dan mulai duduk manis seperti anak
SD.
“Selamat
siang.”
“Selamat
siang.”
“Hari ini,
kita menerima anak baru yang baru saja pindah dari Amerika.”, kata guru itu
lalu mempersilahkan anak laki-laki itu untuk memperkenalkan dirinya.
“Sel – selamat
pagi. Saya Raka, saya baru saja pindah dari Amerika dan alasan pindah kesini
adalah bisnis dari orang tua saya.”, katanya memperkenalkan diri.
“Baik Raka,
kau bisa duduk di...”
Sebelum guru
itu melanjutkan perkataannya, laki-laki bernama Raka ini langsung saja berjalan
menuju bangku yang kosong di sebelah Alicia dengan kata lain sebelah kanan dari
bangku Alicia yang sekarang kosong.
“Baiklah, kau
duduk di sana saja.”, kata guru itu mulai sedikit tidak nyaman dengan sikap
sedikit kelancangan laki-laki ini. Ia hanya tersenyum kecut pada guru itu.
“Hari ini wali
kelas kalian sedang mengambil cuti. Sebaiknya kalian melakukan aktifitas yang
tidak membuat kegaduhan besar seperti minggu lalu. Terima kasih.”, kata guru
itu lalu meninggalkan kelas.
“Asik, jam
kosong.”, kebanyakan siswa berteriak seperti itu dengan senangnya. Lalu mereka
berkumpul satu sama lain bercerita dan bercerita yang bagi gadis pendiam itu
tidak bermutu.
Alicia selalu
duduk dalam diam sambil mengotak-atik tabletnya. Di dalam kesempatan, ia selalu
saja membaca info tentang misinya dan sebagainya. Tetapi ia telah mendapatkan e-mail dari rekannya.
From
: RiCal1@AImail.com
Subject
: miss you :*
Hari
pertama sekolahmu dan hari pertama sekolahku. Kita mungkin tidak akan bekerja
sama lagi dalam menjalankan misi rahasia sampai kita menyelesaikan studi kita.
Aku benar-benar akan merindukanmu rekanku. Haha...
Dengan selesai
membaca itu, ia langsung mematikan tabletnya. Lalu ia melirik ke arah di mana
Raka duduk. Ia melihatnya membungkuk dengan kepala ia miringkan ke arah kanan,
seperti menghindar dari yang lainnya.
Ia tidak ingin
membalas e-mail itu karena merasa
tidak perlu untuk dibalas lewat e-mail
tetapi langsung saja ia berkata dengan sedikit keras,
“Janganlah
seperti itu, Mr. Riicon yang terhormat. Tidakah itu terlalu berlebihan?”
Suara keras
itu membuat suasana kelas menjadi sepi. Semua siswa yang mendengar menjadi diam
dan menghadap ke Alicia yang mengatakan ‘Mr.
Riicon’ yang adalah nama dari pengusaha saham besar yang telah memberikan
sahamnya pada sekolah ini.
Seketika itu,
tablet Alicia berbunyi bertandakan e-mail
baru telah masuk, ia membacanya :
From : RiCal1@AImail.com
Subject
: jangan bongkar penyamaranku, Alicia!
Kau
jangan membongkar identitasku, Alicia! Dasar bodoh! Kau tak tau apa kalau aku
dapat bersekolah di sini dengan susah payah agar aku tak dipandang khusus
disini? Kau seharusnya tak mengatakan itu sehingga membuat kelas diam seperti kuburan
ini karena kebingungan mereka. Ah... kau ini bisa membuatku naik darah lagi.
Sekali saja kau bongkar lagi, aku tidak segan-segan menebasmu, Alicia! Walaupun
kau cewek atau mungkin tepatnya rekanku! Ah....
Selesai
membaca itu, ia mulai berkata dengan keras lagi,
“Kau
pencundang, keluar dari persembunyianmu! Dasar bodoh! Emang kau berani
menebasku dengan pedang katana yang selalu saja melindungiku?! Dan oleh sebab
kau juga yang selalu membuatku naik darah dan harus membolos sekolah selama
ini! Kalau bisa aku akan mengambil sebuah...”
“Dasar bodoh
diamlah kau!”, bentak laki-laki yang duduk di samping Alicia itu. Alicia mulai
meliriknya lalu tersenyum kepada laki-laki itu.
“Sudah lama
tidak berjumpa, Raka atau Calvin Riicon.”, katanya pelan. “Akhirnya kau muncul
juga.”, lanjutnya.
Suasana
menjadi terkejut setengah mati. Ternyata teman baru mereka adalah anak dari
seorang pengusaha yang telah memberikan saham kepada sekolah ini.
“Jadi kau,
Calvin itu. Kau masih mengingatku?”, kata tiba-tiba dari gadis yang duduk di
belangkangnya lalu tersenyum.
“Ehm... bukan,
bukan. Aku bukan Calvin, kok. Aku...
aku hanya asistennya yang sedang mengambil cuti.”, jawab Raka dengan
kebingungannya yang melanda.
“Haha...”,
Alicia tertawa terbahak-bahak. Ia tidak dapat menahan tawanya. “Kau, lucu. Kau
lucu, Raka. Kau lucu.”, lanjutnya.
Seluruh di
kelas menjadi tambah bingung apalagi tiba-tiba sifat Alicia yang pendiam itu
tiba-tiba saja berubah seratus persen dan kelihatannya sepertinya sudah akrab
dengan Raka.
“Haha... maaf,
maaf. Karena kau yang telah membuatku naik darah duluan. Bagaimana rasanya naik
darah, Raka?”, tanya Alicia pelan lalu tersenyum padanya.
“Ka – kau...”
“Dia hanya
seseorang yang benar-benar bodoh. Dan tidak ada hubungannya dengan keluarga
Riicon yang terpandang itu. Dia hanya seorang pecundang yang selalu bersembunyi
saja.”, kata Alicia mengejek Raka agar dia naik darah.
Raka menjadi
semakin emosi dan dia sudah berhasil masuk ke perangkap Alicia yang sudah ia
rencanakan barusan. Alicia langsung berdiri di depan kelas sembil menarik kerah
Raka dan membawanya ke depan kelas juga.
“Perkenalkan,
dia adalah seorang anak yang selalu bersembunyi dan tidak pernah menyatakan
dirinya sendiri. Dia juga yang telah membuatku sering masuk sekolah. Dan dia
juga adalah anak dari Mr. Riicon, Calvin Riicon.”, kata Alicia.
“Kau jahat
sekali, Olive.”, kata Raka sebal.
Seluruh kelas
menjadi tambah terkejut. Mereka sudah menerima gosip kalau anak dari pengusaha
kaya itu sudah bekerja dan memiliki rekan kerja dari siswa dari sekolah ini
juga dan bernama Olive padahal tidak ada siswa bernama Olive di sekolah itu.
Tentunya mereka hanya bisa shock.
“Terima kasih
pengenalan yang menjengkelkannya, Mr. Riicon.”, kata Alicia lalu tersenyum. Ia
lalu mengakat roknya sedikit dan terlihat benda menggantung di paha kanannya,
dan segera ia todongkan ke kepala Raka.
Raka terkejut
bukan main. Di sekolah membawa persenjataan seperti itu, bukankah akan disita
atau mungkin dapat discors. Tapi
wajah kawatir tidak muncul di wajah Alicia.
Kembali pada
semua siswa di dalam kelas itu. Semuanya menjadi tegang melihat tingkah dari
Alicia itu. Mereka semua tertunduk takut dengan Alicia dan kebanyakan mengambil
langkah mundur.
“Mengapa kau
lakukan ini padaku, Alicia?”, tanya Raka yang memelas.
“Masih tentang
tiga hari yang lalu. Dasar bodoh! Memangnya aku dapat memaafkanmu dengan segera
setelah aku puas menembakan pistolku ke arahmu, Calvin!”, jawab Alicia lalu
menatapnya tajam.
“Ta–tapi aku
tidak membawa senjata, kau pernah bilang kalau kau tidak akan menembakan pistolmu
sebelum aku sudah memegang senjata.”, kata Raka.
“Kalau bisa,
aku tarik kata-kata itu.”, balas Alicia yang tatapannya semakin tajam.
Raka menutup
matanya seperti sudah ingin menerima dengan hatinya walaupun ia akan mati di
sekolah ini. Dia juga sudah lupa pada suatu hal yang pernah Alicia katakan
padanya, “Aku, aku bisa membunuhmu jika aku mau! Jika kau berani menyentuhku
tanpa seizin dariku, peluru akan segera mengenai kepalamu. Dan jika aku belum
puas, aku akan mempermainkanmu seperti sebuah boneka kayu! Kau tau, hidupku
selalu akan aku jaga dan selalu aku jaga. Jika tubuh ini terjadi apa-apa, aku
tak segan-segan membunuh dia, dia yang membuat tubuh ini menjadi sesuatu yang
menyakitkan termasuk diri aku sendiri!”
Kata-kata
mengerikan ini terlintas di benaknya. Jika ia masih punya kesempatan dan
kesempatan itu masih bisa ia pergunakan sekarang mungkin ia akan masih hidup.
Dengan segera
ia membuka matanya dan memblokir tangan Alicia sehingga pistol itu terjatuh,
tetapi langkahnya membuat kesalahan besar. Ia lupa kalau Alicia selalu membawa
dua buah pistol. Pistol itu berwarna perak dan panjang. Pistol itu adalah
pistol yang sering di bawa Alicia dalam menjalankan misi. Pistol itu sudah
terlihat jelas memiliki kualitas yang tinggi, mungkin satu tembak sudah mati
langsung.
Calvin sekali
lagi menyadari kesalahan kecilnya yang selalu dianggap besar bagi Alicia ini.
Ia mengingat-ingat masa terindah dengan rekannya ini dan kebersamaannya dengan
gadis ini, walaupun nyawanya selalu tergantung pada gadis ini. Gadis yang
sebenarnya memiliki tekad kuat untuk hidupnya dan juga mental yang luar biasa
kuat. Mungkin ini adalah perpisahan. Dan kemudian...
“Doorrr!!!”
Suara keras
dari dalam kelas 2B terdengar sungguh keras, membuat seorang guru berlari
memasuki kelas itu. Semua murid duduk kembali ke bangku mereka masing-masing.
“Apa yang
terjadi?”, tanya guru yang baru saja datang. Karena mendengar suara keras itu,
semuannya menunjuk ke arah antara Alicia dan Raka yang duduk bersebelahan itu.
Guru itu
berjalan dan berhenti di tengah-tengah mereka dan mulai bertanya. “Suara keras
apa itu tadi?”
Alicia yang
memiliki jantung sedang berdetak dengan kencang karena terkejut pula dengan
suara keras itu menggelengkan kepalanya. Ia berkeringat dingin karena sedikit
kawatir. Ia melirik ke sebelahnya, Raka. Yang dari tadi membungkuk ke arah
tembok dengan tangan terlentang jatuh ke bawah semuanya seperti orang yang
tertidur.
Guru yang
sering dipanggil Mis Ana, guru Bahasa Inggris, guru yang paling cantik, guru
yang paling tegas, dan guru yang paling asik kalau diajak bercanda itu mulai
menggoyang-goyangkan badan muridnya yang tertidur.
“Mr. Riicon?”,
katanya pelan, sepertinya ia sudah mengetaui Raka yang sebenarnya. Masih tidak
terbangun juga, akhirnya Mis Ana meminta Alicia yang duduknya bersebelahan
dengannya untuk membangunkannya.
Dengan
terpaksa ia melakukan itu dan menggoyang-goyangkan tubuh itu dengan kasar
menggunakan tangan kanannya. Masih saja tidak terbangun. Dengan berat hati ia
meletakan mulutnya di dekat telinga Raka dan mulai berbisik, “Calvin, musuh
menyerang dari arah barat.”
Seperti
refeleks terhadap sesuatu, Raka atau juga Calvin langsung berdiri dan
mengarahkan suatu benda berwarna silver ke arah barat dengan tangan kanannya.
Jika untuk lebih tepatnya, ia mengarahkan ke arah Alicia yang berdiri di
depannya sekarang.
Walaupun sudah
terbiasa, tetapi Alicia terkejut bukan setengah mati. Ia tidak menduga bahwa
ia, Raka membawa senjata api yang sering ia gunakan dalam menjalankan misi atau
lebih bisa dibilang adalah pistol andalannya.
Bukan hanya
Alicia yang tertodong saja yang terkejut setengah mati. Mereka, siswa 2B
termasuk Miss Ana yang melihat juga sama terkejutnya, mungkin lebih terkejut
mereka daripada Alicia.
“A – Alicia?”,
kata Raka terkejut kepada gadis di depannya atau yang ia todong.
Alicia
menajamkan matanya menunjukan pada pistol itu yang menandakan, “Sembunyikan
pistol itu segera!”
Setelah sadar
akan peringatan tersirat dari Alicia, ia segera menarik tangannya tetapi sebuah
kaki telah menendang tangan kanannya terlebih dahulu membuat pistol itu
terjatuh. Yang memiliki kaki itu adalah seorang laki-laki yang duduk di
belakang Alicia, ia bertubuh sedikit pendek dan memakai kacamata bulat. Lalu ia
mendorong Alicia ke belakang yang membuatnya terjatuh ke belakang. Selain itu,
ia juga menyuruh Miss Ana untuk menjauh beserta semua teman-temannya yang saat
itu posisinya dekat dengan Raka.
“Raka! Kau
anak baru sudah mau berlagak sebagai pahawan?!”, bentak anak laki-laki bertubuh
kurus itu.
Raka membuang
pandangannya seperti ia tidak ingin melihat seseorang atau memang ia sedang tak
ingin memandang dunia yang penuh dengan pertempuran entah itu pertempuran kecil
seperti ini atau sampai pertempuran besar seperti World War.
“Sudah
hentikan ini, Vincent. Kau tak usah begitu terhadapnya.”, kata Alicia yang
mulai berdiri diantara mereka berdua. “Dia sebenarnya tidak bermaksud seperti
itu, kok.”, lanjutnya mencari alasan.
“Tak apa,
Alicia.”, kata Raka sambil memegang bahu Alicia yang berdiri di depannya.
“Lebih baik aku keluar saja, untuk menenangkan pikiranku dari mimpi burukku.”,
lanjutnya.
“Mimpi
buruk?”, kata Alicia pelan.
Raka diam dia
tidak membalasnya, ia masih membuang pandangannya. Lalu ia mengambil tasnya
lalu berjalan keluar. “Ambil pistol itu, Alicia. Ambil saja pistol itu dan
anggap saja itu permintaan maafku.”, lanjutnya sambil berjalan menjauh dan
akhirnya menghilang saat ia keluar dari kelas.
“Baik,
anak-anak. Semuanya harap kalian melupakan hal ini dan mohon kalian tenang
untuk hari ini. Kalian sebaiknya belajar pelajaran saya, karena saya akan
mengadakan tes hari ini.”, kata Miss Ana yang merasa kalau kejadian ini telah
berakhir. Ia segera pergi menyusul Raka yang keluar tadi.
Semuanya duduk
kembali ke tempat duduk mereka kecuali laki-laki kurus bernama Vincent itu. Ia
mengambil pistol yang telah terjatuh itu lalu menyerahkannya kepada teman yang
duduk di depannya.
“Ini ambil. Ia
memberikan itu kepadamu, sebaiknya kau simpan dan gunakan ini sebaik-baiknya
bukan untuk hal seperti tadi.”, katanya sambil menyerahkan pistol silver itu.
Alicia
menerima itu lalu melihat-lihat pistol yang sering ia gunakan itu. Ia seperti
melihat benda yang sangat bagus untuk pertama kalinya jadi pada terkesan tampak
pada wajahnya. Lalu ia memainkan pistol itu seperti sudah terbiasa dengan pistol.
Memutar-mutarkannya dengan jari telunjuk kanannya dan berhenti mengarah ke
depan. Ia malakukan itu terus menerus sampai ia merasa bosan.
“Kau seperti
sudah pernah memegang pistol itu, Alicia. Berhentilah memainkannya seperti itu.
Kau membuatku merinding.”, kata Angelica yang melihat temannya memainkan pistol
itu.
Alicia
berhenti memainkan pistol itu dan akhirnya jatuh di atas mejanya. Pistol itu
masih berputar di tempat. Alicia yang sepertinya ia merasa seperti memiliki
kesalahan dan yang telah membuat ini terjadi, ia merasa seperti ia diambang
dalam kebersalahan yang telah membuat ini terjadi. Tetapi ia tidak tau apa yang
telah ia lakukan. Ia berpikir tentang kelakuannya dan akhirnya ia sadar. Ia
mulai berdiri mengambil pistol yang masih berputar-putar di atas mejanya lalu
ia memasukannya ke dalam kantong roknya yang cukup untuk memasukan itu lalu
pergi keluar.
***
“Mr.
Riicon.”,kata Miss Ana yang masih mengejar Raka yang berjalan menuju suatu
tempat yang tidak asing baginya. Ia membalikan badannya dan menghadap Miss Ana.
“Kau, tidak
harus seperti tadi, Mr. Riicon. Apa kau terkejut akibat Alicia telah
mengejutkanmu saat kau tertidur?”, tanya Miss Ana. Ia berdiri tepat di depan
Raka.
“Berhentilah
memanggilku dengan nama keluargaku, Ana. Kau tau aku membenci itu.”, kata Raka
datar.
“Baik. Calvin,
mengapa kau lakukan tadi? Aku tau kau yang telah menekan pelatuk itu dan
membuat suara keras. Kau tau, kau bisa dipandang buruk oleh teman-temanmu.”,
kata Miss Ana.
“Soal itu
bukan urusanmu, Ana. Ini urusanku yang seharusnya aku pikirkan dahulu.”, jawab
Calvin datar lalu berjalan menjauh dari wanita itu.
“Calvin...”,
kata wanita itu dengan suara agak keras tetapi seseorang telah menyentuh lembut
pundaknya. Ia memutar badannya dan menatap wajah yang telah menyentuhnya.
“Tak apa,
biarkan dia. Dia sekarang adalah urusanku.”, katanya lalu tersenyum pada
gurunya.
“Ya. Tolong,
jaga dia ya, Mrs. Oliveira.”, kata Ana itu meminta kepada Alicia.
“Jangan
panggil aku dengan nama itu, Ana. Aku akan pastikan kalau aku akan mendapatkan
permainan di markas.”, kata Alicia lalu ia berjalan mengikuti Calvin.
Wanita bernama
Ana itu menelan ludahnya lalu wajahnya menjadi sedikit pucat. Ia membeku di
tempat dimana ia berdiri sekarang dan sedikit merinding karena perkataan Alicia
tadi. Bagaimana, bagaimana nasibnya? Itulah yang ada dipikirannya sekarang.
“Calvin.”,
panggil Alicia yang sekarang berada di belakangnya sekitar lima meter.
“Kau
mendengarku? Calvin?”, katanya lagi karena ia tidak meresponnya.
“Jangan
panggil aku Calvin, Alicia. Di sini, aku tak layak dipanggil Calvin.”, jawab
Calvin merespon panggilan Alicia. Ia menghentikan langkahnya lalu memandang ke
langit yang berwarna biru.
“Raka.”, kata
Alicia pelan.
“Sepertinya,
perasaan itu muncul lagi.”, kata Raka pelan. Alicia yang bingung ia berjalan
mendekati Raka yang tengah mengamati langit cerah.
“Apa
maksudmu?”
“Perasaan itu.
Perasaan takutku mulai tumbuh lagi, Alicia. Aku takut akan kematianku lagi.”,
jawab Raka yang langsung memandangnya dengan tatapan pucatnya.
“Takut dengan
kematian? Bukannya kau selalu berurusan dengan kematian?”
“Iya, itu
memang benar. Tetapi, sebagai manusia biasa pasti memiliki kekurangan, kan? Itulah kelemahanku sebenarnya.”,
jawab Raka. Ia menjadi lemas dan tak bertenaga tetapi hanya tenaga kecil dari
kakinya yang menopang tubuhnya.
“Kau tau,
sejak aku berurusan dengan lima perampok yang menyerangku di gang kecil dan
sepi itu? Aku sudah merasakan ketakutan itu, Alicia. Aku sudah merasakan
ketakutan itu sehingga aku tidak dapat melawan mereka. Tetapi, saat aku melihat
sosokmu, aku menjadi sedikit mempunyai kekuatan untuk melindungi seseorang yang
belum aku kenal sama sekali.”, kata Raka lalu tersenyum dan memandang langit
cerah itu lagi.
“Dan, saat kau
bawa aku ke rumahmu. Aku tidak merasakan ketakutan itu lagi. Aku merasa kalau
aku sudah merasa aman jika aku bersamamu. Walaupun kelak kau pasti akan
membunuhku.”, lanjutnya.
“Ap – apa
maksudmu dengan aku membunuhmu?”, tanya Alicia yang bingung akan pernyataan
itu.
“Aku, aku tadi
tertidur sebelum sempat membalas e-mail
yang kau balaskan itu. Aku bermimpi kalau kau sudah membongkar semua tentang
aku di depan semua orang dan juga kau membalaskan dendammu padaku sehingga kau
membunuhku.”, jawabnya.
“Itulah
mengapa secara terkejut kau menekan pelatuk dari pistol yang kau bawa itu?”,
tanya Alicia yang langsung tersadar.
“Mungkin
seperti itu. Dan jika kau tau, setelah kau membunuhku, aku terbaring lemah di
atas lantai dan tidak ada darah mengalir di kepalaku, Alicia. Aku hanya
terbaring lemah dan aku melihat kalau kau disergap beberapa teroris dan kau
meminta bantuanku. Itulah mungkin itu aku mulai terbangun dari mimpi buruk
itu.”, jawab Raka. “Aku juga bingung, mengapa aku dapat masih hidup di mimpi
itu padahal aku sudah mati.”, lanjutnya.
“Mimpi itu,
menandakan kalau rekanku ini memang benar-benar ingin melindungiku walaupun aku
selalu menyakiti dirinya dengan cara apapun termasuk cara menyakiti orang yang
paling menyakitkan. Itu menandakan kau itu kuat, dan kau tau itu, Calvin.
Itulah kekuatanmu yang sesungguhnya yang tertanam dari dirimu dan kau tidak
pernah menyadarinya.”, kata Alicia lalu tersenyum pada Calvin.
“Kau tau. Aku
merasa sampai sekarang kalau aku adalah orang yang paling tepat untukmu,
Alicia. Yang paling tepat untuk menjagamu, melindungimu, dan menemanimu dari
kesunyian yang sering kau dapati. Tetapi, aku juga pernah merasakan kesepian yang sama denganmu,
itu alasan mengapa aku mengikuti agen sejak aku SMP. Aku selalu melatih diriku
untuk membuang rasa kesepianku ini. Aku, aku juga selalu mengangis sebenarnya
saat aku takut untuk melangkah maju untuk bertarung. Air mata ketakutan ini
selalu saja mengalir.”, kata Calvin. Ia masih saja menatap langit yang cerah
itu. Dia tidak ingin menatap Alicia.
“Calvin yang
ku kenal adalah Calvin yang selalu ada untukku, yang selalu menjagaku, yang
selalu melindungiku, dan yang selalu menghiburku. Dan itu adalah kau. Kau yang
sesungguhnya.”, balas Alicia.
“Itu Calvin
yang kau kenal. Karena Calvin itu bukanlah aku. Calvin aku adalah Calvin yang
kesepian, Calvin yang selalu saja menangis sebelum bertarung karena takut mati,
Calvin yang selalu saja menjadi sok pahlawan, Calvin yang sok...”
“Tidak! Calvin
yang sesungguhnya ada di depanku, dia adalah. Dia adalah pahlawanku.”, putus
Alicia. Calvin menatapnya yang sudah mengalirkan air matanya. Ia menyeka air
mata itu dengan jari telunjuk kananannya lalu berkata,
“Terima kasih,
Alicia. Kau memang alasan mengapa aku hidup selama ini. Kau yang selalu
menghilangkan rasa takutku.”
“Tetapi,
Calvin.”, kata Alicia lalu menyentuh tangan kanan Calvin yang masih menyeka air
mata Alicia. “Siapa yang mengijinkanmu untuk menyentuhku tadi dan sekarang?”,
lanjutnya.
Calvin menjadi
terkejut lalu menarik tangannya kembali. “Ma – maaf, Alicia.”, katanya meminta
maaf.
Alicia menyeka
air matanya sampai kering lalu mengambil pistol di kantong roknya lalu
mengarahkannya kepada Calvin yang berada di depannya.
“Alicia
hentikan itu. Aku sudah minta maaf, kan.”,
kata Calvin sambil mengangkat kedua tangannya yang menandakan dia menyerah.
“Tidak.
Sebelum aku puas bermain. Aku akan lama tidak bermain dengan benda ini
terhadapmu dan terhadap musuhku kan.”,
kata Alicia lalu memancarkan senyum kejam dan menyeramkan pada Cavin.
“Sudahlah, aku
tidak membawa pedang sekarang. Apa kau akan benar-benar...”
Pistol itu didorong
Alicia sehingga menyentuh kepala Calvin yang membuatnya berhenti berbicara.
Calvin menelan ludahnya dan wajah takut yang bagi Alicia lucu terpancar dari
wajahnya.
“Ada satu hal
rahasia yang belum aku katakan padamu. Aku selalu menembak meleset jika aku
memiliki niat membunuh.”, kata Alicia lalu tersenyum tulus kepada Calvin.
“Ji – jika
begitu, kalau kau memiliki niat membunuhpun kau pasti dapat membunuhku dengan
pistol didekatkan seperti ini.”, kata Calvin.
“Hehe... lebih
baik kita main di hutan dekat rumahmu saja. Tidak baik di sekolah karena nanti
pasti akan mendapat hukuman sampai ke polisi walaupun kau memperlihatkan bahwa
kau anggota agen.”, kata Alicia lalu menarik pistol itu sambil memasukannya ke
dalam kantongnya kembali.
Komentar
Posting Komentar