Valent, ia
adalah teman satu kelasku. Dia mungkin dapat dibilang sahabat aku. Dia cantik,
baik, taat dengan orang tua dan agamanya, dan juga dia orangnya setia. Banyak sekali
lelaki yang mengingkan dirinya untuk menjadi kekasihnya. Tetapi, dia selalu
menolak. Entah apa alasannya.
Menceritakan
tentang orang lain dahulu dan aku lupa untuk memperkanalkan namaku sebenarnya. Namaku
adalah Rin. Dan benar aku adalah keturunan dari Jepang, tetapi dari ayah aku
atau dalam bahasa jepangnya adalah otosan.
Sedangkan bundaku berasal dari Indonesia. Dan kami tinggal di Indonesia karena
keinginan dari bundaku karena ia sangat mencintai negaranya,dan ayah juga
sangat mencintai bundaku. Aku sekarang berumur tujuh belas tahun dan benar aku
sudah SMA.
Pulang sekolah,
Valent selalu mengajakku untuk bermain di rumahnya. Entah itu untuk tugas
kelompok, belajar bersama, atau nonton film. Valent sangat menykai film dari luar
negeri, dan kurang begitu menyukai hasil dari anak bangsa. Katanya, “Film
Indonesia itu banyak yang ceritanya gantung. Pokoknya gak jelas deh.” Itu yang
selalu yang ia katakan saat aku atau mungkin orang lain bertanya padanya
mengapa dia tidak menyukai film dari negaranya sendiri.
“Ayolah, Rin.”,
pintanya sambil berlutut di hadapanku. Jujur saja aku tidak nyaman dengan ini.
“Bangun dong, Valent. Aku gak suka kalau kamu
begini.”, kataku sambil mencoba untuk menariknya bangun.
“Makanya main
ke rumah ku ya.”, katanya sambil berdiri di depanku.
Aku hanya
menggaruk-garuk kepalaku sambil mempertimbangkan keputusan yang akan ku buat. “Gomen (maaf), Valent. Aku tidak bisa ke
rumahmu sekarang, mungkin besok aku bisa. Aku janji deh.”, kataku pelan.
“Kok besok sih. Sekarang aja. Ada film baru loh...”, katanya sedikit merayuku dengan
film. Padahal itu tidak berpengaruh.
“Tidak.”,
kataku pasti. “Sekali lagi maaf, Valent. Hari ini aku diminta oleh otosan untuk pulang lebih awal.”,
lanjutku untuk menerangkan kepada Valent.
Ia menatapku
curiga dan ia membuatku bingung. “Kau mau berkencan dengan...”, ia berhenti
sebentar sambil menunjukku lalu ia menatap seorang laki-laki yang berdiri di
belakangku. “Dia kan.”, lanjutnya
lalu mengambil tasnya yang tergeletak di atas tanah akibat ia berlutut kepadaku
tadi.
“Tidak,
Valent.”, jawab laki-laki yang berdiri di belakangku. Lalu aku menatapnya. “Aku
ingin bertemu dengan Rin karena aku ingin mengembalikan tepak makan siangnya
yang tertinggal di kelas.”, lanjutnya lalu tersenyum kepada Valent dan aku. “Ini.”,
lanjutnya lagi sambil mengembalikan tepak makan siangku.
“Arigatogozaimashita (terima kasih banyak).”, kataku sambil menunduk
kepadanya. Itu sudah menjadi tradisi di Jepang dengan mengucapkan terima kasih
sambil menunduk pertanda sebagai kehormatan.
“Sama-sama.”, balasnya senang lalu tersenyum kembali
kepada Valent dan aku. “Aku pulang duluan ya. Hari ini banyak tugas yang harus
dikerjakan. Selamat tinggal.”, lanjutnya lalu berjalan melewati kami.
“Ciiiee... siapa itu? pacarmu ya?”, canda Valent
menggodaku. Aku menjadi cemberut padanya.
“Sudah. Aku mau pulang saja.”, kataku menjadi bete.
“Well, lebih
baik kita pulang bersama.”, usul Valent dengan cerianya. Akupun setuju
dengannya.
“Tadaima
(Aku pulang).”, kataku setelah aku membuka pintu rumahku yang sederhana. Sialnya
tidak ada yang menjawab. Aku mencoba untuk masuk dan mencari dimana kedua orang
tuaku. Tapi, aku hanya menemukan selembar kertas di atas meja makan. Aku mengambil
dan mencoba untuk membacanya, sayangnya aku tidak mengerti tulisan otosan. Karena tulisan kanji yang ia
tulis. Aku menjadi kesal kepada diriku ini, mengapa
aku terlalu bodoh untuk membaca tulisan ini?
Aku memutuskan untuk tidak membacanya dan aku kembalikan
kertas itu persisi di atas meja makan. Lalu aku berjalan menuju kamarku yang
tidak jauh dari meja makan karena di depan kamarku adalah ruang makan.
Aku sudah selesai dengan pekerjaan rumahku termasuk
kamarku yang berantakan sebelumnya karena aku lupa untuk membereskannya. Pasti nanti
otosan marah kepada ku.
Aku merasa sendirian di sini. Di rumah yang amat sepi.
Aku tidak mempunyai adik maupun kakak. Dan sialnya lagi aku tidak memiliki
hewan peliharaan untuk bermain berasamaku. Akhirnya aku memutuskan untuk
membungkuk tidur tiduran di meja belajarku. Sungguh membosankan. Lebih baik
tadi aku main ke rumah Valent. Aku sedikit menyesal dengan keputusanku tadi.
Hari sudah senja dan kedua orang tuaku belum juga
pulang ke rumah. Aku merasa lapar dan kesepian. Aku duduk sendirian di kursi
taman dekat rumahku. Matahari sore yang mulai tenggelam menerangiku dan
menemaniku. Tidak lupa dengan angin yang bertiup pelan dan membuat
rumput-rumput sedikit bergoyang. Entah mengapa aku sangat menyukai dari kata
angin. Kaze, itulah bahasa jepang
dari angin. Apakah angin itu termasuk kebebasan? Jiyuu? Atau karena angin adalah yang selalu membawa kemana kau
pergi. Aku tidak mengerti selebih lagi aku menyukainya.
Aku menggenggam selembar kertas kecil bertuliskan
kanji dari kedua orang tuaku. Itu aku ambil sebelum aku keluar dari rumah. Aku mencoba
untuk melihat-lihat saja dan akhirnya aku menemukan sebuah kanji yang dapat aku
translate
“Tasogare!”,
kataku keras, itu membuat anak kecil yang berjalan melintasiku takut kepadaku. Aku
cuek dengan itu dan mencoba untuk mentranslate beberapa kanji lagi.
“Tasogare,
apakah itu artinya twilight atau
senja?”, kata seorang laki-laki yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku. Aku menatapnya
dan aku mengenal dirinya. Dia adalah yang mengembalikan tepak makan siangku
yang tertinggal di kelasku.
“Iya itu benar. Tasogare
artinya senja. Ternyata kau dapat berbahasa jepang.”, jawabku pelan.
“Aku hanya bisa sedikit saja. Mungkin kalau kata-kata
umum aku belum bisa.”, balasnya kepadaku lalu tersenyum kembali kepadaku. Dia selalu
tersenyum saat bertemu denganku.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini, Rehan?”, tanyaku
kepadanya.
“Aku hanya jalan-jalan, Rin. Dan tanpa sengaja aku
melihatmu menyendiri di sini. Kau seperti kesepian.”, jawabnya pelan.
“Aku memang kesepian hari ini.”, jawabku lalu aku
menunduk sedih.
“Sudah jangan bersedih. Kan sudah ada aku di sini. Kau tak kesepian lagi.”, katanya
menghiburku. Laki-laki memang dapat menghibur seorang perempuan.
“Terima kasih.”, kataku singkat.
“Apakah itu tulisan kanji?”, tanyanya kepadaku karena
ia melihat selembar kertas yang aku bawa.
“Iya ini tulisan kanji.”, jawabku lalu tersenyum
padanya.
Dia mengangguk-angguk seperti mengerti saja apa
isinya. “Jika kamu kesepian, setiap senja kau bisa duduk di sini dan aku akan
datang untuk menemanimu.”, katanya lalu menatap langit sore yang akan
menggelap.
“Hai (Iya).”,
jawabku dengan harapan ia mengerti apa yang aku katakan.
“Rin!”, teriak ayahku mencariku. Aku tidak menyangka
kalau mereka sudah pulang ke rumah.
“Aku di sini, ayah.”, kataku setengah berteriak. “Arigato,
Rehan. Sayonara.”, kataku lalu pergi meninggalkannya.
“Rin, dari mana kamu?”, tanya ayahku.
“Dari taman.”, jawabku singkat.
“Ibu kamu sudah memasakan kamu makan spesial untuk
hari ini. Ayo masuk.”, ajak ayahku senang.
“Otosan.”
“Nani?”
“Korehanani o
imi suru nodeshou ka?”, tanyaku sambil memberikan secarik kertas
bertuliskan kanji.
“Artinya, aku akan segera pulang sebelum senja.”,
jawabnya singkat lalu masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum senang kepada ayahku ini. Dia begitu
sabar untuk mengajari aku untuk menulis kanji yang mungkin aku selalu salah
dalam penulisannya. Tapi, hari ini aku belajar sesuatu pada senja ini. Tentang bagaimana
membaca kanji walaupun satu kata, belajar untuk bersabar menunggu orang tua
pulang, dan tidak lupa pertemanan baru antara aku da Rehan. Aku tersenyum
senang lalu aku masuk untuk makan malam.
Hari berikut dan berikutnya. Aku dan Rehan saat senja
selalu berada di taman dekat rumahku itu. Sedangkan Valent, ia tidak lagi
memaksaku untuk bermain ke rumahnya karena ia pikir aku sudah memiliki pacar
yaitu Rehan. Padahal antara aku dan Rehan hanya sekedar berteman saja. Dan aku
sadar bahwa aku sangat menyukai keindahan alam di duniaku, dunia kita, dan
dunia bersama.
Komentar
Posting Komentar