Sekolah
Pak
Dono menyuruh siswa kelas 12 B untuk membuat kelompok beranggotakan maksimal
empat siswa untuk membuat makalah tentang cara menjaga rasa kebersamaan
terhadap sesama manusia. Terpikir oleh Manda untuk berkelompok dengan Tama, karena
dia adalah sahabat dengan Manda dari kecil. Saat istirahat, Manda mencarinya ke
kantin.
“Hey cowok, lagi apa
nih?”, canda Manda.
“Biasa aja tanyanya.
Gak usah dikasih alaynya.”, kata Tama datar. Dia tau banget Manda yang
sebenernya gak alay yang sekarang menempel dikit alaynya di dirinya.
“Kelompok sama ku ya
cowok.”, kata Manda lagi.
“Ya”
Tama selalu berkata
datar trus, kalau Manda yang sudah kenal sudah lama ini sudah biasa, misal
kalau cewek yang naksir sama dia dan baru kenal. Gak betah tu cewek pasti.
“Ciiiee...
berdua-duaan”, kata Dika yang tiba-tiba datang.
“Sialan lo.”, balas
Tama yang tidak terima.
“Kamu tu rese!”, kata
Manda ke Dika.
“Yah, pada ngambek,
aku kan only kiding.”, jawabnya sambil senyam-senyum.
“Ngomongin makalah
ya?”, lanjutnya.
Manda dan Tama hanya
mengangguk.
“Kalian satu
kelompok?”, tanyanya lagi.
“Ember”, kata Manda
yang mulai jengkel dengan Dika.
“Siapa aja?”
Dika ni kepo bange, jadi males jawabnya, kata Manda dalam hati.
“Boleh gabung?”
“Kebetulan, lo cari
Alex. Bawa dia kemari. Dia sama lo, gue jadiin kelompok gue gimana?”, kata Tama
tiba-tiba dengan nada tinggi dan cepat.
“Okey bro.”, kata
Dika lalu mencari Alex.
Manda sudah
tau taktik yang akan di buat oleh Tama, dia mau kelompoknya isinya cowok semua
dan cuma Manda saja yang cewek. Dan dia doang yang dikasih tugas dan tanggung
jawab yang besar, dengan alasan inilah itulah. Tapi untungnya, Manda bersyukur
karena masih punya sahabat kayak Tama, walaupun dia datar ngomongnya, tapi dia
sedikit memiliki rasa perhatian, dan setia sama Manda sebagai sahabatnya.
“Ciiieee... Tama,
Manda. Berdua-dua kok di kantin sekolah...”, ejek Difi yang baru lewat dengan
nada sangat membuat orang marah.
Tama diem. Manda yang
ingin nyela, tapi Tama menyenggolnya untuk tidak menyela Difi.
“Biarin, percuma kamu
nyela dia. Dia ntar ngomong sama ibunya dan kamu di point lagi gara-gara alasan
yang gak nyambung dengan permasalahan yang dilaporkannya.”, kata Tama pelan.
Terdiam, Manda
mencoba berpikir, dan benar juga yang
dikatakan Tama. Hanya Manda yang gak pernah dipanggil Tama ‘lo’. Dia selalu
menggunakan kata ‘kamu’ jika dia ngomong sama gadis ini. Yang lainnya, ya
menggunkan ‘lo’ ‘gue’ trus ‘end’, memang dia datar banget.
“Tam, Alex terjebak sama
macan.”, kata Dika yang sudah datang.
“Macan?”, tanya Tama
dan Manda hampir bersamaan.
“Males ah... nyebut
namanya. Dia kan macan di sekolah ini.”
“Maksudmu Difi?”, tanya
Manda pelan setengah berbisik.
Dika mengangguk.
“Dia mau kan?”, tanya
Tama mengganti topik.
“Yups. Katanya, dia juga
baru nyari kita buat jadi kelompoknya, sebelum dia harus berkelompok dengan si
macan itu.”
“Baguslah, yang
penting dia mau.”, katanya lalu menyeruput es kopinya.
Tama memang menyukai
es kopi Good Day. Kopi kok dikasih es. Emang agak aneh dia. Manda pun juga suka
es kopi, terutama faforitnya adalah Good Day Coolin. Karena ciri khas kopi yang
pahit, di campur manisnya gula, lalu terasa juga mint.
“Huh, lolos juga nih
gue dari macan.”, kata Alex yang tiba-tiba datang dengan masih terengah-engah.
“Minum dulu nih
Lex.”, kata Manda sambil menyerahkan kopinya Tama yang masih setengah penuh dan
anehnya Tama gak sadar kalau kopinya yang Manda tawarkan ke Alex.
“Kopi atau coklat?”
“Kopi”
“Ciuz?”
“Diminum gak?”
“Ya deh.”, kata Alex
langsung mengambil gelas plastik berisi es kopi itu lalu diminum habis.
“Sumpah tu macan,
tergila-gila sama gue. Apa sih istimewanya gue?”, tanya Alex lalu duduk di
samping Manda.
“Coba lo bandingin mata
lo yang aneh dengan mata gue.”, kata Manda dengan menggunakan bahasa kota ke
Alex sambil menunjuk arah mata hijaunya Alex.
“Iya, iya gue tau.
Ijokan mata gue. Rese, lo Nda!”. Alex mulai ngambek.
“Lo, keturunan mana
sih Lex?”, tanya Tama tiba-tiba.
“Ya gue keturunan
aseli seratus persen Indonesia lah.”
“Oh... mungkin lo tu
keturunan orang eropa gito. Coba lo tanya ke ortu lo deh. Trus lo tu mungkin
dulu jatuh di pinggir jalan, trus lo ditemuin deh sama ortu lo skarang.”, canda
Tama.
“Rese! Emang gue tai
burung apa, jatuh. Sembarangan lo ngomong.”
“Eh, bukan gue lo
yang ngomong kalo lo tai burung.”
Mereka berempat pun
mulai tertawa bareng.
“Yuk, balik ke kelas,
kurang lima menit lagi bel masuk”, ajak Manda sambil melihat jam tangannya.
“Okey! Ntar kesini
lagi ya istirahat siang ntar.”, kata Tama.
Lalu mereka berjalan
ke ruang kelas mereka 12 B dan Tama pun belum sadar dengan kopinya yang
duhabiskan oleh Alex.
Teettt... teettt...
bunyi bel sekolah dua kali bertandakan istirahat. Mereka pun menuju meja kantin
yang mereka tempati tadi. Karena sudah siang, jadi mereka memesan makanan ke
Mbak Tuti, penjual indomie yang buatannya sungguh mantap.
“Mbak, indomie rebus
empat ya.”, kata Manda ke Mbak Tuti.
“Siip...”, balas Mbak
Tuti sambil mengacungkan jempolnya.
Tama, Dika, dan Alex
duduk di tempat kami duduk tadi. Sedangkan Manda, mempunyai tugas untuk memesan
es kopi Good Day Capucino tiga buat sahabatku dan Good Day Coolin buat dirinya.
Lalu dia kembali dan bergabung dengan sahabat-sahabatnya.
“Makalah gimana? Kita
buat dimana?”, katanya untuk membuyarkan kebengongan ketiga sahabatnya.
“Rumah gue aja, ortu
gue hari ini pergi ke luar kota. Menjenguk ponakan. Pokonya ntar seru deh.”,
kata Alex.
“Asalkan, adik lo
yang rese tu ikut. Gue jijik begete sama dia.”, kata Tama yang tiba-tiba
teringat dengan adik Alex yang tergila-gila pada dirinya.
“Dia kan slalu ikut
saat ortu gue pergi ke luar kota. Dijamin seratus persen.”
“Ini, pesanan kalian,
es kopi Good Day.”, kata Mbak Rani yang membawa pesanan es kopi Good Day mereka
lalu meletakannya di atas meja.
“Oh, ya mbak. Tatank
beli kayu. Thank you.”, kata mereka bersamaan.
Seperti biasa, mbak
Rani tersenyum dan menahan tawa setelah mendengar ucapan terima kasih mereka
yang selalu mereka buat pantun jenaka.
Selalu, dan selalu.
Kopi antara Manda dan Alex selalu tertukar. Lidah Alex memang peka banget. Dan
seperti biasa, mereka bertukar kopi, dengan bagian Alex lebih banyak dan bagian
Manda lebih sedikit. Karena Alex telah menyeruput sedikit kopi Manda. Tapi, mereka
tak marah dan mengomel dengan mbak Rani. Itu adalah kejadian yang wajar, karena
warna kopi yang cokelat semuanya, jadi mereka tidak menyalahkan siapa-siapa.
“Okey, makalahnya kita
pakai ide kita atau tanya ke mbah google.”, kata Dika memulai topik.
“Hmm... kita gunain
kedua-duanya aja. Jika kita tidak memiliki begitu banyak ide, kita bisa
nambahin dengan cara minta bantuin ke mbah google”, jawab Tama.
Dan akhirnya mereka
berempat sepakat. Di rumah Alex, pikir dan nyari di internet. Yang dibutuhkan
telah tersedia.
“Ini, indomie
rebusnya.”, kata Mbak Tuti yang tiba-tiba datang dengan membawa nampan yang
penuh dengan empat mangkok berisikan indomie rebus yang baunya sangat menggugah
selera.
“Matur suwun mbak Tuti”,
kata Manda menggunakan bahasa jawa.
“Oh, nggih
sami-sami.”, jawab Mbak Tuti dengan logat bahasa jawa tulen, lalu kembali ke
dapurnya untuk membuat indomie lagi untuk siswa-siswa yang lain.
Mereka memulai
memakan indomie rebus yang ditambah telor yang juga di gabung direbus, sawi,
kol, dan sosis. Dan, mereka menyatakan kalau Indomie buatan Mbak Tuti memang
istimewa (Cerrybelle), mantap (Torabika), maknyus (Pak Bondan), deliciouso
(Ranselnya Dora), dan seratus persen ampuh (Global TV).
“By the way, jam
brapa kita ke rumahnya Alex?”, tanya Dika yang sudah selesai dengan makanannya.
“Sore, sekitar jam
lima gimana? Trus kalian pulang malem aja, besokan libur.”, kata Alex.
“Libur? Libur
apaan?”, tanya ketiga temannya hampir bersamaan.
“Lihat tu pengumuman
di mading sekolah. Tadi, istirahat pertama, aku dihadang macan dan dia
menunjukan pengumuman itu.”
Diem. Semuanya jadi
diem setelah mendengar Alex, dan kurang percaya dengannya. Dan Alex pun ngomong
lagi.
“Sumpih. Gak percaya,
kita lihat nanti di mading.”
Masih diam. Semuanya
masih diam. Lalu Manda mencoba merubah suasana yang sepi kayak kuburan ini.
“Sumpih itu kan alat
yang digunain untuk makan mie itu.”, katanya.
“Sumpit”, kata Alex,
Dika, dan Tama bersamaan.
“Sumpit tu kan, ntar
gue sumpit-sumpitin dateng ke rumah lo deh, Lex.”, gantian Tama.
Hening. Bagaikan
mengheningkan cipta saat upacara bendera tanpa iringan lagu.
“Sempat!”, kata Dika
agak keras.
“Gak nyambung...!!!”,
teriak Manda, Dika, dan Alex bersamaan.
“Hehe..”
“Tu kan, jadi
garing.”, kata Dika.
“Ya, kok jadi garing
gini.”, Alex ikut-ikutan.
“Nah tu lo.”, sambung
Tama.
“Cerewet!”
“Kalian tu cerewet
bagaikan cewek, mungkin kalian cocok kali jadi cewek.”, kata Manda sambil meminum
es kopinya
“Kita jadi cerewet
gini ya gara-gara lo, Nda.”, kata Alex lalu ketawa.
Dan akhirnya mereka
ikut-ikutan Alex ketawa. Jadi rame tuh di kantin jika ada mereka berempat. Dan
mungkin gara-gara itu, jika mereka bersama-sama masuk ke perpustakaan selalu
saja di usir.
“Kurang lima menit
nih, ngapain?”, kata Manda sambil melihat jam tangannya.
“Balik ke kelas. Trus
nggabung di belakang, ya. Ntar Bu Rini kan kosong, mungkin dikasih tugas.
Lagian Bu Rini masih di rumah sakit.”, kata Tama yang langsung teringat dengan
gurunya.
“Kita doain
bareng-bareng yuk. Beliau kan guru kita.”, kata Manda pelan.
Dan mereka pun berdoa
bersama mendoakan keadaan guru mereka tercinta. Selesai, mereka langsung
membayar makanan dan minuman yang tadi mereka beli. Lalu kembali ke kelas.
“Yayang Alex.”, kata
Difi yang tiba-tiba menghadang Alex dan menggandeng tangannya.
“Yayang, nantikan jam
kosong. Kita berdua-duaan di taman ya.”
Tampang Alex yang
ingin terlepas darinya sangat kelihatan, dan Difi semakin memeganginya dengan kuat.
“Nanti kan ada...”
“Alex, aku mau ke
kantor dulu, dipanggil sama Pak Dono tu. Aku pergi dulu ya.”, Manda memutuskan perkataan Alex. Dan dia
langsung kabur menuju kantor dan berhenti di depan mading yang jaraknya gak
jauh dari kantor.
Dia mencoba mencari
pengumuman yang Alex katakan tadi. Dan akhirnya dia menemukannya. Memang, besok
libur dikarenakan sebagian bapak ibu guru harus pergi ke dinas dan sebagiannya
lagi menjenguk Bu Rini. Setelah itu Manda berjalan sendirian kembali ke
kelasnya yang harus melewati tiga kelas dari mading.
Sampai di kelas. Dia
mencari ketiga sahabatku, dan memberi tau mereka kalau yang dikatakan Alex tadi
benar. Lalu dia melihat ketiga sahabatnya sudah memojok di pojokan kelas, dan
lega karena tidak ada Difi di sana.
“Hey.”, sapanya.
“Hey, duduk cepet
Tutupin gue, ntar pasti si macan nyariin gue.”, kata Alex yang mulai
bersembunyi di bawah kolong meja bangkunya Tama.
Dengan tertutup kursi
di bagian depan belakang dan kanan, membuat Alex yang bersembunyi tidak
kelihatan. Dan benar, Difi mulai mencari Alex. Tapi, akhirnya dia dipanggil
ibunya untuk ke ruangannya. Mungkin ibunya meminta bantuan.
“Alex, dah pergi
tu.”, kata Dika yang melihat Difi pergi.
Segera Alex keluar,
dan duduk di hadapan Manda.
“Pergi kemana?”,
tanya Alex yang masih sedikit gelisah.
“Dipanggil sama Bu
Tini. Mungkin minta tolong tuh kingkong.”, kata Tama santai.
Bu Tini adalah kepala
sekolah mereka, dan mereka menyebut kepala sekolah mereka adalah ‘kingkong’.
Karena badannya yang kayak kingkong, dan kalau marah kayak kingkong yang lagi
ngamuk. Tapi dia pasti kalah dengan anaknya. Pantes anaknya aja macan. Yang
manja, sedikit idiot, sombong, sok pinter, blagu, tolol, pokoknya semuanya yang
jelek selalu menempel padanya. Dan dia juga berani banget sama guru-guru di
sekolah. Ni anak gak pernah diajarin sopan santun apa? Perilaku yang sangat
menggambarkan didikan orang tuanya, dan si kingkong tu apa gak malu.
Masalah tentang
kingkong dan macan selalu menjadi topik mereka setiap hari, dan anehnya mereka
gak bosen.
“Gimana, tadi dikasih
tugas sama Pak Dono, kan?”, tanya Tama tiba-tiba.
“Oh, maaf, tadi aku
lagi badmood sama macan. Jadi aku cari alasan buat kabur, dan tadi aku membaca
pengumuman di mading. Dan bener, besok libur.”
“Tu kan, apa yang gue
bilang. Alexander Graham Bell gito.”. Alex mulai kumat.
Hening lagi. Karena
temen-temen mereka yang berada di dalam kelas mereka tiba-tiba diam,
dikarenakan Bu Tini memasuki ruangan. Segera Manda, Dika, dan Alex kembali ke
tempat duduk mereka masing-masing.
“Hari ini, tugas dari
Bu Rini. Buka buku pinjaman perpustakaan halaman 209 sampai 215. Dikerjakan dan
dikumpulkan. Hari ini, saya akan menjenguk Bu Rini dengan anak saya. Jadi saya
harap jangan rame. Khususnya kalian berempat.”, kata Bu Tini sambil menunjuk ke
arah keempat sahabat yang menyebutnya sebagai kingkong.
“Baik, selamat
siang.”, katanya lagi, lalu meninggalkan ruangan.
“Yes”, kata keempat
sahabat itu bebarengan.
Lalu mereka mendorong
bangku mereka mendekat ke bangku Tama. Dan bangku mereka dekatkan bagaikan meja
diskusi. Seperti biasa, Tama bersebelahan dengan Dika, dan Alex bersebelahan
dengan Manda. Mereka memulai membahas tentang pelajaran dan serius mengerjakan
tugas yang diberikan.
Satu jam perlajaran
berlalu, mereka baru sampai halaman 213, kurang dua halaman lagi. Memang, tugas
yang diberikan sungguh-sungguh banyak. Sekitar dua puluh menit, mereka sudah
selesai dengan semua tugas. Lalu, Manda yang mengumpulkan empat buku ke meja
guru di depan kelas. Lalu, mereka membahas tentang makalah. Sekitar lima menit
berlalu. Mereka mulai bosan dengan apa yang mereka bahas. Karena tidak ada
musik berbunyi, dan tidak ada keseruan di dalam kelas. Lalu, mereka memutuskan
untuk mengembalikan bangku-bangku mereka ke tempat semula, lalu tidur-tiduran
di bangku mereka sampai bel pulang berbunyi.
“Memang bosan jika tidak ada keramaian. Kenapa sih,
orang kebanyakan betah ketenangan? Padahal ramai itu dapat menambah semangat.
Bete seharian di kelas deh.”, kata Manda dalam hati, lalu mulai tidur-tiduran.
Komentar
Posting Komentar